Energi Baru Ekowisata dari Sinergi Penyelamatan Bekantan di Kalsel
Sinergi dan kolaborasi berbagai pihak dalam penyelamatan bekantan di Kalimantan Selatan menjadi energi baru ekowisata Pulau Curiak. Pulau kecil di tengah Sungai Barito itu mendunia dan menjadi tujuan wisata minat khusus.
Sinergi dan kolaborasi berbagai pihak dalam penyelamatan bekantan telah menjadi energi baru ekowisata Pulau Curiak. Pulau kecil di tengah Sungai Barito itu menjadi salah satu tempat terbaik untuk melihat bekantan, si monyet berhidung panjang, maskot Provinsi Kalimantan Selatan.
Dua bekantan (Nasalis larvatus) menampakkan diri di tepi Sungai Barito saat sebuah kelotok mendekati Pulau Curiak di Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Minggu (17/10/2021), sekitar pukul 08.30 Wita. Dua primata endemik Kalimantan dengan ukuran tubuh berbeda itu terlihat duduk bersantai di atas panggung buatan.
Melihat kemunculan bekantan, motoris atau pengemudi perahu kelotok yang membawa wisatawan langsung menurunkan gas untuk meredakan suara mesin dan memelankan laju perahu. ”Jangan terlalu mendekat dan berisik, nanti bekantannya lari,” ujar sang motoris.
Bekantan yang masih mungil melihat ke arah perahu dan mulai bertingkah dengan bergelayut di tiang panggung. Sementara bekantan yang besar tampak menunduk dan memalingkan mukanya ke arah pepohonan mangrove rambai (Sonneratia caseolaris). Bekantan dewasa itu benar-benar menampakkan jati diri bekantan sebagai hewan yang pemalu.
Sejurus kemudian, bekantan dewasa itu meninggalkan panggung di tepi sungai dan bergelayut di dahan pohon mangrove rambai. Bekantan yang kecil langsung menyusul. Keduanya bergelayut dari satu dahan ke dahan lain, lalu menghilang di balik pepohonan mangrove rambai yang rimbun. Kemunculan dua bekantan itu hanya sekitar 15 menit.
”Hanya orang-orang yang punya niat baik dan beruntung yang bisa melihat bekantan saat datang ke sini. Bekantan memang pemalu dan jarang menampakkan diri kalau ada orang datang,” ujar Ipan Aditia (53), penjaga Pulau Curiak, sambil tersenyum.
Pulau Curiak merupakan sebuah delta di Sungai Barito dengan luas 3,9 hektar (ha). Pulau tersebut menjadi habitat bekantan di luar kawasan konservasi. Untuk mencapai Pulau Curiak, rute termudah adalah melewati Jembatan Barito, yang berjarak 17 kilometer dari Kota Banjarmasin. Sampai di bawah Jembatan Barito, pengunjung harus naik kelotok atau perahu bermotor 10-15 menit.
Pengunjung bisa melepas penat di daratan seberang Pulau Curiak yang menjadi kawasan penyangga. Di situ terdapat rumah stasiun riset bekantan, rumah mangrove rambai, kamp Prof Roberts Timothy Kilgour dari Universitas New Castle Australia, beberapa gazebo, dan menara pantau. Sudah dibangun pula titian dari kayu ulin untuk berjalan dari satu tempat ke tempat lain.
Pulau Curiak merupakan sebuah delta di Sungai Barito dengan luas 3,9 hektar (ha). Pulau tersebut menjadi habitat bekantan di luar kawasan konservasi. Untuk mencapai Pulau Curiak, rute termudah adalah melewati Jembatan Barito, yang berjarak 17 kilometer dari Kota Banjarmasin. Sampai di bawah Jembatan Barito, pengunjung harus naik kelotok atau perahu bermotor 10-15 menit.
Hipni, pemandu wisata alam Pulau Curiak dan sekitarnya, mengatakan, Pulau Curiak menjadi salah satu tempat ekowisata minat khusus berkelas dunia sejak dikelola oleh Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia. ”Sebelum pandemi, wisatawan dari luar negeri kerap datang ke sini. Karena itu, pengunjung sebaiknya menghubungi kami seminggu sebelumnya kalau mau ke sini,” katanya.
