Dari survei, warga Jawa Timur lebih menghendaki sosok dari luar provinsi atau di pemerintah pusat untuk bertarung dalam pemilihan presiden, sedangkan tokoh lokal bertarung di pemilihan gubernur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Warga Jawa Timur mulai menyukai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon pengganti Presiden Joko Widodo.
Setidaknya demikian hasil survei Perilaku Memilih Masyarakat Jatim terhadap Pemilu 2024 oleh The Republic Institute secara virtual di Surabaya, Jatim, Minggu (10/10/2021). Penilikan dilakukan terhadap 1.225 responden pemilik hak pilih pada Pemilu 2019. Survei dilakukan di 38 kabupaten/kota kurun 1-13 September 2021 dengan metode multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 2,8.
Menurut peneliti utama Republic Institute, Sufyanto, sejumlah nama mendapat popularitas dan ”likeabilitas” tinggi adalah Prabowo (98,8 dan 67,1), Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa (97,8 dan 81,2), Menteri Sosial Tri Rismaharini (85,8 dan 67,1), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (85,3 dan 47,7), Ganjar (83,8 dan 59,7), serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (83,4 dan 41,4).
Berikutnya adalah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, serta Ketua DPR Puan Maharani.
Namun, jika menyangkut elektabilitas atau potensi keterpilihan jika pemilihan presiden berlangsung saat ini atau bukan sesuai jadwal pada 2024, warga Jatim cenderung menyukai Ganjar (31,4), Prabowo (23,0), Anies (12,3), Airlangga (4,5), dan Agus Harimurti (3,3). Selanjutnya adalah Khofifah (3,2), Risma (2,9), dan Ketua Umum PKB Muhaiman Iskandar (2,2). Sebagai catatan, ada 11,4 persen responden yang menyatakan belum tahu atau belum menentukan pilihan.
Dilihat dari hasil survei itu, bisa dipahami mengapa Prabowo dan Sandiaga mendapat popularitas dan ”likeabilitas” tinggi. Dalam kontestasi 2019, Prabowo-Sandiaga adalah pasangan yang maju meski kalah dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Bahkan, dalam kontestasi 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa meski kalah dari Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sandiaga juga dikenal karena pernah menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta di masa Anies sebelum digantikan Ahmad Riza Patria.
Ganjar juga amat kuat menjadi sosok yang akan diusung oleh partainya dengan persentase 52,5 persen, sedangkan Prabowo oleh Gerindra mendapat 47 persen.
Menurut Sufyanto, Ganjar bisa mencuri perhatian salah satunya dengan aktivitas di media sosial yang positif serta kegiatan tak terduga ke Jatim. Ganjar diketahui beberapa kali masuk ke Jatim meski berbalut acara tak terlalu formal, tetapi diyakini mendapat impresi cukup baik terutama dari warga Jatim di wilayah kebudayaan Mataraman atau Jatim bagian barat yang berbatasan dengan Jateng.
”Dari survei kami, Ganjar juga amat kuat menjadi sosok yang akan diusung oleh partainya (PDI-P) dengan persentase 52,5 persen, sedangkan Prabowo oleh Gerindra mendapat 47 persen,” kata Sufyanto. Dari sini, bisa ditarik benang merah bahwa warga Jatim terutama kader PDI-P ibarat sudah kepincut terlebih dahulu dengan sosok Ganjar untuk maju dalam pemilihan presiden.
Adapun Khofifah dan Risma, meski populer, warga Jatim tampaknya lebih mengharapkan dua perempuan ini bertarung dalam Pemilihan Gubernur Jatim 2024. Sebelum menjabat gubernur, Khofifah adalah Menteri Sosial. Sebelum menjadi Menteri Sosial, Risma adalah Wali Kota Surabaya, ibu kota Jatim. Risma pernah dikaitkan dengan Pemilihan Gubernur Jatim 2018 meski kemudian PDI-P memilih Syaifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang kemudian kalah dari Khofifah-Emil Elestianto Dardak.
Jika Pilgub Jatim berlangsung saat ini, elektabilitas Khofifah menurut Republic Institute 38,1 persen, disusul Risma 23,9 persen. Syaifullah yang merupakan mantan Wakil Gubernur Jatim dan kini Wali Kota Pasuruan 11,8 persen, sedangkan Emil yang sebelumnya Bupati Trenggalek 6 persen. Untuk catatan, ada 13,9 persen responden yang belum menentukan sikap.
Popularitas dan elektabilitas Khofifah didapat karena jabatan sebagai gubernur sekaligus Ketua Umum Muslimat dengan sukarelawan yang amat banyak dan aktif dalam pemenangan. Risma yang dianggap berhasil mempercantik Surabaya dan menjabat Mensos mendapat impresi cukup baik di media sosial. Padahal, dalam postingan di media sosial, ada beberapa tindakan yang mungkin kurang simpatik, yakni kecenderungan Risma yang marah-marah.
”Menurut responden, marah-marahnya Risma itu bukan suatu masalah, justru mewakili masyarakat karena kemarahan itu bukan terhadap rakyat, melainkan aparatur dan bawahan di pemerintahan,” kata Sufyanto.
Syaifullah masih mendapat impresi cukup baik karena dua periode menjadi Wagub Jatim dan kini memimpin Kota Pasuruan. Emil yang cukup aktif di media sosial juga mendapat impresi positif. Emil kian dikenal karena aktivitas sebagai Wagub Jatim, Pelaksana Tugas Ketua Demokrat Jatim, dan fans sang istri, Arumi Bachsin, terutama di kawasan Mataraman. ”Popularitas istrinya sebagai aktris cukup membantu dalam peningkatan elektabilitas Emil,” ujar Sufyanto.
Kandidat doktor pada Universitas Gdansk, Polandia, Fatekul Mujib, sebagai pembahas hasil survei Republic Institute mengatakan, popularitas, likeabilitas, dan elektabilitas seseorang terlihat dari ketokohannya di partai atau masyarakat. Selain itu, kecenderungan pilihan masyarakat dalam keluarga, organisasi, sukarelawan, dan diikuti ideologi.
Menurut Fatekul, Jatim terbagi atas kantong-kantong kebudayaan yang berbeda. Jika mengacu pada pembagian tlatah atau wilayah pembudayaan dari mendiang antropolog Ayu Sutarto dari Universitas Jember, ada empat wilayah besar kebudayaan dan enam wilayah kecil. Empat wilayah besar adalah Mataraman, Arek, Madura, dan Pendalungan.
”Dengan demikian, pendekatan terhadap masyarakat di Jatim harus berbeda karena punya budaya termasuk dalam politik yang berbeda,” ujar Fatekul. Di Jatim pemilih cukup dipengaruhi oleh tokoh, apakah dalam konteks politik, agama, keluarga, bahkan lingkungan.
Selain itu, saat ini, terutama dalam masa pandemi yang membatasi mobilitas rakyat, satu-satunya jendela dan jembatan informasi adalah media berbasis internet terutama media sosial. Cara-cara kuno dengan pemasangan spanduk besar-besaran tidak akan efektif dibandingkan dengan upaya menjadi ”kesayangan” di jagat media sosial.