Merayakan Budaya ”Kampung Cempluk” di Kabupaten Malang
Anak Kampung Cempluk di Kabupaten Malang kembali menggelar festival budaya ke-11 secara virtual. Meski di tengah pandemi, mereka tetap mencoba eksis.
Festival Kampung Cempluk di Kabupaten Malang menjadi perayaan budaya sekaligus ”perlawanan” warga kampung atas stereotip sebagai warga kelas dua. Perhelatan secara virtual menjadi pilihan di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya mereda.

Tangkapan layar salah satu kelompok seniman yang berpartisipasi dalam Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
Sejumlah anak muda ”Kampung Cempluk” Dusun Sumberjo, Desa Kendalisodo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, berkumpul di perempatan jalan kampung, Minggu (10/10/2021) malam. Mereka menonton bareng beberapa film garapan anak muda setempat, yang sekaligus menjadi bagian dari rentetan ”hari raya budaya” di kampung itu.
Memanfaatkan proyektor dan kain properti milik RW, ada empat film yang mereka putar. Isinya tentang komedi situasi. Kegiatan serupa telah dilakukan sepekan sebelumnya dan rencananya digelar sekali lagi pekan depan. Nonton bareng yang digelar dengan protokol kesehatan itu kerap dilakukan sebelum hasil karya anak-anak kampung tersebut diunggah ke media sosial.
”Perhelatan ini juga masih ada kaitannya dengan Festival Kampung Cempluk (FKC) yang baru saja rampung September lalu. Istilahnya syukuran, pembubaran panitia, sekaligus pemutaran film. FKC sudah semacam ’hari raya budaya’ bagi Cempluk,” ujar Redy Eko Prastyo, pemuda ”Cempluk” sekaligus salah satu penggagas FKC.
Dua tahun terakhir, FKC digelar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tak ada ingar-bingar pawai budaya maupun gegap gempita bazar produk usaha mikro, kecil, dan menengah warga setempat, juga pentas seni yang biasa mewarnai gang-gang kampung kala malam. Yang ada hanya kegiatan seni dan sarasehan. Itu pun dialihkan secara virtual karena alasan pandemi.

Tangkapan layar Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
Meski digelar secara daring dan meniadakan kegiatan fisik, gaung FKC yang memasuki tahun ke-11 ini tak kalah seru dengan ajang yang sama tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah pesohor, seperti Trie Utami, Vina Panduwinata, dan Yuni Shara, hingga dari tataran birokrat, seperti Deputi Pembangunan Ekonomi Ahmad Erani Yustika dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Bolavarian Venezuela Imam Edy Mulyono, turut memberi ucapan selamat.
Sejumlah penampil dan seniman domestik serta luar negeri juga berpartisipasi. Ada pertunjukan tari Kemeluh dari Kampung Buntoi, Kalimantan Tengah; Tabuh Kebyar Bandung Indonesia Menggugat-Sanggar Maha Bajra Sandhi, Bali; Lostang 100%-Samuel Indratma, Yogyakarta; Lisan Tarakan, Kalimantan Utara; Batu Tutur Borobudur-Surbaya; serta tidak ketinggalan penampilan warga Kampung Cempluk sendiri.
Baca juga : Kala Warga Kampung Cempluk Gelar Hari Raya Budaya
Ram Salafia dari Skotlandia yang pernah merampungkan studi di Malang berpartisipasi. Ada juga Arrington de Dionyso dari Amerika; Mondrian-Chung Ching, Taiwan; suguhan gamelan Padang Moncar Gamelan Group dan mahasiswa University of Victoria di Wellington, Selandia Baru; hingga geolog asal Malang, Andang Bactiar, yang lama di Perancis ikut menyuguhkan memeriahkan.
Dari sisi kreativitas, ada tim Holution Studio Malang yang menjadi tulang punggung. Mereka menginterpretasikan pemikiran anak-anak Karang Taruna ”Kampung Cempluk” dalam bentuk artifisial dengan menyatukan teknologi Unreal dan Aximetri sehingga pembawa acara bisa berinteraksi langsung (live) dengan peserta di panggungvirtual.

Tangkapan layar salah satu kelompok seniman yang berpartisipasi dalam Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
Holution Studio merupakan salah satu pioneer virtual stage system Indonesia. Mereka anak-anak muda kreatif yang biasa merangkai kebutuhan ajang virtual. Tim Holution juga mitra resmi dari UB Tech, salah satu bagian dari badan usaha milik Universitas Brawijaya yang bergerak dalam aspek hilirisasi teknologi.
Inovasi dan kolaborasi
Pandemi memang membuat semua pihak, termasuk anak muda ”Cempluk”, harus pandai-pandai memutar otak dan bersahabat dengan teknologi. ”Meski digelar virtual, tidak menyurutkan semangat teman-teman yang tergerak secara konsisten melaksanakan festival,” ujar Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto. Ia juga berharap FKC bisa berdampak positif dan memberikan manfaat bagi pembangunan di Kabupaten Malang.
Dengan tema ”Meluaskan Pandangan serta Mempertajam Pikiran”—diambil dari penggalan catatan Bapak Pendiri Bangsa Mohammad Hatta—mereka sadar bahwa wawasan dan cakrawala perlu terus dibuka. Tema yang dipilih memiliki makna luas dan cocok dengan kondisi saat ini. Fenomena yang terjadi menuntut semua orang harus membuka wawasan untuk selalu haus belajar, mencari hal baru, dan bersiasat.
Baca juga : Beautiful Tunes Emerging from Waste
”Tema ini juga mendorong pola baru untuk tetap mempertajam mata dan pikiran serta kepekaan kolektif terhadap sesama warga kampung. Kolaborasi dan gotong royong harus tetap dilindungi, dijaga, dan diberdayakan sebagai kearifan lokal kampung,” kata Redy.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Harlina Sulistyorini mengatakan, ”Kampung Cempluk” punya potensi besar, baik terkait sumber daya alam, budaya, maupun sumber daya manusia. Tidak semua desa punya potensi seperti ini.