Baca juga: Pegiat Konservasi Dunia Apresiasi Konservasi Bekantan di Kalsel
Menurut Hipni, kedatangan wisatawan itu membawa berkah bagi masyarakat desa sekitar kawasan Pulau Curiak, terutama masyarakat Desa Marabahan Baru dan Anjir Serapat Muara.Masyarakat yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan pencari ikan dan udang di Sungai Barito bisa mendapat penghasilan tambahan dari jasa angkutan kelotok.
”Kalau naik kelotok dari bawah Jembatan Barito, tarifnya Rp 10.000 per orang,” ujarnya.
Rafi’i (17), warga Desa Anjir Serapat Muara yang kerap menjadi motoris pembawa wisatawan, mengaku penghasilan tambahan yang didapatkan dari mengantar wisatawan lumayan. Tanpa menyebutkan nominal, penghasilannya bisa menyamai pendapatan dari hasil menjual ikan dan udang saat tangkapan sedang banyak pada musim tertentu.
”Kalau pas musim ikan atau udang bisa dapat 10 kilogram (kg) sekali turun pada malam hari. Kalau dijual semua dapatnya sekitar Rp 200.000. Tetapi, kalau bukan musimnya, dapat 1 kg saja susah,” kata remaja yang putus sekolah setelah menamatkan sekolah dasar itu.
Restorasi
Ketua Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) Amalia Rezeki mengatakan, Pulau Curiak mulai dikelola secara intensif pada 2016. Hal itu setelah pihaknya melakukan penelitian terhadap keberadaan bekantan dan pertumbuhan mangrove rambai di pulau kecil tersebut dari beberapa tahun sebelumnya.
”Waktu itu, pulau kecil terseut belum punya nama dan tidak punya status perlindungan secara hukum karena berada di luar hutan lindung atau kawasan konservasi. Di situ kami menemukan tren penurunan populasi bekantan dan mangrove rambai,” katanya.
Untuk menyelamatkan 14 individu bekantan di pulau itu dari ancaman kepunahan, SBI pun berupaya menyelamatkan habitat bekantan dengan merestorasi hutan mangrove rambai. Penanaman pohon mangrove rambai digencarkan sehingga daratan pulau terus meluas, dari 2,4 ha menjadi 2,7 ha hingga kini menjadi 3,9 ha.
Meluasnya hutan mangrove rambai membuat populasi bekantan di Pulau Curiak naik dua kali lipat dalam kurun waktu tujuh tahun sejak penelitian pertama, dari 14 ekor pada 2014 menjadi 29 ekor pada 2021. ”Restorasi terhadap habitat bekantan berhasil menyelamatkan populasi bekantan. Itu karena pucuk dan buah mangrove rambai merupakan pakan utama bekantan,” ujarnya.
Pulau Curiak dan kawasan sekitarnya kemudian dikelola dan dijaga secara intensif. Berbagai prasarana dan sarana penunjang dibangun sehingga kawasan Pulau Curiak menjadi pusat edukasi, pusat riset atau penelitian, kegiatan konservasi, hingga berkembang menjadi tempat ekowisata bekantan dengan sasaran wisata minat khusus.
Wisatawan mancanegara itu sebelumnya datang ke Kalimantan Selatan hanya untuk transit atau numpang lewat karena mereka mau ke Kalimantan Tengah untuk mengunjungi ekowisata orangutan. Namun, sekarang, kami berhasil menahan mereka. Bahkan, tidak sedikit dari wisatawan luar negeri itu hanya menuju Kalimantan Selatan untuk mengunjungi ekowisata bekantan. (Amalia Rezeki)
Menurut Amel, panggilan akrab Amalia Rezeki, keberadaan Pulau Curiak perlahan-lahan mencuri perhatian dunia. Wisatawan dari berbagai belahan dunia Asia, Australia, Eropa, dan Amerika pernah datang ke sana. Yang paling sering datang ke Pulau Curiak adalah wisatawan dari Belanda, Jerman, Perancis, dan Belgia.
