Akui Kebocoran, Pemerintah Janji Benahi Impor Garam
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui, garam impor merembes ke pasar konsumsi. Akibatnya, harga garam rakyat anjlok. Pihaknya berjanji membenahi hal itu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Harga garam di tingkat petani yang kerap anjlok mengindikasikan adanya kebocoran garam impor ke pasar konsumsi. Pemerintah berjanji membenahi mekanisme impor. Kebijakan importasi nantinya tidak lagi diserahkan kepada pengimpor, tetapi langsung ke industri pengguna komoditas itu.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui, garam impor yang seharusnya digunakan untuk industri merembes ke pasar konsumsi. ”Garam-garam yang bocor ke pasar itu merusak harga garam petani,” ujarnya saat berdialog dengan petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (8/10/2021).
Saat berdialog, petani mengeluhkan harga garam yang bisa turun hingga Rp 100 per kilogram di tambak. Padahal, biasanya harganya di atas Rp 500 per kg. Moeldoko belum mengetahui jumlah garam impor yang bocor di pasaran. Namun, anjloknya harga garam di tingkat petani mengindikasikan hal tersebut.
Oleh karena itu, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga Kementerian Perindustrian untuk membenahi mekanisme impor garam. ”Impor garam ke depan itu diarahkan kepada user (pengguna) langsung, pabrik, atau industri. Tidak melalui pihak ketiga lagi,” ujarnya.
Harapannya, garam yang diimpor sesuai kebutuhan industri penggunanya. Terkait sanksi bagi pelanggar, Moeldoko berkomitmen membuat regulasi ketat. Namun, pihaknya belum bisa menjelaskan detail aturan tersebut.
”Kami sudah tiga kali rapat. Saya kira (regulasi impor garam) secepatnya,” lanjutnya.
Menurut dia, impor garam harus dilakukan di tengah minimnya produksi domestik. Tahun ini, kebutuhan garam 4.606.554 ton. Sebanyak 3 juta di antaranya untuk bahan baku industri, seperti klorin alkali, farmasi, hingga pengeboran minyak. Kadar natrium klorida (NaCl) garam industri berkisar 97 persen-98 persen.
Padahal, produksi garam domestik tahun lalu sekitar 1,3 juta ton. Itu pun didominasi garam dengan kadar NaCl kurang dari 97 persen. ”Perlu penguatan di sektor teknologi. Tetapi, semua bergantung kepada petani. Kecenderungannya, belum waktunya dipanen, (garam) sudah dipanen. Akhirnya, petani merugi,” katanya.
Ismail Marzuki (34), petani garam di Rawaurip, mengatakan, petani mampu menghasilkan garam untuk keperluan industri. Namun, terkendala sarana prasarana, seperti plastik geomembran.
”Satu gulung geomembran harganya bisa Rp 5 juta. Padahal, 1 hektar lahan butuh 12 gulung geomembran,” ungkapnya.
Ia juga mendorong pemerintah segera menetapkan harga pokok pembelian garam untuk mencegah harga jual petani anjlok lagi. Apalagi, tengkulak selama ini menjadi penentu harga di tingkat petani. Sebelumnya, pemerintah berencana memasukkan garam sebagai komoditas barang pokok dan penting tetapi hingga kini belum terwujud.
Silahkan bangun industri, tapi kearifan lokal tetap dipertahankan. Jangan sampai petani garam hanya penonton. (Bambang Setiadi)
Camat Pangenan Bambang Setiadi mengatakan, selain harga, petani juga menghadapi masalah abrasi dan cuaca yang tidak menentu dalam tiga tahun terakhir. Akhirnya, tidak sedikit petani membiarkan tambaknya menganggur. Padahal, Rawaurip memiliki lahan lebih dari 100 hektar dengan produksi garam setahun bisa 200.000 ton.
Petani, lanjutnya, juga diterpa isu pembangunan pelabuhan di sekitar Rawaurip. ”Silakan bangun industri, tapi kearifan lokal tetap dipertahankan. Jangan sampai petani garam hanya penonton. Mau dikemanakan petani? keahliannya hanya itu, tidak ada yang lain,” ungkapnya.