Tangkapan layar salah satu kelompok seniman yang berpartisipasi dalam Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
Festival Kampung Cempluk bisa menjadi salah satu contoh bagi daerah lain, bagaimana inovasi warga dan kaum milenial ikut terlibat dalam pembangunan desa. ”Festival Kampung Cempluk ini sudah bertahan sampai 11 tahun. Tujuannya mau ke mana? Kami berharap ujungnya desa mandiri dan berdaya saing,” katanya.
Daerah yang memiliki keindahan alam dan atraksi budaya berpotensi dikembangkan sebagai desa wisata, seperti halnya ”Kampung Cempluk”. Mereka berupaya untuk maju dan mandiri melalui inovasi kebudayaan. Dari 74.960 desa di Indonesia, sebanyak 7.275 desa punya potensi desa wisata.
Meski digelar virtual, tidak menyurutkan semangat teman-teman yang tergerak secara konsisten melaksanakan festival.
”Meski punya potensi, jika desa itu tidak dikembangkan dan dikelola, tidak akan bisa berkelanjutan. Kita harus mencontoh ’Kampung Cempluk’ yang bisa bertahan sampai 11 tahun. Saya juga perlu tahu apa resepnya sehingga bisa bertahan, eksis, dan berkembang,” ujar Harlina dalam diskusi virtual FKC.
Kekuatan Cempluk diperoleh dari hasil penggalian potensi budaya dan pendidikan. Saat ini, warga ”Cempluk” minimal berpendidikan SMA. Dalam proses pembangunan, mereka berkolaborasi dengan Universitas Brawijaya dan menggaet desa-desa lain di sekitar kampus untuk menjadi kampung tangguh.

Tangkapan layar salah satu kelompok seniman yang berpartisipasi dalam Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
Strategi berikutnya, seluruh mahasiswa pendatang yang masuk ke ”Kampung Cempluk” diajak berpartisipasi melalui wadah karang taruna. Dengan demikian, seluruh generasi muda yang masuk di ”Kampung Cempluk” melebur ke masyarakat dan mengikuti seluruh proses pembangunan desa.
Warga kelas dua
Keberadaan ”Kampung Cempluk” saat ini tidak terlepas dari pandangan negatif yang melekat di daerah itu sebelumnya. Modernisasi yang masuk ke kampung tersebut tahun 1985 (jaringan listrik) tidak langsung disambut oleh masyarakat setidaknya hingga enam tahun. Masyarakat pun memilih menggunakan lampu minyak (cempluk).
”Kampung Cempluk” berada di perbatasan Kabupaten dan Kota Malang. Sebelumnya, sebagian penduduknya bekerja di sektor nonformal, seperti penarik becak, buruh, dan tukang bangunan. Lokasinya yang berada di sekitar (lingkar) kampus menjadikan warganya lebih condong memanfaatkan potensi yang ada dari sisi ekonomi, bukan dalam hal peningkatan sumber daya manusia.
Tak ingin stereotip warga kampung sebagai kelas dua, mereka pun berinisiatif membuat terobosan. Salah satunya menggali budaya dengan menggelar festival secara rutin.

Tangkapan layar salah satu kelompok seniman yang berpartisipasi dalam Festival Kampung Cempluk #11 yang digelar secara virtual, September 2021.
”Ada stereotip, masyarakat Cempluk dinilai tidak mau maju. Sampai era itu, stereotip ini menjadi beban. Setelah era milenial, setiap ada kegiatan, kami berusaha mengembangkan. Anggapan miring tadi jadi kekuatan untuk kami tampil. Kami punya potensi dan kepandaian seperti warga lain. Potensi ini kami gali dari sisi budaya dan pendidikan sehingga kami merasa bukan lagi warga kelas dua atau tiga,” kata Heru Siswanto, salah satu tokoh warga.
Jalan panjang memang telah dilewati oleh warga ”Cempluk” sejak masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Ke depan, mau tidak mau ”Cempluk” akan menjadi bagian dari perkembangan dan desakan zaman. Untuk itu, penting bagi ”Cempluk” tetap mempertahankan potensi yang ada, soal semangat, nilai gotong royong, kebersamaan, budaya, dan lainnya.
Mengutip yang disampaikan Guru Besar Culture Studies Universitas Indonesia Melani Budianta—yang hadir dalam obrolan virtual—bahwa Cempluk yang menjadi ”roh” bagi generasi penerus mesti bisa menjadi lumbung budaya yang bisa menghidupi warganya. Hingga ke mana pun anak cucu pergi, mereka akan kembali ke tempat itu dan memperkuatnya.
”Dia (Cempluk) menjadi landasan dan semangat bagi Indonesia, menginspirasi dan menjadi kekuatan bagi Indonesia,” kata Melani.
Baca juga : Balada Desa dalam Mengatasi Covid-19