Baca juga: Populasi Bekantan di Kalsel Naik Dua Kali Lipat dalam 7 Tahun
”Wisatawan mancanegara itu sebelumnya datang ke Kalimantan Selatan hanya untuk transit atau menumpang lewat karena mereka mau ke Kalimantan Tengah untuk mengunjungi ekowisata orangutan. Tetapi, sekarang, kami berhasil menahan mereka. Bahkan, tidak sedikit dari wisatawan luar negeri itu hanya menuju Kalimantan Selatan untuk mengunjungi ekowisata bekantan,” tuturnya.
Konvensi perdagangan internasional untuk spesies hewan dan tumbuhan liar yang terancam punah (CITES) memasukkan bekantan dalam daftar spesies primata yang sudah terancam punah sehingga perdagangannya harus diatur dengan sangat ketat. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan bekantan sebagai satwa dilindungi undang-undang sejak 1931.
Kolaborasi
Amel mengatakan, Pulau Curiak bisa mendunia dan menjadi seperti sekarang ini bukan hanya karena usaha SBI sendiri. Ada banyak pihak yang mendukung upaya konservasi bekantan dan restorasi habitat bekantan di Pulau Curiak, mulai dari pemerintah daerah, perguruan tinggi, perbankan, hingga perusahaan swasta ataupun badan usaha milik negara (BUMN).
Salah satu perusahaan BUMN yang getol mendukung konservasi bekantan dan restorasi habitat bekantan di Pulau Curiak adalah PT Pertamina (Persero) Integrated Terminal Banjarmasin. Sejak 2015, Pertamina telah menjalin kerja sama dengan SBI dan memberikan dana tanggung jawab sosial (CSR) untuk mendukung kegiatan penyelamatan bekantan.
”Kegiatan (penyelamatan bekantan) ini memang membutuhkan kolaborasi, kerja sama, dan sinergisitas dengan berbagai pihak. Karena bagaimanapun, ini adalah tanggung jawab bersama. Untuk itu, kami membangun kolaborasi dengan perusahaan atau instansi apa saja yang mempunyai visi dan misi sama untuk kelestarian bekantan dan habitatnya,” kata Amel.
Dukungan dari pihak lain sangat diharapkan, terutama untuk merestorasi habitat bekantan. Kegiatan restorasi itu harus lebih cepat karena populasi bekantan sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. ”Saat populasi bekantan bertambah, maka harus disiapkan juga kecukupan pakannya. Untuk itu, kami harus lebih gencar melakukan restorasi mangrove rambai,” ujarnya.
Unit Manager Communication, Relations, and CSR Marketing Operation Region (MOR) VI Pertamina Regional Kalimantan Susanto August Satria menyebutkan, program konservasi bekantan merupakan salah satu program unggulan CSR Pertamina yang sudah berjalan sejak 2015 dan akan memasuki fase akhir program pada tahun ini.
”Program konservasi itu adalah bagian dari program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) Pertamina yang masuk ke dalam salah satu dari empat pilar program TJSL Pertamina, yaitu Pertamina Hijau,” kata Satria lewat siaran pers, Sabtu (12/6/2021).
Baca juga: Konservasi Bekantan di Kalsel Terus Didorong
Dalam melaksanakan program konservasi itu, Pertamina bekerja sama dengan SBI serta melibatkan masyarakat melalui kelompok nelayan dan kelompok sadar wisata yang ada di desa-desa sekitar Pulau Curiak. Mereka telah melakukan berbagai kegiatan konservasi, di antaranya pelepasliaran bekantan dan juga penanaman mangrove rambai.
”Keberhasilan program konservasi itu juga berkat sinergi berbagai pihak di Pulau Curiak. Diharapkan, program ini dapat dilanjutkan melalui replikasi program di sekitar area konservasi bekantan di Barito Kuala,” ujar Satria.
Bupati Barito Kuala Noormiliyani AS mengapresiasi program konservasi bekantan dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 7 Juni 2021, kepala daerah perempuan satu-satunya di Kalsel itu memberikan piagam penghargaan kepada SBI dan Pertamina.
”Melindungi bekantan dan menyelamatkan ekosistem lahan basah merupakan peran bersama, baik pemerintah, universitas, komunitas, maupun dunia usaha,” katanya.