Merawat Bangunan Tua Jejak Perjuangan Bangsa
Sejumlah bangunan kuno di Kota Semarang, jadi saksi perjuangan bangsa. Dari misi pendidikan, hingga ruang pergerakan. Namun, pelestariannya belum optimal. Dibutuhkan keberpihakan pemerintah dan sinergi masyarakat.
Selain identitas sebagai kota dagang, Kota Semarang memiliki berbagai peninggalan sejarah tergolong cagar budaya. Selain bangunan-bangunan ikonik, terdapat sejumlah warisan budaya yang turut berperan membentuk bangsa, dari misi pendidikan hingga medium pergerakan.
Kolom struktur kayu yang menjulang sekitar tujuh meter di aula SMA dan Akademi Kesejahteraan Sosial (AKS) Ibu Kartini, Kota Semarang, Jawa Tengah, tampak kokoh, Selasa (12/10/2021). Sementara tegel di bibir aula berbentuk pendopo mulai terbelah pecah.
"Tegel ini masih asli. Jadi, saat ada yang pecah seperti ini, kami sulit mencari yang sama persis. Selain itu, kalau soal optimal atau tidaknya perawatan bangunan, ya memang belum. Sebab, dana pemeliharaan terbatas," kata Kepala SMA Ibu Kartini, Semarang, Soekrismanto.
Bangunan sekolah yang berdiri di atas lahan seluas 12.331 meter persegi itu merupakan salah satu warisan arsitek Thomas Karsten, yang dibangun pada 1923. Bangunan itu adalah cagar budaya peringkat nasional yang terakhir ditetapkan berdasarkan Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 210/M/2015.
Dikutip dari cagarbudaya.kemdikbud.go.id, bangunan SMA dan AKS Ibu Kartini dulunya merupakan sekolah asrama dengan kompleks bangunan yang susunannya berpola tapal kuda. Sekolah itu didirikan untuk meneruskan sistem pendidikan yang sudah ada di Sekolah Dasar Kartini.
Baca juga : Pasar Johar Semarang, Kelahiran Ulang Warisan Mahakarya Karsten
Pada 1950, bangunan dihibahkan VDV-Stichting (Van de Venter-Stichting) kepada Yayasan Ibu Kartini. Di bawah Yayasan Ibu Kartini, misi sebagai sekolah kesejahteraan keluarga bagi kaum perempuan masih terus berlanjut.
Namun, dikatakan Soekrismanto, bangunan tersebut juga sempat digunakan beberapa pihak lain. Baru pada 1983, digunakan kembali Yayasan Ibu Kartini hingga sekarang.
Soekrismanto mengenang, pada 1990-an, sebanyak 15 kelas, dengan masing-masing tingkatan terdiri dari lima kelas, kerap dipenuhi siswa. Bahkan, mereka sempat menolak siswa baru. Namun, selanjutnya, orang-orang lebih banyak bersekolah di sekolah negeri. Jumlah siswa di SMA itu pun perlahan berkurang.
Kini bahkan hanya tinggal tersisa satu kelas berisi 18 siswa kelas 12. "Mereka akan lulus April-Mei 2022. Setelah itu habis. Yayasan masih menggodok seperti apa selanjutnya, apakah dijadikan SMK atau lainnya. Masih belum tahu," ucap Soekrismanto.
Kami tetap berkomitmen utnuk merawat dan berusaha memelihara bangunan ini dengan baik, tetapi pada akhirnya memang sebatas kemampuan. (Soekrismanto)
Ia menambahkan, sebagai cagar budaya peringkat nasional, ada bantuan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jateng yang menempatkan satu tenaga kebersihan, dan sekaligus bertanggungjawab untuk AKS Ibu Kartini. Namun, diakuinya, merawat bangunan tua rumit, sehingga belum optimal.
"Memang selama ini kami mendapat bantuan. Namun, harapan kami bisa ditingkatkan, terutama karena biaya perawatan cukup mahal. Kami tetap berkomitmen utnuk merawat dan berusaha memelihara bangunan ini dengan baik, tetapi pada akhirnya memang sebatas kemampuan," lanjutnya.
Eks Sarekat Islam
Sekitar 4,5 kilometer ke arah timur laut, di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, terdapat bangunan kuno eks Sarekat Islam (SI), yang kini disebut Balai Muslimin. Nama itu disematkan karena kepemilikan gedung kini pada Yayasan Balai Muslimin.
Gedung itu bersejarah karena menjadi tempat berkembangnya Sarekat Islam di Semarang pada 1917. Bangunan itu menjadi bagian dari munculnya organisasi pergerakan dari masyarakat bawah dalam mencapai kemerdekaan, guna mengangkat martabat bangsa.
Sejarawan dari Universitas Diponegoro, Dewi Yuliyati, yang ikut mengkaji bersama BPCB pada 2013, menjelaskan, gedung SI terkait erat dengan sejarah pergerakan rakyat melawan Belanda. SI terbentuk di Semarang sejak 1917 dan jadi cabang dari SI di Solo. (Kompas, 25 Oktober 2013)
Baca juga : Mereguk Kenangan di Jalur Dagang Semarang
Semaoen yang mengumpulkan dana pembangunan gedung SI. Pembangunan dimulai tahun 1918. Dibuka pula sekolah SI yang memakai gedung itu. Menurut Dewi, gedung SI adalah peninggalan budaya yang menyimpan memori kolektif bangsa dalam memerdekakan diri.
Gedung itu dalam kondisi tak terawat, hingga dipugar BPCB Jateng pada 2014. Menurut hasil kajian BPCB Jateng, disebutkan bahwa gedung tersebut menyimpan memori kolektif warga bangsa dalam proses pembebasan diri dari belenggu penjajahan. Gedung itu dinilai tergolong cagar budaya.
