Kampoeng Kepiting, Suar Baru Barisan Mantan Pekerja Migran Cilacap
Di Kampoeng Kepiting Cilacap, ibu-ibu rumah tangga mantan pekerja migran Indonesia merajut asa. Bekerja di kampung halaman demi anak tercinta dan keluarga dinilai lebih baik daripada merantau di negeri orang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Jerat kemiskinan yang membelenggu warga pesisir selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, kerap memaksa mereka meninggalkan keluarga, mengais rezeki di negeri orang. Melalui semangat pemberdayaan, para perempuan meretas harapan mandiri di kampung sendiri.
Aroma sedap menguar dari dapur berukuran sekitar 6 meter x 5 meter. Sejumlah ibu bermasker dan bercelemek sibuk meracik bumbu, menyiapkan sayur, nasi, dan melumuri potongan kepiting cangkang lunak dengan tepung. Sreeng…, minyak panas menyambut kepiting dan menjadikannya kepiting krispi lezat untuk disajikan bagi para pengunjung Kampoeng Kepiting, Cilacap.
Kampoeng Kepiting terletak di Desa Kutawaru, Cilacap Tengah, Cilacap. Di gazebo bambu warna-warni, pengunjung bisa duduk santai melepas penat sembari dibelai semilir angin serta menyeruput segarnya kelapa muda.
Tak jauh dari gazebo itu, terhampar kawasan tambak seluas 30 meter x 25 meter. Dari tambak tersebut, kepiting-kepiting itu dihasilkan. Hewan bercangkang tersebut dibudidayakan dalam ratusan keramba mini yang terapung di tepian tambak. Sementara di dalam kolam tambak, aneka jenis ikan tampak berenang-renang mulai dari kakap, kerapu, hingga bandeng.
Oleh karena itu, menu kuliner laut di Kampoeng Kepiting tak hanya menyajikan kepiting. Ada juga udang krispi, kerapu, dan kakap bakar. Sebagai pendamping, tersaji sayuran pecel hingga cah kangkung.
Menu kuliner laut itu dimasak oleh 10 ibu rumah tangga yang bergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Masyarakat Mandiri Kutawaru yang disingkat ”Mamaku”. Mama-mama ini adalah mantan pekerja migran Indonesia. Mereka pernah merantau, membanting tulang, serta memeras keringat di sejumlah negara, antara lain Arab Saudi, Singapura, Malaysia, dan Taiwan.
”Lumayan di sini ada kegiatan. Daripada di rumah tidak kerja apa-apa. Apalagi kemarin sempat bikin kerupuk ikan, tapi karena pandemi jadi sepi dan berhenti,” kata Sariyah (45), salah satu anggota kelompok Pembudidaya Ikan Mamaku, Rabu (6/10/2021).
Dengan bekerja di Kampoeng Kepiting ini, setidaknya Sariyah bisa mendapatkan pemasukan Rp 300.000 dalam seminggu. Ibu satu anak ini pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di Singapura (2000-2002), Malaysia (2008-2010), dan Taiwan (2014-2019). Karena bekerja di luar negeri dan sang suami bekerja di kapal ikan serta baru pulang setahun sekali, sang anak pun terpaksa dititipkan kepada neneknya. Selama itu, sang anak pun protes.
”Aku maunya dijaga, aku ingin kayak teman-teman ada bapak, ada ibu. Sekarang sudah senang ada bapak dan ibu, ngumpul dan tidak diejek lagi oleh teman-teman, ibumu tidak pernah di rumah, kerja terus,” ucap Sariyah menirukan keluhan sang anak yang kini duduk di bangku kelas IX SMP.
Selain Sariyah, ada pula Sapen Nuryani (50) yang pernah bekerja di Arab Saudi pada 1990-1999. Sepulang merantau, dia membuka warung kelontong dan menjual gorengan serta lotek untuk membantu suami yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan. Kini, dengan bergabung bersama Kampoeng Kepiting, Sapen juga bisa mendapatkan tambahan pemasukan Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.
”Memang (penghasilan) tidak mesti berapanya karena tergantung berapa banyak tamu yang datang. Tapi, ini lumayan buat kegiatan,” ujar Sapen.
Selain Sariyah dan Sapen, ada Surmiati (46) yang pernah bekerja di Arab Saudi pada 1999-2005 sebagai pengasuh orang lansia dan 2005-2008 bekerja di Taiwan sebagai pengasuh anak. Dia mengaku sebenarnya cukup berat meninggalkan dua anaknya untuk merantau ke negeri orang. Namun, hal itu mesti dilakukan karena terdesak kebutuhan ekonomi.
