Indonesia Optimistis Bebas Rabies di Tahun 2030 dengan Vaksin Dalam Negeri
Indonesia optimistis segera bebas dari rabies karena mampu produksi vaksin di dalam negeri. Penyakit zoonosis ini jadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, juga berdampak buruk di sektor ekonomi terutama pariwisata.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Indonesia optimistis bebas rabies tahun 2030 lewat vaksin buatan dalam negeri. Tidak hanya rentan berdampak pada kesehatan manusia, rabies pun bisa mengganggu perkembangan sektor ekonomi, terutama pariwisata.
”Hari ini, saya meluncurkan produk andalan bangsa Indonesia untuk mendukung pemberantasan penyakit-penyakit zoonosis menuju target bebas rabies 2030,” ujar Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada peringatan Hari Rabies Sedunia di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (8/10/2021).
Produk itu adalah vaksin antirabies (VAR) yang diberi nama Neo Rabivet. Vaksin produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) ini dapat meningkatkan kekebalan terhadap serangan rabies pada anjing, kucing, dan kera.
Adapun keinginan bebas rabies 2030 itu sejalan dengan target global yang diprakarsai Organisasi Kesehatan Dunia, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Global Aliance for Rabies Control.
Syahrul mengatakan, rabies rawan menyebar pada binatang peliharaan dan hewan liar terutama anjing, kucing, dan kera. Rabies bersifat zoonosis sehingga rentan menular pada manusia dan menyebabkan kematian.
Pengendalian rabies memerlukan langkah terstruktur dan sistematis pada upaya preventif, promotif, serta kuratif. Butuh peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lintas sektor, termasuk sukarelawan dari berbagai kalangan profesi, seperti dokter hewan.
VAR buatan dalam negeri menjadi bagian dari upaya pencegahan itu. Vaksin ini telah melalui penelitian, uji laboratorium, dan uji lapang dengan rangkaian proses panjang. Kehadirannya diyakini dapat membantu peningkatan cakupan vaksinasi, terutama di daerah-daerah endemik. Kini, dari 34 provinsi di Indonesia, baru delapan daerah yang bebas rabies. Sebanyak 26 provinsi lainnya masih endemik.
Beberapa tahun terakhir justru terjadi penularan di daerah baru, seperti Bali (2008), Nias (2010), Pulau Larat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, serta Pulau Kisar dan Daweloor, Kabupaten Maluku Barat Daya, (2012).
Selain itu ada provinsi yang kembali muncul kasus rabies, seperti Kalimantan Barat (2014) dan Nusa Tenggara Barat yang sempat dinyatakan bebas rabies, tetapi tahun 2019 kembali ada kasus (Kompas, 23 September 2020).
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Kementan Nasrullah menambahkan, pihaknya telah mengalokasikan vaksin dan operasional pengendalian rabies, khususnya wilayah tertular risiko tinggi. Untuk daerah risiko tinggi, diupayakan mendapat alokasi vaksin sebesar 70 persen dari populasi hewan penular rabies.
”Sementara di daerah tertular risiko rendah dan bebas, alokasi vaksin cukup untuk vaksinasi tertarget dan vaksinasi darurat. Pemda diharapkan mendukung dengan mengisi kekurangan ketersediaan vaksin dan sumber daya lain yang diperlukan,” kata Nasrullah.
Sementara itu, Bupati Berau Sri Juniarsih mengatakan, penanganan rabies sangat penting karena berdampak pada sektor ekonomi. Endemik rabies menjadi ancaman bagi pengembangan sektor pariwisata. Padahal, Berau memiliki destinasi wisata kelas dunia, yakni Pulau Derawan dan Pulau Maratua.
”Hari ini, pemda menggelar vaksinasi rabies dengan target 3.000 dosis. Pemda Berau telah mengirimkan surat ke Kementan agar memberikan status bebas rabies karena hal itu penting bagi pengembangan sektor pariwisata,” kata Sri.
Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur Hadi Sulistyo mengatakan, daerahnya telah dinyatakan bebas rabies sejak 1997. Meski demikian, kewaspadaan tetap diterapkan untuk mempertahankan status tersebut. Caranya, antara lain, mengawasi secara ketat lalu lintas hewan di wilayah perbatasan dan menggelar vaksinasi rutin untuk hewan peliharaan.
”Jatim telah mengirimkan 2.170 dosis VAR produksi Pusvetma ke pusat kesehatan hewan. Selain itu bekerja sama dengan perhimpunan dokter hewan, menggelar vaksinasi massal di Pusvetma,” ucap Hadi.
Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkiflimansyah mengatakan, daerahnya masih endemik rabies. Kasus rabies banyak ditemukan di daerah pedesaan karena terdapat banyak petani atau peladang. Mereka memanfaatkan anjing untuk menjaga tanaman mereka, seperti jagung. Upaya pemberian vaksin antirabies sudah dilakukan.
Di Sumatera Selatan, rabies terjadi akibat gigitan anjing, kucing, dan kera. Total terdapat 2.000 kejadian selama tahun 2020. Namun, tidak sampai mengakibatkan korban manusia meninggal dunia.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan, hal itu menunjukkan efektifnya upaya vaksinasi. Kini, ada 54 pusat kesehatan hewan dan sebuah rumah sakit hewan yang melayani penanganan rabies dan penyakit lainnya.
”Meski demikian, Sumsel tidak bisa mengandalkan dokter hewan yang ada untuk melindungi kesehatan masyarakat karena jumlahnya yang terbatas. Apalagi, populasi hewan liar masih 30 persen sehingga menjadi pekerjaan rumah untuk pemberian vaksin,” ujar Herman.