Tren Covid-19 dan Masalah Kesehatan Jiwa Melaju Beriringan
Sejumlah kecemasan hingga stres yang terkait dengan Covid-19 di antaranya karena paranoid takut tertular saat keluar rumah, kehilangan anggota keluarga, dan kehilangan pekerjaan karena di-PHK.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Jumlah warga yang cemas hingga stres meningkat saat kasus Covid-19 sedang tinggi, termasuk di Jawa Tengah. Namun, saat kasus melandai, jumlahnya kembali menurun. Gerakan komunitas yang bermunculan di tengah pandemi Covid-19 menjadi kekuatan di tengah masyarakat.
Masyarakat diharapkan tetap waspada dengan menerapkan protokol kesehatan meski kini kasus Covid-19 menurun. Jika kasus Covid-19 kembali naik, bukan tidak mungkin tren masalah kesehatan jiwa kembali menanjak.
Direktur Pusat Psikologi Terapan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Kristiana Haryanti, akhir akhir pekan, mengatakan, pandemi Covid-19 dapat membuat banyak perubahan perilaku. Mulai dari kekhawatiran berlebihan tertular Covid-19 hingga kecemasan karena merasa sendiri saat menjalani isolasi.
Kristiana belum mengumpulkan data jumlah warga yang konseling terkait Covid-19. Namun, dari keterlibatannnya di Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jateng, ia mengetahui bahwa jumlah warga yang melakukan konseling meningkat saat Covid-19 melonjak pasca-Lebaran 2021.
”Saat kasus sedang tinggi-tingginya atau setelah Lebaran, memang banyak sekali yang melakukan konseling. Namun, seiring terus menurunnya kasus Covid-19, saat ini jumlahnya sudah menurun,” ujar Kristiana, yang juga ketua kompartemen layanan jasa psikologi Himpsi Jateng.
Sejumlah kecemasan hingga stres yang terkait dengan Covid-19 di antaranya paranoid takut tertular saat keluar rumah, kehilangan anggota keluarga, dan kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saat kasus sedang tinggi-tingginya atau setelah Lebaran, memang banyak sekali yang melakukan konseling. Namun, seiring terus menurunnya kasus Covid-19, saat ini jumlahnya sudah menurun.
Menurut Kristiana, tingkatan awal dari gangguan kesehatan mental ialah rasa cemas. Apabila ada rasa cemas berlebihan, maka akan menjadi stres. Apabila stres berlebih, maka menjadi depresi. Saat depresi, maka perlu bantuan psikiater serta pemberian obat-obatan.
Namun, menurut dia, sebagian besar warga yang terdampak pandemi Covid-19 tidak berlanjut hingga depresi. ”Kurvanya normal. Artinya, lebih banyak pada kecemasan dan stres. Itu pun banyak terjadi saat kasus Covid-19 sedang tinggi,” ujar Sekretaris Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO) Pusat itu.
Ia menilai, penerimaan dan kelenturan yang dimiliki orang Indonesia pada umumnya membuat tingkat gangguan kesehatan mental relatif tak berlanjut hingga parah. Termasuk budaya saling membantu, seperti dalam Jogo Tonggo di Jateng, membuat orang tidak merasa sendirian saat didera Covid-19.
Kendati demikian, lanjut Kristiana, dengan belum berakhirnya Covid-19, semua pihak harus tetap waspada dan mengantisipasi gelombang berikutnya. ”Kuncinya, penuhi protokol kesehatan,” ujarnya.
Tim konselor dari Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata menyediakan layanan konseling di rumah dinas Wali Kota Semarang yang dijadikan tempat isolasi terpusat Covid-19 di Kota Semarang. Konseling dan terapi dilakukan secara daring ataupun luring di lokasi, termasuk dengan menggelar kegiatan kreatif bagi para pasien Covid-19.
Di APIO Pusat, kata Kristiana, dalam lebih dari sepekan terakhir telah dibuka layanan daring Sobat Curhat. Saat ini sudah ada sekitar 100 sukarelawan yang terlibat. Sobat itu menjadi platform konsultasi dunia kerja dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Warga yang merasa mengalami kecemasan atau stres diharapkan untuk menghubungi profesional. ”Misalnya menelepon penyelenggara kegiatan atau gerakan komunitas, termasuk organisasi profesi. Kantong-kantong ini bisa memberi pelayanan bagi masyarakat. Sementara pemerintah membantu melalui berbagai kebijakan,” kata Kristiana.
Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr Amino Gondohutomo, Kota Semarang, Alek Jusran, menuturkan, selama pandemi Covid-19 memang ditemukan sejumlah gangguan kesehatan mental. Namun, menurut dia, tidak fair jika Covid-19 disebut sebagai penyebab.
Ia mencontohkan beberapa orang mengalami gangguan kesehatan mental akibat terdampak PHK di masa pandemi Covid-19. Ada juga anak-anak yang terlalu lama menjalani pembelajaran jarak jauh di rumah yang berdampak pada ketergantungan pada gawai.
”Memang terkait dengan pandemi secara tidak langsung. Ada korelasi, tetapi bukan faktor tunggal karena ada proses sebelum pada tahap itu. Misalnya, setelah di-PHK, seseorang merasa terundung oleh keluarga atau lingkungannya. Jadi, tidak bisa langsung menyimpulkan,” kata Alek.
Saat ini, kata Alek, telekonseling atau konsultasi jiwa secara daring cukup diminati. Contohnya, layanan telekonseling gratis dengan panggilan video yang diselenggarakan RSJD Dr Amino Gondohutomo dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri 2021 September. Pada pendaftaran yang berlangsung 6-10 September 2021, ada 320 pendaftar.
”Karena daring, pendaftarnya tak terbatas di Semarang, tapi juga luar kota. Dari 320 orang, terjadwal 174 orang, tetapi yang dapat dihubungi akhirnya hanya 88 orang. Ini juga menyangkut keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Yang melayani ialah psikiater, psikolog, dan perawat jiwa,” katanya.
Menurut data RSJD Dr Amino Gondohutomo, dari 88 peserta, penyebab stres utama atau 52 persen ialah terkait keluarga, kemudian antara lain pekerjaan (15 persen), pendidikan (10 persen), dan lingkungan (8 persen). Sementara berdasarkan gejala, tertinggi ialah ide bunuh diri (34 persen), disusul cemas (23 persen), dan sulit tidur (14 persen).
Berdasarkan rekomendasi penanganan, sebesar 68 persen kasus selesai dan 32 persen dirujuk untuk penanganan lebih lanjut. ”Jadi, begitu terjadi interaksi, dapat disimpulkan apakah hanya diberi nasihat dan saran atau perlu tindak lanjut datang ke sini atau layanan kesehatan terdekat,” kata Alek.