Meniti Mimpi Wisata Geologi Lumpur Sidoarjo
Evolusi Lumpur Sidoarjo membuahkan keragaman sumber daya geologi, seperti mineral yang terkandung di dalam lumpur, lapisan batuan, fosil, struktur geologi, dan bentang alam. Hal itu menjadi kekayaan hakiki yang unik.
Evolusi semburan Lumpur Sidoarjo berbuah keunikan dan keragaman sumber daya geologi, seperti kandungan mineral, lapisan batuan, dan bentang alam. Hal itu menjadi kekayaan hakiki yang berkontribusi bagi penelitian dan pendidikan kebumian. Pengelolaan berkonsep geowisata jadi titian menjaga warisan kekayaan sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitarnya.
Lestari (29) duduk di bibir tanggul dengan mata menatap tajam ke arah pusat semburan lumpur, Minggu (10/10/2021). Kepulan asap putih yang membubung di atas semburan membuatnya berdecak kagum. Tangannya pun sontak merogoh telepon genggam dan mengoperasikan kameranya untuk mengabadikan momen tersebut.
Tak jauh dari Lestari, seorang pengunjung tengah berswafoto dengan latar hamparan danau lumpur yang mengering di musim kemarau. Sebagian lumpur terlihat berwarna putih mirip hamparan garam di tambak petani garam. Sebagian lainnya berwarna abu-abu dengan permukaan tanah pecah-pecah.
”Pemandangan lanskap danau lumpur dengan gradasi warna di permukaannya dan semburan lumpur yang masih aktif sangat menarik,” ujar Rika (33), wisatawan asal Blitar.
Baca juga : Ikhtiar Menangkap Semburan Ekonomi dari Lumpur Sidoarjo
Gradasi warna di permukaan danau lumpur dan aktivitas di pusat semburan yang masih aktif hanyalah secuil daya tarik Lumpur Sidoarjo (Lusi). Meski demikian, daya tarik itu telah memikat perhatian banyak orang untuk datang di atas tanggul lumpur yang berada tepat di tepi Jalan Raya Porong, Sidoarjo.
Sayangnya, tak ada catatan pasti mengenai jumlah pengunjung Lusi karena pengelolaan obyek wisata yang tidak jelas. Di lokasi hanya ada sekelompok orang yang mengaku korban lumpur. Mereka menarif wisatawan Rp 10.000 per orang, termasuk anak-anak, dan biaya parkir kendaraan Rp 10.000 per mobil.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Sidoarjo Djoko Supriyadi mengatakan, pihaknya berharap Lusi segera dikembangkan sebagai obyek wisata agar memiliki dampak ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Dia meyakini, Lusi memiliki daya pikat luar biasa bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
”Mengenai konsep pengelolaannya, pemda sepakat harus mengedepankan aspek konservasi agar sumber daya alam tersebut tetap lestari. Pemda siap berkontribusi, termasuk menyiapkan anggaran untuk mendukung pengembangan wisata semburan lumpur,” kata Djoko.
Lumpur Sidoarjo atau disebut juga lumpur Lapindo merupakan peristiwa semburan lumpur panas yang terjadi sejak 29 Mei 2006 di lokasi pengeboran Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) Lapindo Brantas Inc. Pusat atau titik semburan yang masih aktif hingga sekarang itu berada di Desa Siring, Kecamatan Porong, yang berjarak 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjar Panji I.
Baca juga : Penantian Panjang Korban Lumpur Lapindo
Penyebab semburan yang bersifat fluktuatif ini masih kontroversi. Sebagian ahli menyebut akibat aktivitas industri migas, tetapi sebagian lain menyatakan sebagai fenomena gunung lumpur yang dipicu oleh aktivitas vulkanik. Volume semburan mencapai 100.000-120.000 meter kubik per hari, kemudian turun menjadi 86.270 meter kubik per hari pada pengukuran tahun 2017.
Sumber daya geologi
Ahli geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amin Widodo, mengatakan, semburan lumpur di Sidoarjo diikuti proses deformasi geologi yang aktif di sekitar lokasi. Evolusi Lusi membuahkan keragaman sumber daya geologi (geodiversity) seperti mineral yang terkandung di dalam lumpur, lapisan batuan, fosil, struktur geologi, hingga bentang alam. Hal itu menjadi kekayaan hakiki yang unik, penuh makna, dan tidak dimiliki daerah lain sehingga patut dilindungi sebagai warisan geologi.
