Polda Sumsel Bertindak Tegas Tutup 1.000 Sumur Minyak Ilegal
Ledakan dalam kawasan tambang minyak ilegal di Musi Banyuasin terus berulang setiap tahunnya. Bahkan, dalam satu bulan terakhir, telah terjadi dua kali ledakan dengan tiga korban tewas. Polda Sumsel menutup 1.000 sumur.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Selatan menutup sedikitnya 1.000 sumur minyak ilegal dan menangkap enam petambang di Kawasan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Langkah tegas ini dilakukan tak lama setelah terjadi dua kali ledakan di kawasan sumur minyak ilegal yang menyebabkan tiga orang tewas.
Kepala Kepolisian Daerah Sumsel Inspektur Jenderal Toni Harmanto, Kamis (17/10/2021), di Palembang, mengatakan, praktik tambang minyak ilegal di Kabupaten Musi Banyuasin selalu berulang setiap tahunnya. Hal itu terjadi karena banyak warga yang menganggap aktivitas ini menguntungkan.
Oleh karena itu, ujar Toni, sejak 30 September-4 Oktober 2021, pihaknya telah menerjunkan sekitar 380 personel gabungan dari jajaran Polri, dinas kehutanan, dan petugas keamanan perusahaan untuk menutup 1.000 sumur minyak ilegal di kawasan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin. Dari operasi itu juga, pihaknya menangkap enam pekerja, yakni HE, EN, MA, PA, NA, dan RA.
Dalam praktiknya, jelas Toni, kelompok petambang biasanya akan memulai aktivitas dengan menggali tiga lubang tambang yang memiliki potensi minyak dengan kisaran biaya penggalian sekitar Rp 100 juta. Biaya itu memang tergolong besar, tetapi bisa kembali hanya dalam waktu 1 bulan. Berkat iming-iming keuntungan yang cukup menggiurkan itu, tak heran aktivitas ilegal ini terus berulang.
Menurut dia, aktivitas ini sangat berbahaya bagi keselamatan manusia dan lingkungan. ”Akibat aktivitas ini, lingkungan menjadi rusak dan kering,” kata Toni. Karena itu, dibutuhkan komitmen bersama dari forum koordinasi pimpinan daerah untuk menghentikan aktivitas ini.
Setelah penutupan ini, Toni berharap ada tindak lanjut dari pihak terkait lainnya untuk menyelesaikan permasalahan ini secara permanen. Dimulai dari pemulihan lingkungan sampai upaya pembukaan lapangan kerja bagi para petambang sehingga mereka tidak lagi menjalani aktivitas ilegal ini.
”Kita harus memberikan solusi kepada warga. Banyak potensi yang bisa dikembangkan, misalnya saja budidaya eukaliptus,” kata Toni.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Barly Ramadhani menegaskan, pihaknya akan terus menyelidiki kasus ini, termasuk mencari pemodal dan ke mana kemungkinan minyak ilegal ini disalurkan. ”Aktivitas ini sudah sangat meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Selain pelaku, lanjut Barly, beberapa barang bukti sudah disita dan dimusnahkan, seperti 364 motor, 37 ring, 30 unit mesin sedot, 102 tedmon, 674 pondok, 26 unit mesin genset, 362 batang pipa, dan 4 mobil pengangkut. ”Alat-alat ini digunakan untuk menambang, termasuk mengangkut hasil tambang,” katanya.
Atas perbuatannya, ujar Barly, keenam petambang dijerat menggunakan Pasal 36 dan Pasal 40 Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 60 miliar. ”Aktivitas ini sudah menimbulkan kerusakan lingkungan,” katanya.
Penutupan sumur minyak ilegal ini dilakukan setelah terjadi dua kali ledakan tambang minyak ilegal dalam satu bulan terakhir, tepatnya di Desa Keban, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin. Akibat kejadian tersebut, tiga orang tewas.
Pada April 2021, Polres Banyuasin juga menutup 290 sumur minyak ilegal dengan menyita sejumlah peralatan. Sama seperti kali ini, penutupan dilakukan setelah terjadinya ledakan.
Sekretaris Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Apriyadi mengaku kewalahan menghadapi aktivitas ilegal ini. Ada beberapa kendala yang dihadapi pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.
Salah satunya adalah keterbatasan akses karena praktik ini terjadi di dalam konsesi perusahaan perkebunan, hutan tanaman industri, dan migas. Selain itu, aktivitas ini terbilang cukup masif, bahkan melibatkan warga dari luar Sumatera Selatan.
Khusus untuk perusahaan migas, semua kewenangan ada di pemerintah pusat. ”Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, kerugian yang ditanggung oleh pemerintah daerah tidak sedikit. Mulai dari kerusakan lingkungan sampai potensi kerugian pendapatan daerah.
Berdasarkan penghitungan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ujar Apriyadi, potensi minyak mentah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan minyak ilegal mencapai 3.000 barel-5.000 barel per hari dengan kerugian mencapai Rp 1,5 triliun per tahun.
Apriyadi menyayangkan kurangnya tanggung jawab dari perusahaan pemegang konsesi untuk menyelesaikan permasalahan ini. ”Jangan kalau ada masalah saja baru mengadu kepada kepolisian atau pemerintah daerah,” ujarnya.
Dia juga meminta Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengkaji kembali izin perusahaan yang tidak mampu menjaga kawasan konsesinya dari aktivitas penambangan minyak ilegal. ”Kalau perlu, izinnya dicabut saja dan kembalikan ke pemerintah daerah,” kata Apriyadi menegaskan.