Puncak Kemarau Penyebab Bobot Sapi di NTT Turun Drastis
Bobot sapi di Nusa Tenggara Timur setiap memasuki musim kemarau turun drastis karena berkurangnya pakan hijau akibat kekeringan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Setiap memasuki puncak kemarau, Agustus-November, bobot ternak sapi di Nusa Tenggara Timur turun sampai 50 kilogram per ekor untuk usia 2,5-3 tahun, dari sebelumnya rata-rata 250 kg. Penyebabnya adalah pola pemeliharaan yang bergantung pada alam.
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, Yohanes Umbu Sobang, di Kupang, Rabu (13/10/2021), mengatakan, penurunan bobot ternak sapi dan kerbau setiap memasuki puncak kemarau merupakan masalah klasik dari tahun ke tahun. Pemda belum memiliki satu kebijakan menyentuh kebutuhan peternak.
Berdasarkan hasil penelitian Sobang, setiap memasuki puncak kemarau Agustus-November seperti tahun ini, bobot sapi turun drastis sampai 50 kg per ekor untuk sapi usia 2,5 tahun sampai 3 tahun, sebelumnya pada musim hujan bobot sapi itu 250 kg per ekor. ”Ini salah satu contoh. Hampir semua populasi sapi yang dibiarkan di padang mengalami penyusutan bobot, kecuali diikat dan diberi pakan rutin,” katanya.
Kondisi ini sangat merugikan peternak dari sisi pendapatan. Jika 1 kg sapi hidup dihargai Rp 40.000, maka 250 kg, petani bisa mendapatkan Rp 10 juta. Namun, pada musim kemarau ini mereka hanya dapat Rp 2 juta per ekor. ”Kerugian ini luar biasa, tetapi siapa peduli,” katanya.
Pola pemeliharaan ternak sangat tergantung pada kondisi alam. Ternak dibiarkan mencari makan di padang. Jika musim kemarau, padang tidak lagi menyediakan pakan hijau, kecuali rumput kering kecoklatan. Ternak hanya mengonsumsi pakan berserat, yang sulit menghasilkan asupan gizi yang bagus untuk penambahan atau mempertahankan bobot.
Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan kesulitan air bagi ternak di musim kemarau. ”Air untuk kebutuhan manusia saja sulit diperoleh, apalagi ternak,” kata Sobang.
Tidak terdekteksi
Peternakan sapi di di NTT hampir 99 persen oleh masyarakat sehingga masalah populasi, bobot, bibit, dan kesehatan tidak terdeteksi baik, cenderung terabaikan. Budidaya ternak oleh masyarakat 100 persen diserahkan ke alam. Saat musim kemarau, bobot ternak pun mengikuti perubahan alam.
Air untuk kebutuhan manusia saja sulit diperoleh, apalagi ternak. Yohanes Umbu Sobang
Tidak ada intervensi pemda, seperti menyediakan pabrik pakan ternak, subsidi pakan, obat-obatan, dan air serta subsidi bibit bagi peternak.
Ia mengatakan, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan empat kabupaten di Pulau Sumba sebagai sentra ternak di NTT. Daerah itu mestinya dibangun pabrik pakan ternak. Minimal dua unit, satu di Timor dan satu di Sumba. Kabupaten Kupang misalnya, populasi ternak di sana mencapai 300.000 ekor.
”Pabrik itu sebaiknya beroperasi bulan Juli sampai dengan akhir November. Saat itu pakan ternak di padang sudah habis sehingga peternak dibantu dengan pakan hasil olahan pabrik. Tentu, harga pakan disubsidi pemda sehingga tidak membebani petani,” ujarnya.
Selama ini subsidi pemerintah hanya berlaku bagi tanaman, seperti bibit, pupuk, alat pertanian, dan obat-obatan. Tetapi, sektor peternakan tidak mendapat subsidi apa pun, semuanya dibebankan kepada peternak. Hal ini telah berulang kali disampaikan ke pemda, tetapi tidak ditanggapi.