”Warisan geologi ini bisa dimanfaatkan dan dikelola untuk pengembangan geopark dan geowisata. Konsep tersebut dipilih untuk menyelaraskan antara kepentingan konservasi, pengelolaan, serta pemanfaatannya untuk pendidikan, keilmuan, dan pemberdayaan ekonomi,” kata Amin.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia Muhammad Burhannudinnur dalam webinar bertajuk ”Layakkah Semburan Lumpur sebagai Warisan Geologi”, Sabtu (9/10/2021). Acara yang dimotori oleh Teknik Geofisika ITS ini juga menghadirkan Aries Kusworo dari Badan Geologi.
Menurut Burhannudinnur, pengembangan geopark di Indonesia masih tertinggal dari sisi jumlah dibandingkan dengan negara lain di dunia. Berdasarkan data Badan Geologi sampai dengan Agustus, baru enam geopark global yang diakui oleh UNESCO (UGGp), yakni Batur, Gunung Sewu, Ciletuh, Rinjani, Kaldera Toba, dan Belitong.
Lihat juga : Kisah Sebuah Foto dari Bencana Lumpur Lapindo
Selain itu, ada 13 geopark nasional dan lebih dari 10 aspiring geopark nasional. Untuk mengatasi ketertinggalan tersebut, pengembangan taman bumi terus dilakukan. Badan Geologi menyatakan terdapat 110 potensi warisan geologi Nusantara, salah satunya gunung api lumpur Sidoarjo.
”Setidaknya ada empat pilar yang harus dipedomani dalam asesmen potensi sumber daya geologi menjadi warisan geologi, yakni nilai edukasi, sains, pariwisata, dan risiko degradasi,” ucap Burhannudinnur.
Aspek sains gunung lumpur, misalnya, meliputi morfologi semburan, stratigrafi atau perlapisan batuan, dan ragam material seperti kandungan litium. Adapun aspek edukasi, antara lain, meliputi informasi mengenai proses terbentuknya gunung lumpur, baik dari sisi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat maupun sisi keilmuan.
Menurut cerita rakyat, misalnya, gunung lumpur diakibatkan oleh ular raksasa yang bergerak dari laut sehingga lumpurnya asin karena membawa garam. Aspek edukasi juga bisa menampilkan proses evolusi Lusi selama 16 tahun. Bahkan, kontroversi penyebab Lusi juga bisa menjadi daya tarik tersendiri dan mengandung muatan edukasi untuk masyarakat.
Burhannudinnur menambahkan, ikhtiar pengembangan wisata geologi Lusi juga harus disertai dengan pemetaan risiko, termasuk degradasi sumber daya geologi. Degradasi sumber daya geologi ini biasanya berbanding terbalik dengan pengembangan pariwisata. Semakin dieksploitasi untuk obyek wisata, nilai degradasinya semakin tinggi.
”Secara keseluruhan, Lusi memenuhi asesmen untuk ditetapkan sebagai warisan geologi. Meski demikian, diperlukan kajian terintegrasi dan tindak lanjut pemerintah, serta dukungan pemangku kepentingan lainnya,” ucapnya.
Proses panjang
Sementara itu, Subkoordinator Geologi Dasar dan Terapan di Pusat Studi Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aries Kusworo mengatakan, mengacu pada peraturan Menteri ESDM No 1/2020, Lusi berpeluang dikembangkan sebagai geowisata atau wisata bumi dan geopark atau taman bumi.
Untuk menjadi geopark, harus ada penetapan warisan geologi terlebih dulu. Prosesnya panjang dan harus diusulkan oleh Gubernur Jatim. Usulan penetapan Lusi sebagai warisan geologi (geoheritage) disampaikan ke Kementerian ESDM, disertai hasil kajian tentang keragaman geologinya (geodiversity).
”Setelah itu Kementerian ESDM akan memverifikasi dan hasilnya dituangkan dalam bentuk keputusan menteri sehingga berkekuatan hukum. Konsekuensi dari penetapan warisan geologi, pemda dan masyarakat harus melestarikan, menjaga dari kerusakan, dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat,” ujar Aries.
Salah satu cara mendatangkan manfaat bagi masyarakat ialah dengan menjadikannya destinasi wisata geologi (geowisata). Aries mengatakan, terkait Lusi, Pemprov Jatim harus mempertimbangkan dengan matang, apakah akan dikembangkan menjadi geowisata atau geopark.
Berpijak pada pendapat yang disampaikan para pakar, semburan Lusi berpotensi besar dikembangkan menjadi warisan geologi atau destinasi wisata bumi. Namun, di luar urusan yang terkait dengan kebumian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Baca juga : Nestapa Tak Berujung dari Semburan Lumpur Lapindo