Surmiati bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga karena penghasilan sang suami sebagai nelayan tidak menentu. Saat itu, gajinya di Arab Saudi mulai Rp 600.000 sampai Rp 2 juta per bulan dan semua dikirimkan ke keluarga. Adapun di Taiwan, dia mendapatkan gaji hingga Rp 4 juta per bulan.
”Setelah pulang, saya tidak bekerja. Paling bertani dan kemudian gabung ke sini (Kampoeng Kepiting),” ujarnya.
Baik Sariyah, Sapen, maupun Surmiati bersyukur bisa bergabung dengan kelompok yang dibina tim dari Tanggung Jawab Perusahaan (CSR) PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Cilacap tersebut. Selain bisa bekerja di kampung halaman dan dekat anak, mereka juga mendapat pelatihan memasak olahan seafood oleh seorang koki dari Banyumas.
”Dulu masaknya orang kampung, ya, bumbu-bumbunya itu-itu saja. Kalau ini ada yang spesial, bumbu dan racikan diatur, jadi rasanya beda,” kata Surmiati.
Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Masyarakat Mandiri Kutawaru Lasno menyampaikan, kelompok ini dirintis sejak 2019. Dari 15 anggota, 10 orang adalah ibu rumah tangga mantan pekerja migran dan lima orang lainnya adalah laki-laki.
Kelompok ini dirintis sejak 2019. Dari 15 anggota, 10 orang adalah ibu rumah tangga mantan pekerja migran dan lima orang lainnya adalah laki-laki. (Lasno)
Selain kepiting cangkang lunak, kelompok tersebut juga membudidayakan kepiting keras, ikan nila, kakap, dan kerapu. ”Kami juga membuka kolam untuk pemancingan,” tutur Lasno.
Kesulitan benih
Untuk menyiapkan kepiting cangkang lunak, kelompok ini mencari benih dari para nelayan di sekitar Cilacap. Selanjutnya, benih itu dipotong empat kakinya, lalu dimasukkan ke dalam keramba apung kecil selama seminggu hingga sebulan. Kepiting tersebut lalu akan berganti cangkang seperti layaknya ular berganti kulit. Saat ganti cangkang inilah, kepiting segera dipanen. Setiap kilogram kepiting cangkang lunak ini dijual seharga Rp 120.000.
Pada musim kepiting pada April dan Mei, lanjut Lasno, pasokan benih bisa mencapai 1.000 ekor atau 1 kuintal per bulan. Namun, jika sedang bukan musimnya, kelompok ini kesulitan mencari benih. ”Benih dari wilayah Cilacap, seperti dari Bondan dan Tritih. Pernah cari dari wilayah Brebes, tapi kurang optimal, banyak yang mati,” tuturnya.
Meski demikian, menurut Lasno, per hari setidaknya tersedia 2-3 kilogram kepiting cangkang lunak. Namun, bagi pengunjung dalam jumlah banyak biasanya mesti memesan beberapa hari sebelumnya terlebih dahulu. Jika persediaan kepiting terbatas, aneka olahan ikan, udang, dan kerang bisa jadi pilihan.
Awalnya, mereka TKI dan sudah purna, kemudian kembali untuk membangun desanya. Lalu, kami fasilitasi dengan berbagai pemberdayaan masyarakat, seperti bagaimana pembangunan lingkungan area wisata, pembibitan kepiting, juga pelatihan memasak kepiting. Tujuan utamanya adalah menciptakan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. (Ibnu Adiwena)
General Manager PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Cilacap Eko Sunarno menyampaikan, keberadaan kilang Pertamina diharapkan berdampak positif bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, program CSR Pertamina mengutamakan empat pilar, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi.
Penjabat Sementara (Pjs) Area Manager Communication, Relations, & CSR PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Cilacap Ibnu Adiwena menyampaikan, CSR Pertamina di Desa Kutawaru ini berupaya memfasilitasi warga, khususnya para mantan pekerja migran Indonesia, untuk dapat berdaya membangun desa, terutama melalui ekowisata dengan mengangkat kuliner unggulan.
”Awalnya mereka TKI dan sudah purna, kemudian kembali untuk membangun desanya. Lalu, kami fasilitasi dengan berbagai pemberdayaan masyarakat, seperti bagaimana pembangunan lingkungan area wisata, pembibitan kepiting, juga pelatihan memasak kepiting. Tujuan utamanya adalah menciptakan masyarakat yang mandiri secara ekonomi,” kata Ibnu.
Budidaya ikan dan kepiting serta kuliner di Kampoeng Kepiting ini juga menjadi harapan bagi para ibu rumah tangga serta masyarakat sekitar. Harum aroma masakan dari para ibu ini menjadi tanda geliat warga yang berusaha mandiri. Dengan berdikari di desa sendiri, mereka tak perlu lagi meninggalkan buah hati, merantau ke luar negeri demi sesuap nasi.