NTT telah mendeklarasikan diri sebagai gudang ternak atau provinsi ternak. Tetapi, kebijakan itu tidak terealisasi secara konkret di lapangan. Populasi ternak di tingkat peternak pun tidak pernah mengalami kenaikan. Data ternak berbeda-beda. Pihak BPS, misalnya, mengeluarkan data 800.000 ternak, Dinas Peternakan menyebutkan 1,3 juta ekor ternak. Namun, fakta di masyarakat, ternak sangat terbatas.
Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Dinas Peternakan NTT Yohana Lisa Pali mengatakan, program tanam jagung panen sapi oleh Pemprov NTT bagian dari upaya meningkatkan populasi ternak di provinsi ini. Soal populasi sapi sebenarnya sedang dalam pendataan di setiap kabupaten/kota.
Di Sumba, misalnya, ada kartu tanda ternak sapi atau KTTs. Di sana sering terjadi pencurian ternak sehingga KTTs ini sangat penting untuk mengidentifikasi ternak jika ada yang dicuri. Setiap KTTs ada nomornya sehingga orang bisa tahu berapa jumlah sapi di Sumba.
Pengiriman ternak sapi antarpulau dari NTT ke provinsi lain tahun 2021 sebanyak 65.000 ekor. Jumlah ini telah terpenuhi pada bulan Juli 2021. Sejumlah kabupaten/kota mengajukan permohonan penambahan kuota pengiriman tetapi sampai Oktober 2021 belum ditanggapi dinas peternakan provinsi. Rupanya Pemprov sendiri pun tidak tahu berapa populasi ternak di masyarakat.
Mestinya NTT sebagai provinsi ternak, perlu diadakan KTTs seperti itu juga. KTTs ini untuk menghitung secara pasti berapa populasi ternak di NTT. Data ternak dari masing-masing RT diteruskan ke lurah atau desa sampai ke kecamatan dan kabupaten/kota masing-masing, kemudian diterbitkan KTTs. Ada retribusi yang diperoleh dari pengadaan KTTs ini bagi Pemda masing-masing.
Ternak bukan milik bersama tetapi masing-masing anggota kelompok. Ada yang tiga ekor tetapi ada yang sampai 70 ekor (Daniel Aluman)
Pengadaan KTTs ternak ini tidak sulit. Sekarang semua dipermudah dengan digitalisasi sehingga Pemda tidak butuh waktu, biaya, dan tenaga berlebihan untuk pengadaan KTTs.
Kesulitan
Sekretaris Himpunan Pengusaha Ternak Sapi dan Kerbau NTT, Daniel Go mengatakan, pengusaha yang mengantarpulaukan ternak sapi dan kerbau ke luar NTT, saat ini kesulitan mendapatkan ternak. “Pemprov NTT sejak 2017 mengumumkan kenaikan populasi ternak sampai 1,3 juta ekor tetapi pengusaha sangat sulit mendapatkan ternak di tingkat petani. Lalu di mana, sapi yang jumlahnya 1,3 juta ekor itu,”katanya.
Ketua Kelompok Ternak Oetnana Fatukoa Kota Kupang, Daniel Aluman mengatakan, musim kemarau ternak kelompok sebanyak 185 ekor masuk ke kandang. Jumlah 20 anggota kelompok secara bergilir mencari pakan dan memberi makan dan minum. Ini untuk mempertahankan bobot sapi. Bobot terendah saat ini 150 kg – 300 kg.
Desember-Maret ternak itu dilepas ke padang, mencari makan sendiri, dikawal satu anggota kelompok, secara bergilir. “Ternak bukan milik bersama tetapi masing-masing anggota kelompok. Ada yang tiga ekor tetapi ada yang sampai 70 ekor,”katanya.
Ia mengatakan, program asuransi ternak di Timor tidak berjalan. Program ini pernah diikuti peternak Oetnana Kota Kupang tahun 2016 tetapi ada dugaan penipuan sehingga peternak berhenti.
Saat itu satu ekor ternak betina atau indukan dibayar premi Rp 40.000 per tahun dan ternak jantan Rp 200.000 per tahun. Tetapi saat ternak mati karena penyakit, peternak mengajukan penggantian ditolak. “Sejak itu kami berhenti. Padahal, asuransi ini juga penting untuk menghitung populasi ternak secara riil di masyarakat,”katanya.