Pemda DIY Keluarkan Puluhan Izin Pertambangan Pasir di Sungai Progo
Selama beberapa tahun terakhir, Pemda DIY mengeluarkan puluhan izin pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo. Namun, aktivitas pertambangan di sebagian wilayah Sungai Progo itu mendapat penolakan dari warga sekitar.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang menggunakan mesin penyedot untuk menambang pasir di Sungai Progo di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (16/8/2021).
YOGYAKARTA, KOMPAS — Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan puluhan izin pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo. Penerbitan izin-izin itu diklaim telah sesuai aturan dan didahului kajian lingkungan. Namun, sejumlah warga di sekitar Sungai Progo ternyata menolak aktivitas pertambangan karena dinilai merusak lingkungan dan proses perizinannya tak transparan.
Berdasarkan data Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diperoleh Kompas pada Selasa (12/10/2021), terdapat 38 izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi untuk pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo. Izin-izin tersebut diberikan kepada pelaku usaha, baik berupa perusahaan maupun perseorangan, pada tahun 2016-2020.
Dari total 38 IUP operasi produksi itu, 18 izin untuk pertambangan di wilayah Sungai Progo di Kabupaten Kulon Progo, 12 izin di Kabupaten Bantul, dan 8 izin di wilayah lintas kabupaten di DIY. Sungai Progo memang melintasi sejumlah kabupaten di DIY, misalnya Bantul, Kulon Progo, dan Sleman, sehingga aktivitas pertambangan di sungai itu juga tersebar di beberapa kabupaten.
Mengacu pada data DPPM DIY, masa berlaku IUP operasi produksi itu bermacam-macam, misalnya 9 bulan, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun. Selain itu, luas wilayah IUP Operasi Produksi itu juga bervariasi, dari 0,58 hektar hingga 5 hektar. Dari 38 IUP operasi produksi itu, tercatat ada empat izin yang masa berlakunya sudah habis pada tahun ini.
Pipa untuk saluran pasir yang disedot dari dasar sungai melintang di atas Sungai Progo di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (26/11/2019).
Selain IUP operasi produksi, Pemda DIY juga mengeluarkan izin pertambangan rakyat (IPR) di Sungai Progo. Pada 2019-2020, tercatat ada 33 IPR di Sungai Progo yang diberikan kepada kelompok masyarakat ataupun perseorangan. Seluruh IPR itu memiliki masa berlaku selama 5 tahun dengan luas wilayah maksimal 1 hektar.
Kepala Bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan DPPM DIY Ruruh Haryata menyatakan, hingga 10 Desember 2020, proses perizinan tambang memang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dia menyebut, saat menerbitkan izin pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo, DPPM DIY selalu menaati aturan dan prosedur yang berlaku.
Ruruh menjelaskan, untuk pertambangan yang dilakukan pelaku usaha, proses perizinan diawali dengan permohonan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Untuk menetapkan WIUP, dibutuhkan rekomendasi dari sejumlah lembaga, yakni Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO), dan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
”Kalau tiga lembaga itu memberikan rekomendasi, baru kami keluarkan WIUP,” kata Ruruh. Setelah WIUP ditetapkan, pelaku usaha bisa mengajukan permohonan IUP eksplorasi agar bisa melakukan eksplorasi untuk mengetahui seberapa banyak material yang bisa ditambang. Sesudah mendapatkan IUP eksplorasi, pelaku usaha bisa mengajukan IUP operasi produksi.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga mencari pasir di sekitar Bendung Karangtalun, Sungai Progo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (13/5/2019).
”Untuk sampai ke IUP operasi produksi itu syaratnya banyak, misalnya dokumen lingkungan, dokumen reklamasi pascatambang, perencanaan pertambangan, perencanaan untuk corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan), dan sebagainya,” ujar Ruruh.
