Kemiskinan dan Sanitasi Buruk Pangkal Masalah Tengkes di NTT
Kemiskinan menyebabkan banyak warga di NTT kesulitan mengakses pangan bergizi. Kondisi itu diperparah buruknya sanitasi dan krisis air bersih. Penanggulangan tengkes di NTT perlu lebih masif dan holistik.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kemiskinan menjadi pemicu utama tingginya angka tengkes di Nusa Tenggara Timur. Banyak warga sulit mengakses pangan bergizi serta hidup dalam kondisi sanitasi yang buruk akibat krisis air bersih. Perlu keseriusan pemerintah daerah dalam mengatasi pangkal masalah tersebut.
Dari pantauan Kompas di sepanjang jalur selatan Pulau Timor pada Kamis (14/10/2021), terdapat banyak rumah tidak layak huni. Jalur itu menghubungkan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Malaka. Banyak rumah reyot berdinding pelapah, beratap daun, dengan lantai tanah.
Rumah serupa ditemui di Kabupaten Kupang, di sepanjang Jalan Timor Raya hingga pedalaman seperti Kecamatan Fatuleu dan Amfoang. Selain itu, juga di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara. Pulau Timor merupakan salah satu kantong kemiskinan di NTT.
Di permukiman itu terdapat banyak anak yang pertumbuhannya tidak normal. Clinton (5), anak kecil yang ditemui di Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, misalnya, bobotnya tidak lebih dari 15 kilogram dengan tinggi sekitar 70 sentimeter. Ibunya, Tessa, mengaku sehari-hari mereka mengonsumsi jagung, tetapi jarang makan sayuran dan ikan.
Di rumah mereka tidak ada jamban. Untuk buang air besar, mereka ke hutan. Warga tidak membangun jamban lantaran sulit mendapat air bersih. ”Untuk air minum saja kami harus jalan kaki berkilo-kilo meter. Mandi juga tidak satu hari dua kali. Sering tidak mandi dalam satu hari,” ucap Tessa (40).
Wilayah tersebut masuk dalam kantong kemiskinan di NTT. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.169.310 jiwa atau setara dengan 20,99 persen. NTT berada di urutan ketiga dengan persentase kemiskinan tertinggi. Adapun garis kemiskinan di NTT sebesar Rp 415.116 per kapita per bulan.
Mereka yang miskin akan kesulitan mengakses pangan yang bergizi. (Veronika Ata)
Seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 80.909 anak balita di NTT mengalami tengkes. Angka per Agustus 2021 tersebut menurun 3,2 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Angka itu setara dengan 21 persen dari total anak balita sepanjang Agustus 2020-Agustus 2021. Saat ini jumlah anak balita di NTT 385.283 jiwa (Kompas, 14/10/2021).
Ketua Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak NTT Veronika Ata yang dihubungi secara terpisah mengatakan, kemiskinan menjadi salah satu akar penyebab angka tengkes di NTT tinggi. ”Mereka yang miskin akan kesulitan mengakses pangan yang bergizi,” kata Ata yang lebih dari 17 tahun terlibat dalam pemberdayaan perempuan dan anak.
Selain kemiskinan, ia juga menyoroti krisis air bersih yang menyebabkan buruknya fasilitas sanitasi masyarakat. Dari temuannya, banyak anak yang mengalami tengkes berada di lingkungan yang tidak sehat lantaran minimnya air bersih. Di sini perlu campur tangan pemerintah untuk menghadirkan fasilitas air bersih.
Menurut Ata, pemerintah dan banyak lembaga swadaya masyarakat sudah melakukan banyak hal dalam menanggulangi tengkes di NTT. Namun, upaya itu dinilai belum masif dan tidak optimal. ”Jangan hanya datang dan memberi bantuan lalu pergi. Perlu pendampingan dan menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam program ini,” katanya.
Untuk mempercepat penanganan, Ata mendorong pemerintah melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selain itu, masyarakat mesti sadar dan mau mengubah pola hidupnya. ”Ada juga masyarakat yang beranggapan bahwa turunan mereka seperti itu (tengkes), jadi mereka pasrah saja. Itu tidak benar,” katanya.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan, kendati angka tengkes menurun 3,2 persen menjadi 21 persen, hal itu belum maksimal. Ia menargetkan, tahun 2022, angka tengkes di NTT harus turun hingga 10 persen.
”Memang betul terjadi penurunan tengkes. Namun, jika penurunannya biasa-biasa saja, artinya kerja kita kurang maksimal karena yang kita bicarakan ini adalah nyawa manusia. Jika hanya melihat secara statistik, memang penurunannya sudah bagus, yaitu sampai pada 21 persen. Akan tetapi, jika melihat dari jumlah, saya merasa sedih karena masih ada 80.909 manusia yang masih stunting,” katanya.
Menurut Viktor, penanggulangan tengkes akan digenjot semaksimal mungkin demi mewujudkan terciptanya generasi emas pada 2045. Penyiapan generasi emas sudah harus dilakukan sejak kini. Dia menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak untuk menekan angka tengkes.