Politik Berbiaya Tinggi Picu Korupsi Dimanfaatkan Para Mafia
Penangkapan kepala daerah di Sumatera Selatan dan beberapa daerah yang lain merupakan dampak dari sistem politik berbiaya tinggi. Butuh perubahan pola sistem perpolitikan sehingga praktik korupsi tidak lagi marak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penangkapan sejumlah kepala daerah di Sumatera Selatan adalah dampak sistem politik berbiaya tinggi sejak pemilihan langsung diterapkan. Hal itu dimanfaatkan para mafia politik melanggengkan kekuasaan dengan menumbangkan pesaingnya.
Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya, Ardiyan Saptawan, Rabu (20/10/2021), berpendapat, pilkada langsung menjadi akar masalah praktik korupsi di Indonesia. Untuk mendapatkan jabatan, calon kepala daerah harus mengeluarkan dana tidak sedikit.
Hal ini terjadi karena karakteristik sebagian besar pemilih Indonesia masih tradisional sehingga memicu praktik politik uang tumbuh subur. Apalagi, saat menjabat, kepala daerah kerap dirongrong oknum partai politik. ”Salah satu cara calon kepala daerah mendapatkan dana adalah melalui kader di partainya,” ungkap Ardiyan.
Dengan desakan dari berbagai sisi inilah, kepala daerah sering kali kehilangan cara dan menempuh jalur ilegal. Salah satu praktiknya, menekan kepala dinasnya mencari pendapatan setiap proyek pemerintah daerah. ”Mereka meminta commitment fee dari para kontraktor sebelum mendapatkan proyek tersebut,” ungkap Ardiyan.
Kebiasaan inilah yang kemudian dimanfaatkan para pesaing politik untuk menjatuhkan kepala daerah. Salah satunya, mematikan karier politik lawan dengan operasi tangkap tangan. ”Saya yakin yang memberi informasi, mereka yang ada di dalam konstelasi politik negara. Bukan masyarakat biasa,” ungkapnya.
Sayangnya, ujar Ardiyan, mereka yang terjerat kasus korupsi akhir-akhir ini adalah kepala daerah yang cukup berpotensi. Namun, kegemilangan mereka seketika padam akibat perbuatan korupsi.
Jika lingkaran setan ini terus berlangsung, Indonesia berpotensi terjerumus menjadi negara kleptokrasi, yakni pemerintahan dikuasai mafia politik. Kelompok ini menghalalkan segala cara untuk mengamankan posisinya.
Karena itu, ujar Ardiyan, perlu langkah ekstrem untuk keluar dari masalah ini. Salah satu caranya, mengubah sistem politik berbiaya tinggi dengan mengembalikan sistem pemilihan kepada DPR. Hanya saja, sebelum itu diterapkan, DPR harus benar-benar bersih dan mewakili aspirasi rakyat sampai ke akar rumput.
”Dibutuhkan seorang pendobrak, satrio piningit, untuk mengentaskan masalah ini agar tidak terus berlarut-larut,” kata Ardiyan.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Sumsel Nunik Handayani mengatakan, sektor paling banyak dikorupsi adalah anggaran infrastruktur. Caranya, mematok dana komitmen dengan persentase tertentu kepada para kontraktor sebelum proyek itu diberikan.
Agar semua berjalan mulus, menurut Nunik, ada kerja sama antara pejabat legislatif dan eksekutif. Skema ini muncul lagi dalam korupsi anggaran infrastruktur di Muara Enim yang menyeret bekas Bupati Ahmad Yani dan Bupati nonaktif Musi Banyuasin Dodi Reza Alex.
Pelayanan berjalan normal
Sementara itu, setelah Dodi Reza Alex terjaring OTT KPK, aktivitas pelayanan publik di Musi Banyuasin diklaim berjalan lancar. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Musi Banyuasin Herryandi Sinulingga mengatakan, pelayanan publik berjalan sesuai tahapan dan prosedurnya.
Pelaksana Tugas Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi juga memastikan semua pelayanan publik tidak terhambat. Bahkan, dirinya juga akan mengisi jabatan kosong di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Musi Banyuasin.
Rahmad (33), warga Sungai Lilin, Musi Banyuasin, terkejut dengan OTT KPK. Alasannya, bukan kali pertama Bupati Musi Banyuasin terseret kasus korupsi. Sebelumnya ada Bupati Musi Banyuasin Periode 2008-2015 Pahri Azhari yang terseret kasus korupsi.
”Semoga kejadian ini Musi Banyuasin tidak semakin terpuruk,” ujar Rahmad.