Ruruh memaparkan, sebelum mendapatkan IUP operasi produksi, pelaku usaha harus melakukan sosialisasi terhadap masyarakat yang terdampak. Apabila ada warga yang menolak rencana pertambangan, pelaku usaha harus melakukan negosiasi dengan masyarakat.
Ruruh menambahkan, setelah 10 Desember 2020, seluruh perizinan tambang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Oleh karena itu, saat ini, DPPM DIY tidak lagi berwenang menerbitkan izin tambang di Sungai Progo.
Penolakan warga
Meski telah mendapatkan izin, pertambangan di sebagian wilayah Sungai Progo ternyata mendapatkan penolakan dari masyarakat sekitar. Penolakan itu antara lain muncul terhadap kegiatan pertambangan di wilayah Sungai Progo di perbatasan Kulon Progo dan Sleman.
Warga yang menolak itu berasal dari empat dusun, yakni Dusun Jomboran dan Dusun Nanggulan di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Sleman, serta Dusun Wiyu dan Dusun Pundak Wetan, Desa Kembang, Kecamatan Nanggulan, Kulon Progo. Mereka yang menolak pertambangan itu tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP).
Iswanto, warga Dusun Jomboran, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyampaikan penjelasan terkait penolakan aktivitas pertambangan di Sungai Progo, Senin (11/10/2021), di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Senin (11/10/2021). Sejumlah warga keberatan dengan aktivitas pertambangan di Sungai Progo karena dinilai merusak lingkungan dan proses perizinannya tidak transparan.
Warga Dusun Jomboran, Iswanto (47), mengatakan, ada dua perusahaan yang melakukan penambangan di wilayah Sungai Progo dekat empat dusun itu. Berdasarkan data DPPM DIY, dua perusahaan itu telah mendapatkan IUP operasi produksi pada Juli 2020. Namun, Iswanto menyebut, masyarakat Dusun Jomboran tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai pertambangan itu.
Masyarakat Dusun Jomboran tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai pertambangan itu.
Itulah kenapa warga yang tergabung dalam PMKP kemudian menolak pertambangan tersebut. Pada Desember 2020, masyarakat menggelar demonstrasi untuk menyampaikan sikap penolakan itu. Namun, beberapa waktu setelah aksi itu, dua warga Dusun Jomboran justru dilaporkan ke polisi karena dituduh merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan.
Warga Dusun Wiyu, Jono (63), mengatakan, setelah adanya aktivitas pertambangan dengan alat berat di Sungai Progo, sumur milik sejumlah warga di dusun tersebut mengering. Hal ini karena proses pengambilan pasir dan batu di Sungai Progo juga berdampak pada penurunan muka air tanah di wilayah sekitarnya.
Jono menambahkan, kegiatan pertambangan di Sungai Progo juga dikhawatirkan membuat wilayah sekitarnya mengalami longsor. Padahal, di dekat sungai tersebut terdapat rumah-rumah milik warga. ”Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi longsor karena tebing sungai itu sudah tinggi dan di atasnya banyak rumah,” ucapnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang mengumpulkan pasir dari dasar Sungai Progo di Desa Trimurti, Srandakan, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (17/12/2015).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta Halik Sandera menyatakan, pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo berpotensi membuat permukaan air sungai itu menurun. Jika hal itu terjadi, muka air tanah di wilayah sekitar sungai juga akan ikut turun sehingga air sumur milik warga akan mengering.
”Saat air permukaan di sungai semakin menurun, itu akan berdampak pada menurunnya muka air tanah sumur-sumur warga,” kata Halik.
Halik juga menilai pemberian izin pertambangan di Sungai Progo tidak transparan dan tidak mempertimbangkan aspirasi warga. Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah mengevaluasi aktivitas pertambangan pasir dan batu di Sungai Progo. ”Saat warga mengeluhkan adanya dampak buruk, seharusnya ada evaluasi terhadap kegiatan pertambangan di Sungai Progo,” ujarnya.