Pengakuan bagi Masyarakat Adat di Kalsel Masih Bakal Panjang
Penantian masyarakat adat di Kalimantan Selatan untuk mendapat pengakuan secara hukum masih panjang. Pemerintah daerah perlu mempercepat pembuatan perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Penantian masyarakat adat di Kalimantan Selatan untuk mendapat pengakuan secara hukum masih panjang. Di Hulu Sungai Tengah, misalnya, proses pembuatan peraturan daerah masyarakat hukum adat berjalan lambat. Padahal, sejumlah komunitas masyarakat adat di daerah Pegunungan Meratus sudah terdata.
Dorongan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat di Kalsel mengemuka dalam diskusi publik dengan tema ”Percepatan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Adat Hulu Sungai Tengah”. Diskusi diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) secara daring, Jumat (8/10/2021).
Ketua Pengurus Daerah AMAN Hulu Sungai Tengah Roby mengatakan, perjuangan mendorong hadirnya peraturan daerah (perda) masyarakat adat di Hulu Sungai Tengah sudah dilakukan sejak 2013. Selama delapan tahun berbagai upaya dilakukan, misalnya melobi pemerintah daerah dan DPRD serta menggelar diskusi, seminar, dan lokakarya.
”Kami tetap mendorong percepatan perda masyarakat adat untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Hulu Sungai Tengah meskipun kami tidak masuk dalam panitia identifikasi dan verifikasi masyarakat adat yang ditetapkan oleh bupati,” katanya.
Menurut Roby, pihaknya sudah mendata sejarah dan kehidupan sosial masyarakat adat di tingkat komunitas. Sejauh ini, sudah terdata 62 balai adat atau komunitas masyarakat adat di Hulu Sungai Tengah. Komunitas adat itu tersebar di tiga kecamatan, yaitu Batang Alai Timur, Batang Alai Selatan, dan Hantakan.
Di samping pendataan sosial, pemetaan wilayah adat di tiga kecamatan itu juga sudah dilakukan. AMAN Hulu Sungai Tengah dibantu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Unit Pemetaan Partisipatif AMAN.
”Kami pastikan akan terus mengawal apa yang menjadi kepentingan komunitas adat,” ujarnya.
Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel Yulius Tanang mengatakan, pihaknya tetap berupaya menyiapkan segala hal dan data yang diperlukan untuk kelengkapan penyusunan perda. Melalui pemetaan partisipatif yang sudah dilakukan di Kalsel, misalnya, sudah terdata wilayah adat di Kalsel seluas lebih kurang 252.000 hektar di daerah Pegunungan Meratus.
Wilayah adat di Kalsel tersebar di delapan kabupaten, yaitu Tanah Bumbu, Kotabaru, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Tapin, Banjar, Balangan, dan Tabalong. ”Kami sangat mendukung dan berupaya agar masyarakat hukum adat di Kalsel mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah,” katanya.
Direktur Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN Muhammad Arman mengatakan, perda masyarakat adat paling tidak memuat ketentuan umum, penetapan status komunitas-komunitas masyarakat adat sebagai masyarakat adat, serta luas dan batas wilayah adat. Selain itu, ada juga hak-hak masyarakat adat dan sistem sosial, tanggung jawab pemerintah daerah, serta penyelesaian sengketa.
”Perda itu mengukuhkan keberadaan masyarakat adat. Karena perda bersifat penetapan atau pengukuhan satu komunitas, maka tidak perlu lagi pembentukan panitia masyarakat adat,” katanya.
Beda pemahaman
Pemerhati lingkungan Pegunungan Meratus, Berry Nahdian Forqan, mengatakan, proses pembuatan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Hulu Sungai Tengah terkesan lambat. Tarik ulur terjadi karena ada pemahaman berbeda-beda di antara komunitas masyarakat adat, pemda, dan DPRD.
”Perbedaan pemahaman tentang masyarakat adat serta landasan undang-undang untuk masyarakat hukum adat itu kemudian menghambat proses pembuatan perda,” kata Berry yang pernah menjabat Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah.
Selain itu, menurut Berry, dorongan untuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat lebih banyak datang dari para pegiat masyarakat adat ataupun lembaga swadaya masyarakat. Komunitas masyarakat adat sendiri, termasuk tokoh-tokoh adat, kurang mau bergerak dan terlibat di dalam proses itu.
Ia mencontohkan apa yang terjadi di Kotabaru. Meskipun sudah ada Perda Kotabaru Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA), tindak lanjut atau manfaat perda itu untuk masyarakat adat belum kelihatan.
”Selain mendorong adanya legal formal pengakuan, kita juga perlu mendorong keterlibatan masyarakat adat,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hulu Sungai Tengah M Fajaruddin berkomitmen untuk menyelesaikan perda PPMHA. Saat ini, prosesnya baru sampai tahap identifikasi terhadap wilayah masyarakat hukum adat. Setelah itu, baru masuk pada tahap verifikasi dan validasi. Prosesnya agak terhambat karena pandemi Covid-19.
”Kalau secara lisan, siapa pun itu mengakui bahwa ada masyarakat adat di wilayah Pegunungan Meratus, Hulu Sungai Tengah. Karena itu, kami bertekad untuk menyelesaikan perda PPMHA dalam waktu yang tidak terlalu lama,” katanya.