Petani kopi Magelang berupaya memperkuat jenama kopi produksinya. Hal ini dilakukan agar kopi Magelang populer dan tidak terus-menerus diakui sebagai kopi daerah lain.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Para petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berupaya meningkatkan jenama kopi Magelang yang selama ini belum banyak dikenal di pasaran. Selain melalui promosi, para petani juga mulai memproses sendiri biji kopi. Dengan menghindari menjual biji kopi hasil panen ke luar daerah, diharapkan jenama kopi magelang semakin terkenal.
”Kami berusaha mencegah agar kopi Magelang tidak lagi sembarangan ’pindah KTP’,” ujar Lukman, salah seorang petani dari Kelompok Tani Kerug Mulyo, Dusun Kerug Batur, Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Senin (11/10/2021).
Kelompok Tani Kerug Mulyo berusaha selama ini berupaya tidak menjual kopi dalam bentuk biji kopi merah dan green bean. Mereka berkomitmen memproses dan mengolah sendiri hasil panen kopi. Kopi hanya dijual dalam bentuk roasted bean atau yang sudah disangrai.
”Kami sudah sepakat tidak menjual biji kopi merah dan green bean kepada petani daerah lain, atau bahkan pengepul yang akan menjualnya ke berbagai tempat,” ujarnya.
Proses sangrai yang menghasilkan roasted bean adalah proses terakhir yang dilakukan sebelum biji kopi digiling menjadi kopi bubuk. Dengan melakukan semua rangkaian proses, mulai dari petik hingga sangrai, menurut Lukman, para petani dari Dusun Kerug Batur merasa bisa menonjolkan ciri khas kopi produksi mereka, yakni kopi robusta dengan cita rasa moka yang kental.
Dengan ciri khas cita rasa kopi tersebut, ketika dibawa ke mana pun, para penikmatnya akan langsung mengenali kopi yang diminumnya sebagai kopi asli dari lereng Menoreh, yaitu dari Dusun Kerug Batur.
Sementara itu, petani dari delapan desa di Kecamatan Kaliangkrik, sejak tahun 2018, sudah mulai memasarkan kopi arabika produksi mereka dengan memakai label kopi Kaliangkrik. Rinto dari Kelompok Tani Mekar Lestari, Kecamatan Kaliangkrik, mengatakan, nama Kaliangkrik sengaja dipakai untuk semakin memperkuat identitas lokal kopi produksi mereka.
”Banyak kopi terkenal dikenali berdasarkan nama daerahnya, seperti kopi Gayo, Aceh, atau kopi Toraja. Kami pun ingin nantinya kopi produksi kami juga bisa dikenal sebagai kopi Kaliangkrik,” ujarnya.
Menurut Rinto, kopi Kaliangkrik ini memiliki cita rasa unik, kaya dengan beragam rasa, ibarat rujak. Selain rasa moka, terdapat pula berbagai tambahan rasa lain yang didapatkan dari tanaman endemik yang ditanam sebelumnya, seperti cabai, tembakau, dan klembak.
Seluas 20 hektar areal tanaman kopi dari delapan desa di Kecamatan Kaliangrik tersebut menghasilkan 40 ton biji kopi merah per tahun. Jika petani di Dusun Kerug Batur hanya menjual kopi dalam bentuk roasted bean, petani di Kecamatan Kaliangkrik dalam bentuk green bean.
Meski demikian, ketika green bean tersebut diolah menjadi roasted bean atau kopi bubuk, Rinto mengatakan, mitra pembeli diwajibkan tetap mencantumkan jenama kopi tersebut sebagai kopi asli Kaliangkrik.
Muhammad Arif dari Komunitas Kopi Magelang mengatakan, upaya mempromosikan kopi Magelang sudah sempat dilakukan dengan membagikan 2.000 gelas kopi gratis kepada pengunjung Taman Wisata Candi Borobudur, Sabtu (2/10/2021). Upaya serupa juga masih akan terus dilanjutkan, setidaknya hingga sebulan mendatang. ”Kami masih akan berpromosi dengan membagikan hingga satu juta kopi gratis kepada masyarakat di berbagai tempat,” ujarnya.
Komunitas Kopi Magelang beranggotakan kalangan pencinta kopi, pelaku usaha kafe atau kedai kopi, barista, dan petani kopi. Upaya promosi sebagai bentuk pengenalan kopi asli Magelang, menurut Arif, penting dilakukan karena banyak kedai kopi atau kafe di Magelang belum memakai kopi produksi Magelang sebagai bahan baku.
Ditambah lagi, menurut Arif, kopi Magelang juga kurang dikenal karena lebih banyak dibeli pengepul atau pelaku usaha kopi untuk kemudian diolah dan diberi label sebagai kopi asal daerah lain.