Sejumlah penyandang disabilitas di Surakarta, Jawa Tengah, tak henti berkreasi untuk membantu sesama. Keterbatasan tak membuat mereka menyerah dengan keadaan. Dengan karya nyata, mereka menjaga nyala kesetaraan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Keterbatasan bukan alasan mematikan semangat untuk berkarya dan berbagi. Di Kota Surakarta, kreasi sejumlah penyandang disabilitas terbukti bermanfaat bagi sesama. Dari hal-hal sederhana, mereka menyalakan pelita kesetaraan.
Dengan tertatih, Dian Ruscahyanto (38) berjalan menuju sekumpulan rangka besi di salah satu bengkel di Solo Techno Park, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021). Masker rangkap, kacamata pelindung, dan penutup telinga dikenakan. Nyaman duduk di dingklik plastik, alat gerinda diambil kemudian mulai mengasah sudut-sudut rangka besi tadi.
“Ini salah satu bagian yang saya kerjakan dalam tim pembuatan tempat sampah pintar. Saya harus memastikan rangka untuk tempat sampah ini baik dan ukurannya presisi,” kata Cahyo, sapaan akrab Ruscahyanto, di sela-sela suara bising dan percikan api gesekan gerinda dan rangka besi.
Tempat sampah yang sedang dibuat Cahyo itu nantinya akan diberi sensor otomatis yang memudahkan pengguna, terutama kaum difabel. Penutup akan otomatis terbuka jika ada obyek berjarak sekitar 75 sentimeter (cm) dari lokasi. Tinggi tempat sampah juga hanya 120 cm sehingga memudahkan difabel pengguna kursi roda. Dalam perkembangannya, tempat sampah juga dibuat mengeluarkan suara sehingga mempermudah difabel netra mencari lokasi.
Jika tempat sampah sudah terisi penuh, penutupnya tak akan terbuka. Saat muatan sudah mencapai titik tertentu, tempat sampah juga secara otomatis akan mengirimkan notifikasi kepada petugas kebersihan agar segera membuang isinya.
Tempat sampah pintar itu adalah salah satu proyek Kelompok Difa Elektra, singkatan Difabel Elektro Teknik Surakarta. Nama itu dipilih karena sebagian besar anggotanya penyandang disabilitas fisik yang punya keterampilan di bidang teknik elektro.
Terbentuk akhir 2018, tim beranggotakan lima orang, dan hanya seorang yang bukan difabel, yakni Heru Sasongko. Aktivitas Difa Elektra sendiri bermula dari ide mewadahi kaum difabel, khususnya yang sehari-hari menjadi teknisi elektronik untuk berkreasi. “Setelah kumpul bareng, tercetus ide membuat tempat sampah yang mudah digunakan teman-teman difabel,” tutur Heru.
Mulanya, keandalan tempat sampah pintar diapresiasi sebagai Juara Harapan I dalam lomba Kreativitas dan Inovasi Kota Surakarta 2019. Pada 2021, temuan mereka mendapat dana lewat “Program Pendanaan Startup” Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kreasi mereka terpilih sebagai 80 temuan terbaik dari sekitar 1.000 temuan yang didaftarkan. Hebatnya, pesaing mereka dari kalangan umum, tak terbatas difabel. Berkat program itu, mereka diberikan bengkel untuk berproduksi di Solo Techno Park.
Kini, Difa Elektra fokus menyelesaikan target BRIN, yakni memproduksi 40 unit tempat sampah pintar hingga akhir 2021. Setelah itu, inovasi lain akan digarap. “Fokus kami tetap alat pintar. Sudah ada ide seperti membuat alat pertanian atau alat rumah tangga,” kata Cahyo.
Sebagai penyandang disabilitas, rasa tak percaya diri awalnya menyelimuti Cahyo dan teman-temannya. Bahkan, sempat ada cibiran yang dilontarkan. Namun, hal itu dianggap sebagai penyemangat untuk semakin kreatif berkarya.
Selain bergabung dalam Difa Elektra, Cahyo yang sehari-hari bekerja sebagai tukang servis elektronik juga masih menyempatkan diri berbagi ilmu bagi sesama difabel sejak 2009. Dari kegiatan itu, sudah ada rekannya yang berhasil mandiri. “Saya ingin kami sukses bersama,” kata Cahyo, yang menjadi difabel akibat kecelakaan yang dialami pada 2004.
Semangat agar kaum difabel bisa maju bersama juga ditiupkan Sugian Noor (53), penyandang disabilitas fisik. Sejak 1990-an, ia aktif melatih keterampilan bermusik bagi anak-anak difabel, di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta. Ia melatih mulai dari paduan suara, perkusi, hingga band.
Keterampilan bermusik dipelajari secara otodidak oleh Sugian, yang terserang polio pada usia 9 tahun. Awalnya, ia belajar bermain gitar dari temannya saat bersekolah di YPAC Surakarta, pada 1980-an. Kesulitan memetik senar sempat dialami akibat kelumpuhan jari-jari tangan kanan. Tak kehabisan akal, jari-jarinya lalu diikat dengan karet. Ternyata, permainannya apik dan menuai pujian.
Sugian kian semangat, lalu belajar alat musik lain seperti kibor, yang sempat membantunya memperoleh penghasilan sampingan saat masih SMA. “Semua pengalaman itu coba saya bagikan ke anak-anak. Intinya, tidak ada yang tidak mungkin,” ungkapnya.
Lewat musik, Sugian ingin menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak difabel. Tepuk tangan dan sorak penonton membuat anak-anak itu punya kebanggaan. Untuk itu, ia pun aktif mencarikan panggung bagi anak didiknya tampil maupun berlomba. Sebelum pandemi Covid-19, Car Free Day di Jalan Slamet Riyadi, jadi ruang rutin melatih mental mereka.
Dari pentas itu, tak jarang grup musik bernama YPAC Music Percussion asuhan Sugian diundang ke panggung-panggung lain. Mereka pun sempat ditunjuk mengisi peringatan 30 Tahun Konvensi Hak Anak di Balai Kota Surakarta, pada 2019.
Dengan cara lain, Darmanto (40) juga berupaya menumbuhkan kepercayaan diri sesama difabel untuk mengakses ruang publik. Bersama Komunitas Hore-Hore yang dibuatnya pada 2019, mereka berbagi informasi tentang ruang-ruang publik ramah difabel melalui akun @horebehepi di Instagram. “Awalnya sekadar kumpul-kumpul, wedangan, dan main bareng. Dari situ, kami terpikir membagikan info tempat-tempat ramah bagi teman difabel,” kata Darmanto, penyandang disabilitas fisik.
Unggahan biasanya berupa video maupun foto. Salah satu unggahannya menunjukkan pengalaman komunitas tersebut dilibatkan dalam uji coba KRL Yogyakarta-Solo. Ditampilkan dalam video, fasilitas-fasilitas untuk penyandang difabel seperti lift khusus pengguna kursi roda dan jalur khusus difabel. Mereka pun tak sungkan memberi komentar kekurangan layanan seperti minimnya tempat parkir khusus difabel dan bidang miring untuk naik ke kereta.
“Sejauh ini responsnya sangat positif. Misalnya, ada teman-teman difabel yang sebelumnya enggan pergi-pergi keluar, setelah tahu ada tempat publik yang ramah difabel, mereka berani mencoba,” kata Darmanto.
Bagi Cahyo, Sugian, atau Darmanto, keterbatasan bukan berarti tidak bisa berguna bagi dunia. Selalu ada yang bisa dimanfaatkan jika ada kemauan. Dari Surakarta, kaum difabel menunjukkan mereka bisa setara.