Perawatan rutin memang tidak ada karena yayasan perorangan itu juga tak aktif. (Abidin-Yayasan Balai Muslimin)
Berdasarkan pantauan, Selasa (12/10), kendati sekilas baik dari luar, kondisinya tampak minim perawatan. Sejumlah kain tampak dijemur di semak-semak di depan gedung.
Abidin (56), salah satu anggota Yayasan Balai Muslimin, mengatakan, perawatan rutin memang tidak ada karena yayasan perorangan itu juga tak aktif. "Dibersihkan kalau mau digunakan saja. Misal oleh warga, maka ada kerja bakti. Kadang juga dipakai kelurahan. Terakhir dipakai untuk vaksinasi. Namun, untuk perawatan rutin tidak ada. Sarana air, listrik, juga tidak ada," katanya.
Sementara di Jalan Wotgandul Barat, Semarang, Widayat Basuki Dharmowiyono (76) merawat sendiri bangunan cagar budaya yang memang menjadi tempat kelahirannya. Di sisi bangunan rumah bergaya indische yang diperkirakan ada sejak 1850-an, ia mengelola Dharma Boutique Roastery, tempat mengolah dan menjual kopi.
Basuki menuturkan, sejak 2018, bangunan rumahnya ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemkot Semarang. "Memang untuk pajak bumi dan bangunan ada potongan 50 persen. Namun, saya harap ke depan sistem bisa terintegrasi. Sebab, hingga kini saya setiap tahun mesti mengajukan permohonan itu," ucapnya.
Ketiga bangunan tersebut hanyalah sepenggal warisan budaya dari kota Semarang. Masih banyak penanda kesejarahan lainnya yang bernilai, serta turut andil dalam membentuk Semarang menjadi kota dagang. Kota di mana berbagai kelompok etnis hidup rukun berdampingan.
Baca juga : Percik Spirit Kampung Urban Semarang
Menurut laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kemdikbud, tercatat ada lima cagar budaya peringkat nasional di Kota Semarang. Kelimanya ialah Lawang Sewu (kategori bangunan, terakhir ditetapkan 2014), SMA dan AKS Ibu Kartini atau Sekolah Van Deventer (bangunan, 2015), Gereja Blenduk (situs, 2015), RS Dr Kariadi (bangunan, 2017), serta Tugu Muda (struktur, 2017).
Pada Agustus 2020, kawasan Semarang Lama, termasuk di dalamnya Kota Lama, ditetapkan sebagai cagar budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini, Kota Lama Semarang juga ada dalam daftar tentatif Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Pluralisme
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang, Ufi Saraswati, mengatakan pada mulanya, termasuk sejak 1990-an kepedulian warga Semarang akan bangunan bersejarah cenderung kurang. Ia mencontohkan, Kota Lama yang kaya akan bangunan bersejarah, justru menjadi kawasan tak terawat dan dihindari.
Padahal, Kota Semarang memiliki potensi besar kekayaan bangunan bernilai sejarah. Tak sebatas fisik, nilai-nilai pluralitas sebenarnya terbentuk lama dan melebur dalam kehidupan sehari-hari. Warga berbagai etnis mampu bersatu dan minim gejolak.
Ia juga mencontohkan, di Semarang masih ada tradisi Dugderan atau acara tahunan setiap menjelang Ramadhan. Dalam acara tersebut, selalu ada warak ngendok, yang merupakan hewan imajiner yang merepresentasikan setiap kebudayaan yang ada di Semarang.
Menurut Ufi, nilai-nilai tersebut merupakan modal penting yang dimiliki Semarang. "Maka itulah kenapa Kawasan Semarang Lama menjadi cagar budaya peringkat nasional. Nilai-nilai pluralisme itu yang perlu disadari generasi milenial. Pluralisme ialah keniscayaan bagi orang Indonesia," katanya.
Dosen Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang, Eddy Prianto, menilai, eksplorasi perlu terus dilakukan guna menemukan potensi utama Kota Lama. Dengan kesepakatan bersama, pengembangan bisa fokus dan berkelanjutan.
Baca juga : Dilema Peradaban Segitiga Emas ”Kota Atlas”
Ia mencontohkan, misalnya benteng yang mengelilingi Kota Lama, beberapa abad silam. "Meskipun saat ini bentengnya sudah tidak ada, tidak apa-apa. Bisa gunakan visualisasi. Atau potensi lainnya, misalnya perdagangan. Bisa fokus ke sana, seperti penataan Kali Semarang karena dulu kapal-kapal melintas termasuk untuk perdagangan," ujar Eddy.
Sementara aspek pariwisata dinilainya menjadi yang terakhir. "Jadi, tidak sekali jadi. Hari ini dianggarkan besok harus langsung tampil. Tahapan-tahapan mulai dari penggalian potensi lokal penting agar pengembangan berkesinambugan," lanjutnya.
Pemkot Semarang sendiri mengembangkan pengembangan Semarang Lama, di sekeliling Oudstad (Kota Lama). Dimulai dari Kampung Melayu di Kelurahan Dadapsari, dengan peletakan batu pertama pada Kamis (1/10/2021). "Seperti kawasan ‘Little Netherland’, Kampung Melayu yang saat ini relatif kumuh harus ditata ulang menjadi daya tarik wisata Kota Semarang," ujar Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Sebagai perangkai jejak peradaban bangsa, bangunan-bangunan bersejarah, termasuk di Semarang semestinya terus dirawat dan dilestarikan. Keberpihakan pemerintah maupun ikhtiar masyarakat dibutuhkan supaya ruang-ruang itu tetap terjaga dan bermanfaat.