Tolak Tambang Pasir di Sungai Progo, Warga Sleman Dilaporkan ke Polisi
Aktivitas tambang pasir dan batu di Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menuai penolakan dari warga. Namun, sejumlah warga penolak tambang justru dilaporkan ke polisi oleh pihak petambang.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang melintas di dekat mesin penyedot pasir di Sungai Progo, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (26/11/2019).
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aktivitas tambang pasir dan batu di Sungai Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menuai penolakan warga sekitar karena dinilai merusak lingkungan dan proses perizinannya tidak transparan. Namun, sejumlah warga penolak tambang di Kabupaten Sleman justru dilaporkan ke polisi oleh pihak petambang karena dituduh mengganggu kegiatan pertambangan.
Aktivitas pertambangan yang menuai penolakan itu berlokasi di Sungai Progo di perbatasan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Penolakan muncul dari warga sekitar lokasi pertambangan yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP).
PMKP beranggotakan masyarakat dari empat dusun, yakni Dusun Jomboran dan Dusun Nanggulan di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Sleman, serta Dusun Wiyu dan Dusun Pundak Wetan, Desa Kembang, Kecamatan Nanggulan, Kulon Progo.
Salah seorang warga Dusun Jomboran, Iswanto (47), mengatakan, ada dua perusahaan pertambangan di wilayah Sungai Progo di sekitar empat dusun tersebut. Dua perusahaan tersebut mulai menambang sejak 2019.
Iswanto, warga Dusun Jomboran, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyampaikan penjelasan terkait penolakan aktivitas pertambangan di Sungai Progo, Senin (11/10/2021), di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta.
”Aktivitas pertambangan oleh dua perusahaan itu banyak kejanggalan,” kata Iswanto dalam konferensi pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Senin (11/10/2021).
Iswanto mengatakan, dua perusahaan tersebut mengaku sudah mengantongi izin dari pihak yang berwenang. Padahal, menurut Iswanto, masyarakat Dusun Jomboran yang berada di dekat lokasi pertambangan tidak pernah mendapat sosialisasi mengenai rencana kegiatan pertambangan itu.
”Permasalahan muncul karena sama sekali tidak ada sosialisasi ke warga kami sehingga kami dan teman-teman bergerak untuk mempertanyakan,” ujar Iswanto.
Ia menyatakan, warga yang tergabung dalam PMKP menolak aktivitas pertambangan di Sungai Progo. Sebab, proses perizinan tambang tersebut tidak melibatkan masyarakat sekitar yang terkena dampak aktivitas pertambangan. Selain itu, warga juga khawatir kegiatan pertambangan tersebut bakal berdampak buruk pada kondisi lingkungan.
”Kami ingin mempertahankan lingkungan kami, jangan sampai rusak gara-gara kepentingan dua perusahaan tersebut,” ujarnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang mengumpulkan pasir dari dasar Sungai Progo di Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (17/12/2015).
Warga Dusun Wiyu, Jono (63), mengatakan, sejak adanya aktivitas pertambangan pasir yang menggunakan alat berat di Sungai Progo, sumur milik sejumlah warga mengering. Hal ini karena proses pengambilan pasir dan batu di Sungai Progo juga berdampak pada penurunan muka air tanah di wilayah sekitarnya.
”Setelah ada penambangan dengan alat berat, terasa dampaknya. Yang terasa sekali itu sumur-sumur warga asat (kering),” kata Jono.
Sejak adanya aktivitas pertambangan pasir yang menggunakan alat berat di Sungai Progo, sumur milik sejumlah warga mengering.
Menurut Jono, kondisi tersebut membuat warga terpaksa mengeluarkan biaya untuk memperdalam sumur-sumur mereka. Sejumlah warga juga terpaksa membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan mereka. ”Seharusnya warga tidak perlu beli air bersih, sekarang harus beli air,” ujarnya.
Jono menambahkan, kegiatan pertambangan di Sungai Progo itu juga berpotensi membuat wilayah sekitarnya mengalami longsor. Padahal, di dekat sungai tersebut terdapat rumah-rumah milik warga. ”Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi longsor karena tebing sungai itu sudah tinggi dan di atasnya banyak rumah,” ucapnya.
Petambang mengumpulkan pasir dan batu di dasar Sungai Progo, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (26/11/2019).
Dilaporkan ke polisi
Di tengah upaya penolakan kegiatan pertambangan itu, dua warga Dusun Jomboran justru dilaporkan pihak petambang ke polisi karena dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan. Laporan tersebut disampaikan ke Kepolisian Resor (Polres) Sleman setelah warga menggelar aksi menolak pertambangan di Sungai Progo pada Desember 2020.
Anggota staf advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Budi Hermawan, mengatakan, pada 7 Oktober 2021, Polres Sleman mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terkait laporan itu. Surat tersebut menunjukkan, kasus yang menjerat dua warga penolak tambang itu telah naik ke tahap penyidikan.
”Dua warga itu masih berstatus sebagai terlapor. Belum ada satu pun surat panggilan untuk diminta keterangan sebagai tersangka,” ujar Budi yang mendampingi warga.
Budi menuturkan, dalam kasus tersebut, polisi menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal itu menyatakan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemilik izin dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Budi menyatakan, LBH Yogyakarta menyayangkan keputusan Polres Sleman yang menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan. Sebab, kasus tersebut dinilai sebagai upaya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. ”Yang dilaporkan juga tidak jelas. Seperti apa itu bentuk menghalang-halangi aktivitas tambang? Yang dilakukan warga, kan, menyampaikan aspirasi,” katanya.
Budi juga menilai, dengan menaikkan kasus itu ke tahap penyidikan, polisi mengabaikan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal tersebut menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Anggota staf advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Budi Hermawan (kanan), menyampaikan keterangan mengenai penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan di Sungai Progo, Senin (11/10/2021), di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta.
Kepala Polres Sleman Ajun Komisaris Besar Wachyu Tri Budi Sulistiyono mengatakan, dalam menangani kasus tersebut, polisi bekerja dengan mengikuti aturan dan sesuai prosedur. Dia menyebut, Polres Sleman juga tidak akan memihak salah satu pihak dalam kasus tersebut.
”Pokoknya kami ikuti aturan dan sesuai prosedur, kami tetap profesional saja. Kami tidak akan memihak sana memihak sini,” ujar Wachyu.
Wachyu juga mengimbau semua pihak yang berkaitan dengan masalah itu untuk sama-sama menahan diri. Dia menambahkan, proses penyidikan di kepolisian masih panjang karena penyidik masih harus melengkapi keterangan saksi dan alat bukti. ”Harapan kami, semua pihak saling menahan diri. Jangan ada provokasi,” katanya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petambang menggunakan mesin penyedot untuk menambang pasir di Sungai Progo di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (16/8/2021).
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral DIY Anna Rina Herbranti menyatakan, setelah terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penerbitan izin pertambangan merupakan kewenangan pemerintah pusat.
”Sekarang kewenangan pertambangan itu ada di pusat. Yang memberi rekomendasi dan yang memberi izin itu pusat,” kata Anna.
Ia menambahkan, pengawasan terhadap aktivitas tambang juga merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dia menyebut Pemerintah Daerah DIY hanya bisa menampung masukan dari masyarakat terkait kegiatan pertambangan. ”Kami bisanya hanya menampung masukan dari masyarakat, kemudian kami sampaikan ke pusat,” ujarnya.