Menanti Uluran Tangan untuk Orangtua Rangga, Bocah dengan Gangguan Penglihatan
Hati Umiyatun (32) pecah berkeping-keping. Dadanya terasa sesak. Pasalnya, gangguan penglihatan dialami putra tunggalnya, Rangga Dimas Iskandar, yang belum genap berusia tujuh tahun. Kini, ia hanya mengharap kesembuhan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Hati Umiyatun (32) pecah berkeping-keping. Dadanya terasa sesak. Pemicunya adalah gangguan penglihatan dialami putra tunggalnya, Rangga Dimas Iskandar, yang belum genap berusia tujuh tahun. Cobaan berat ini dijalaninya dengan tabah. Kini, ia hanya mengharapkan penglihatan putranya kembali pulih sedia kala.
Panas matahari terasa sangat terik di Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (13/10/2021). Rangga berbaring di kasur. Sesekali ia berguling-guling. ”Ibu, ibu, ibu,” teriaknya dari kasur.
Umiyatun menghampirinya segera. Rangga minta digendong berkeliling rumah. Umi, panggilan karib Umiyatun, enteng saja memenuhi permintaan anak semata wayangnya itu. Wajah Rangga sontak semringah menyambut pelukan ibu yang akan menggendongnya.
Di gendongan ibunya, Rangga sesekali mengajak bercanda. Ia berusaha membuat wajah lucu dengan memanyunkan bibirnya. Kemudian, ia meminta ibunya membuang muka lalu menatap wajah yang tengah dibuatnya lagi.
Umi baru paham, Rangga ingin mengajaknya bermain ”cilukba”. Namun, gangguan penglihatan yang dialami membuat permainan tersebut harus dilakukan seperti itu. Sebab, Rangga tak benar-benar tahu apakah Umi sedang memandangnya atau tidak.
Beberapa menit digendong sang ibu, Rangga minta diturunkan. Ia berjalan sendiri mengelilingi ruang tengah. Tangannya sambil meraba-raba memastikan tidak ada barang sekitarnya yang bisa membuatnya tersandung atau terbentur. Umi juga terus memperhatikan putranya itu dengan penuh kewaspadaan.
Mulai gangguan
Selanjutnya, Rangga meraba-raba kasur. Ia mencari mainan figur karakter (actionfigure) miliknya. Digenggamnya mainan karakter Superman. Segera, Rangga berdiri. Ia meminta Umi menghitung dari satu sampai tiga. Pada hitungan ketiga, bocah berambut cepak itu memutar badan lalu menjatuhkan badannya ke kasur.
”Anak ini (Rangga) memang sudah aktif sebelum sakit (gangguan penglihatan). Senang berlari-lari, bersepeda, dan lain-lain. Tetapi, sekarang kondisinya berbeda, sudah sulit melihat lagi. Jadi, saya harus mengawasi penuh,” kata Umi, lirih.
Gangguan penglihatan yang dialami Rangga berawal dari demam tinggi yang menyerangnya pada 1 Februari 2021. Saat itu, suhu tubuhnya mencapai 38 derajat celsius. Tingginya demam membuat Rangga mengalami gejala kejang-kejang.
Umi merasa panik. Rangga segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk memperoleh penanganan medis lebih lanjut. Selama dirawat, kondisinya terus membaik. Bocah itu diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah 10 hari menjalani perawatan untuk selanjutnya dirawat jalan.
Rangga memang sudah aktif sebelum penglihatannya terganggu. Senang berlari-lari dan bersepeda. Tetapi, sekarang kondisinya berbeda, sudah sulit melihat lagi. (Umiyatun)
Namun, Rangga justru menunjukkan gejala lain setelah beberapa hari dirawat jalan. Tiba-tiba muncul bintik-bintik merah pada sekujur tubuhnya. Umi segera kembali membawa Rangga ke rumah sakit. Dokter yang menangani Rangga menyebut bocah itu diduga alergi terhadap obat.
”Bintik-bintik yang semula merah berubah semakin gelap agak kehitaman, seperti bekas kalau terkena cacar air. Anehnya, lama-lama, kok, menyerang ke mata. Ada semacam lendir yang lama-kelamaan menebal seperti sakit belekan. Tetapi, setelah semakin tebal, dia tidak bisa lagi buka mata,” tutur Umi.
