Pemimpin Nahdlatul Ulama Harus Visioner hingga Paham Perkembangan Teknologi
Pemimpin NU masa depan harus visioner hingga memiliki kemampuan manajerial. Pemimpin NU di masa depan juga harus memahami teknologi dan bisa membawa NU berbicara di tingkat internasional.
Oleh
Defri werdiono
·4 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Webinar kebangsaan ”Sosok Ideal Pemimpin NU Menjelang Satu Abad” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Malang (Unisma), di Malang, Jawa Timur, Sabtu (16/10/2021).
MALANG, KOMPAS — Pemimpin Nahdlatul Ulama ke depan harus visioner hingga memiliki kemampuan manajerial, menguasai teknologi, dan piawai berbicara di kancah global. Di samping itu, kemampuannya merawat keberagam dan kemajemukan tetap harus dipertahankan.
Demikian salah satu benang merah webinar kebangsaan bertema ”Sosok Ideal Pemimpin NU Menjelang Satu Abad” yang diselenggarakan Universitas Islam Malang (Unisma), Sabtu (16/10/2021), di Malang, Jawa Timur. Webinar dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional itu diselenggarakan Panitia Lustrum VIII Unisma.
Hadir sebagai pembicara adalah Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji Sleman KH Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah dan Prof Lik Arifin Mansurnoor dari Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ada juga rohaniwan Romo Antonius Benny Susetyo, KH Nadirsyah Hosen dari Monash University, dan Rektor Unisma Prof Maskuri.
Menurut Gus Miftah, seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) seperti pemimpin perusahaan, harus memiliki aspek manajerial dan kepemimpinan. Dia mesti dikenal dan memiliki jaringan luas. Bukan semata-mata di bidang agama, tetapi juga kebangsaan, perekonomian, sosial, budaya, dan politik.
”Memiliki visi yang jelas dan relevan soal permasalahan umat sekaligus strategi dan program implementasi yang mendukung. Apalagi, Indonesia sedang ada di era pandemi, kesehatan dan ekonomi butuh perhatian lebih,” katanya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji Sleman KH Miftah Maulana Habiburrahman menjawab pertanyaan pers di sela-sela webinar kebangsaan ”Sosok Ideal Pemimpin NU Menjelang Satu Abad” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Malang (Unisma), di Malang, Jawa Timur, Sabtu (16/10/2021).
Gus Miftah menyinggung, dari lima jenis orang yang mengaku NU, hanya orang yang tahu tentang NU dan gigih memperjuangkan saja yang ideal untuk memimpin. Sementara empat jenis yang lain dianggap kurang layak.
Keempat jenis itu adalah pertama, orang yang tidak tahu, tetapi cinta NU. Kedua, orang yang tahu, tetapi tidak mau tahu soal NU. Ketiga, orang yang sekadar ingin memanfaatkan NU untuk meraih ambisi dan jabatan. Terakhir, mereka yang benci, tetapi terpaksa mengaku NU karena ingin selamat.
KH Nadirsyah menilai, pemimpin NU mesti pandai membaca perubahan sosial. Ia mencontohkan, kondisi dunia internasional terus berubah, termasuk di dunia Arab. Demografi warga NU juga banyak yang berasal dari kalangan milenial sehingga regenerasi menjadi hal yang patut diperhatikan.
Pemimpin NU juga harus bisa membangkitkan peradaban Islam. Sejak awal, para kiai tak hanya menempatkan NU dalam kajian lokal, tetapi juga konteks global. Membangun peradaban Islam bukan berarti menghancurkan peradaban Barat atau menghancurkan peradaban yang ada, tetapi merangkul dan bekerja sama dengan peradaban lain.
”Membangkitkan peradaban Islam dengan oritensasi masa lalu, seperti khilafah, sudah tidak bisa lagi dilakukan. Maka, di sini ada strategi kebudayaan. Saat ini, umat Islam merasa terisisihkan dari sisi sosial dan kebudayaan. Dengan K-pop (budaya Korea) aja kita kalah. Perlu strategi kebudayaan,” ucapnya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Webinar kebangsaan ”Sosok Ideal Pemimpin NU Menjelang Satu Abad” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Malang (Unisma), di Malang, Jawa Timur, Sabtu (16/10/2021).
Untuk itu, setelah muktamar, lanjut KH Nadisyah, setidaknya ada tiga hal yang bisa bergabung dalam PBNU. Mereka adalah penjaga gawang ahlus sunnah wal jama’ah (sifatnya ideologis), pemikir visioner (sifat strategis), dan praktisi dalam berbagai bidang.
Romo Benny Susetyo berpendapat, sosok ideal satu abad NU harus bisa menjawab tanda-tanda zaman. Dia mencontohkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mampu membaca tanda-tanda zaman saat Orde Baru berkuasa. Gus Dur pun diakui di tingkat dunia karena mampu menjembatani segala perbedaan.
”Gus Dur punya leadership luar biasa, membangun kekuatan masyarakat sipil sehingga muncul gerakan NGO (organisasi nonpemerintah) dan mampu menelurkan tokoh-tokoh muda NU yang progresif. Beliau juga mampu memadukan visi agama dan demokrasi. Sumbangan Gus Dur terbesar saat itu menjaga keragaman, kemajemukan, dan tata peradaban dunia,” katanya.
Menurut Romo Benny, pimpinan NU yang visioner ke depan harus menguasai tiga hal pokok, yakni ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi. Teknologi penting karena ini menentukan dominasi kita di ruang publik. Pemahaman pada teknologi digital tidak bisa ditawar di masa sekarang.
Kemampuan mengombinasikan ilmu pengetahuan, teknologi informasi, dan komunikasi penting untuk menjawab tantangan zaman. Dunia membutuhkan terobosan baru, bagaimana NU ke depan mampu tidak hanya sebagai jangkar Republik Indonesia, tetapi juga perdamaian dunia.
Satu hal lagi, menurut Romo Benny, NU harus mampu merawat keragaman dan kemajemukan. Sebab, hal itu, katanya, bagian dari gugus insting cara perilaku dan bertindak orang NU. ”Rohnya NU seperti itu. Sejak Muktamar I NU di Banjarmasin sudah ada komitmen soal negara kebangsaan, bukan negara agama,” ujarnya.