Mahasiswa Universitas Airlangga Kian Minati Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka semakin diminati mahasiswa karena fleksibel dan mampu mendorong mereka menjadi lulusan yang kompeten dan sesuai kebutuhan yang dicita-citakan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM kian diminati sivitas Universitas Airlangga atau Unair, Surabaya, Jawa Timur. Situasi itu terlihat dari kenaikan pesat peminat program kurun 2019 dan 2020.
Demikian diutarakan Rektor Unair Mohammad Nasih dalam jumpa pers di Surabaya, Jumat (15/10/2021). Di Unair, MBKM teraplikasi menjadi 17 jenis kegiatan, antara lain praktik kerja, kewirausahaan, kuliah kerja nyata (KKN), kampus mengajar, gelar ganda, magang bersertifikat, dan studi independen bersertifikat.
Nasih memaparkan, pada tahun akademik 2019, mahasiswa program diploma dan sarjana yang mengikuti MBKM 4.375 orang. Jumlah itu terdiri dari 1.655 mahasiswa D-3, 173 mahasiswa D-4, dan 2.547 mahasiswa S-1.
”Setahun kemudian naik tajam,” kata Nasih. Pada tahun akademik 2020, jumlah peserta MBKM Unair mencapai 15.591 orang atau ada kenaikan 3-4 kali lipat. Jumlah itu terdiri dari 5.285 mahasiswa D-3, 396 mahasiswa D-4, dan 9.910 mahasiswa S-1.
Nasih meyakini tingginya minat mahasiswa mengikuti MBKM karena fleksibilitas program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebanyak 60 satuan kredit semester (SKS) bisa didapat oleh mahasiswa dengan memanfaatkan lintas program studi di Unair (20 SKS) dan di luar Unair (40 SKS) melalui pembelajaran, penelitian, atau praktik di kampus di luar Unair atau lembaga lainnya.
”MBKM mendorong mahasiswa lulus dengan kompetensi dan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan relevansi hidupnya,” kata Nasih.
Unair akan terus memetakan seluruh mahasiswa agar lulus sesuai dengan tujuan hidup atau mimpi mahasiswa tersebut. Misalnya, mahasiswa yang berorientasi hidup sebagai pekerja akan didorong untuk memperbanyak mata kuliah yang memungkinkan magang atau praktik kerja.
Mahasiswa yang ingin menjadi pengusaha didorong mengambil lebih banyak mata kuliah kewirausahaan. Calon ilmuwan atau akademisi didorong lebih banyak magang di lembaga penelitian, meneliti, dan mengerjakan proyek-proyek riset.
Bambang Sektiari Lukiswanto, Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni, menambahkan, dalam program sarjana, mahasiswa lulus setelah menempuh 144 SKS. Dalam satu semester, seorang mahasiswa S-1 maksimal dapat mengambil 24 SKS. Program tahun akhir adalah KKN berbobot 3 SKS, sedangkan skripsi berbobot 6 SKS.
Menurut Bambang, Unair sedang memformulasi penerapan MBKM untuk mahasiswa akhir yang menyisakan KKN dan skripsi atau tugas akhir. Misalnya KKN bisa diintegrasikan dengan mata kuliah pilihan, proyek penelitian mandiri, kampus mengajar, dan berbagai kegiatan MBKM sekaligus disempurnakan dalam penyusunan skripsi atau tugas akhir.
”Biasanya, di semester akhir mahasiswa hanya mengambil KKN lalu skripsi. Kami sedang memformulasi agar dalam semester akhir seorang mahasiswa dapat mengambil 20 SKS sehingga proses pendidikan di kampus bisa lebih cepat,” kata Bambang.
Unair juga telah menyelesaikan panduan pelaksanaan pembelajaran di luar program studi. Kegiatan program kreativitas mahasiswa (PKM) untuk penelitian, penerapan teknologi, karsa cipta, artikel ilmiah, gagasan tertulis, dan gagasan futuristik konstruktif bisa menggantikan skripsi dan otomatis mendapat nilai A jika lolos pendanaan dari Kemendikbudristek. PKM pengabdian masyarakat bisa menggantikan KKN dan mendapat A juga jika lolos pendanaan Kemendikbudristek.
Sementara itu, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) akan mengukuhkan guru besar pertama. Pengukuhan terhadap Mulyadi, pakar pulmonologi dan kedokteran respirasi, akan berlangsung pada Sabtu (16/10/2021).
Menurut Rektor Unusa Achmad Jazidie, Mulyadi adalah guru besar pertama Unusa berstatus pemegang nomor induk dosen nasional (NIDN) dari kampus tersebut. ”Saya guru besar, tetapi dari ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember),” katanya.
Pengukuhan Prof Dr Mulyadi, dr, SpP(K), FISR, lanjut Jazidie, merupakan kebanggaan luar biasa bagi Unusa. ”Bagi kampus-kampus lain, terutama yang besar, pengukuhan profesor bisa setiap hari. Bagi Unusa, akhirnya pecah telur, bisa menghasilkan guru besar sendiri yang kami harapkan mendorong dosen-dosen utama di sini untuk mengikuti jejak Pak Mulyadi,” ujarnya.
Mulyadi mengatakan merasa bangga menjadi guru besar Unusa. ”Saya lahir di Aceh selatan 60 tahun lalu yang jauh dari jangkauan fasilitas pendidikan. SMP-SMA di Banda Aceh kemudian pendidikan kedokteran, spesialis, dan doktoral saya selesaikan di Unair. Saya sempat mengabdi di Universitas Syiah Kuala, tetapi dua tahun lalu pindah dan diterima di sini,” ujarnya.
Dalam masa pandemi Covid-19, Mulyadi merasa prihatin terkait dengan keberlangsungan pendidikan kedokteran. Pandemi yang memaksa pembatasan mobilitas seseorang akhirnya membatasi pergerakan calon-calon dokter dengan pasien. ”Bagi saya, tidak bisa pendidikan profesi kedokteran dipelajari secara online atau mengurangi praktik dengan pasien. Pandemi adalah pengalaman amat berharga bagi dokter-dokter dalam menangani situasi serupa di masa depan,” katanya.
Di Unusa, lanjut Mulyadi, mahasiswa kedokteran juga mendapat kesempatan praktik meski berisiko. Mahasiswa diawasi dengan ketat dan harus disetujui oleh keluarga untuk praktik di tiga Rumah Sakit Islam sebagai rumah sakit pendidikan bagi Unusa. Dokter pembimbing mahasiswa memastikan seluruh kegiatan menerapkan protokol kesehatan, terutama pemakaian alat pelindung diri secara maksimal.
”Juli lalu ketika situasi memburuk, dalam sehari saya menangani sampai 80 pasien Covid-19. Saya bersyukur mampu menangani pasien langsung dan tidak tertular karena kehati-hatian dan memakai APD maksimal. Pola itulah yang juga kami terapkan terhadap mahasiswa kedokteran,” kata Mulyadi.
Menurut Mulyadi, pandemi tidak bisa menjadi alasan calon dokter menghindari praktik. Justru di masa pandemi menjadi pembelajaran terbaik untuk penanganan situasi kedaruratan jika terjadi di masa depan. ”Kalau selama pandemi dua tahun ini para calon dokter kurang praktik, bagaimana nantinya setelah menjadi dokter menangani kondisi serupa di masa depan karena tidak ditempa pengalaman seperti saat ini,” ujarnya.