Dengan gejala itu, Rangga dirujuk ke rumah sakit lain, yakni Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta. Bocah berambut cepak itu sempat menjalani operasi mata, Maret lalu. Sebelumnya, matanya sama sekali tidak bisa terbuka. Saat ini, ia sudah bisa membuka mata, tetapi ada selaput tebal berwarna putih yang menyelimuti bola matanya.
September lalu, ujar Umi, sebenarnya Rangga direncanakan menjalani operasi kedua. Operasi tersebut bertujuan menghilangkan selaput putih pada bola matanya. Penundaan operasi harus terjadi karena perlu dilakukan rekam otak terlebih dahulu. Sementara stok obat untuk rekam otak sedang habis.
”Kemarin, saya sempat menghubungi RSUP Sardjito. Ternyata, stok obatnya juga masih kosong. Kami sabar-sabar dulu menunggu,” kata Umi.
Sejak kehilangan penglihatan, Rangga sering bertanya-tanya, mengapa dunia sekelilingnya menjadi gelap. Ia khawatir sakit yang dialaminya tidak bisa disembuhkan. Umi kerap dibikin teriris hatinya setiap kali mendengar tanya dari putra tunggalnya tersebut.
”Jujur, saya sering ingin menangis kalau dia tanya-tanya seperti itu. Untungnya dokter bilang, ini masih bisa disembuhkan. Saya ingin semuanya lancar dan Rangga bisa sembuh seperti dulu lagi,” ujar Umi dengan suara parau.
Biaya operasional
Sejak awal, biaya pengobatan Rangga ditanggung BPJS Kesehatan. Tak terkecuali operasi mata yang dijalani di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Persoalannya adalah biaya operasional selama menunggu Rangga menjalani operasi. Ia harus merogoh uang dari sakunya sendiri.
Padahal, Umi sama sekali tak mengantongi uang pribadi semenjak Rangga terganggu penglihatannya. Sepenuh waktunya dicurahkan untuk mengurus Rangga. Sebelumnya, Umi bekerja sebagai buruh serabutan, entah menjaga kios ponsel atau menjadi asisten rumah tangga. Upahnya pun hanya Rp 40.000 per hari.
Kami berikan uang rutin setiap bulan. Jumlahnya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk keperluan sehari-hari. (Mujahid Jariyanto)
Beban yang dipanggul Umi semakin berat dengan kepergian suaminya, Diaz Iskandar (35), hanya beberapa bulan setelah sakit yang dialami Rangga. Diaz pergi meninggalkan Umi tanpa kabar. Sudah berulang kali Umi menghubungi Diaz lewat sambungan telepon, tetapi tak pernah mendapatkan balasan.
Saat ini, Umi tinggal menumpang di rumah ibunya, Utrini (53). Biaya hidup sehari-hari dipenuhi dari pendapatan Utrini. Padahal, pendapatannya juga tak seberapa. Utrini hidup dari pekerjaannya sebagai buruh tani. Upahnya sebesar Rp 50.000 per hari.
”Kalau ditanya cukup atau tidak penghasilannya, sebenarnya tidak cukup. Ini coba dicukup-cukupkan. Mudah-mudahan Rangga bisa sehat kembali. Itu yang paling penting,” kata Utrini.
Kemalangan yang dialami Umi dan Rangga mengundang keprihatinan Pemerintah Desa Sidowayah. Ada dua unit ambulans milik desa yang bisa dimanfaatkan Umi sewaktu-waktu secara gratis untuk memeriksakan Rangga. Sebab, pemeriksaan harus dijalani di Yogyakarta. Jarak tempat tinggal Umi dan lokasi pengobatan lebih dari 50 kilometer.
Kepala Desa Sidowayah Mujahid Jariyanto mengatakan, pihaknya juga mengirimkan paket makanan siap santap untuk keluarga tersebut setiap kali waktu sarapan. Dilakukan pula pengumpulan donasi, baik dari warga desa maupun luar desa tersebut. Selain itu, yayasan sosial yang dibuat pemerintah desa juga memberikan bantuan bulanan kepada Rangga. Jumlahnya enggan disebutkan.
”Kami berikan uang rutin setiap bulan. Jumlahnya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk keperluan sehari-hari,” jelas Mujahid.
Sekarang hanya satu harapan Umi, yakni kesembuhan Rangga. Namun, langkahnya memang berat. Penghasilan sudah tak dikantonginya sama sekali. Padahal, ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Umi hanya bisa terus bersabar dan berharap atas uluran tangan dari para dermawan.