Melambat Menikmati Hidup Bersama Basuki dan Basori
Melambat, dan perhatikan sekitar. Banyak hal bisa jadi pelajaran. Berharap, kualitas hidup akan meningkat.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Melambat, dan perhatikan sekitar. Banyak hal bisa menjadi pelajaran. Berharap, kualitas hidup akan meningkat. Mengenal orang lain yang dekat di kehidupan sehari-hari sembari mengenal jati diri sendiri.
Mari mengenal sosok Basuki (89), penjaja koran di Jalan Veteran, Kota Malang, yang sudah berangkat dari rumahnya di Ngijo, Karangploso, pada pukul 04.00 WIB dengan diantar sang cucu. Pria lanjut usia itu diantar cucunya terlebih dahulu ke agen koran, baru kemudian diantar ke lokasi jualan.
Berikutnya, sang cucu berangkat masuk ke sekolahnya di SMKN 1 Singosari. Jarak dari rumah Basuki ke lokasinya berjualan koran, ataupun dari tempat jualan koran ke sekolahnya adalah sekitar 10 kilometer (km). Pukul 11.00-13.00 WIB, Basuki akan dijemput oleh cucunya untuk pulang, seiring sang cucu pulang sekolah.
”Saya ini sebenarnya sudah tidak boleh kerja sama anak saya. Tapi saya rasanya tidak bisa diam saja. Malah kalau diam, badan lemas dan sakit semua. Jadinya nanti seperti teman-teman seumuran saya yang hanya bisa tiduran saja. Saya tidak mau seperti itu,” kata Basuki sambil tersenyum. Di usianya yang tak lagi muda, Basuki masih kuat berjualan koran sambil berdiri. Jika lelah, ia memilih berjualan sambil duduk di kursi plastik, tetap dengan mengacungkan koran dengan tangan kanannya yang keriput. Tangan kirinya, memeluk beberapa koran.
”Kalau berdiri saja seperti ini saya bisa. Yang tidak kuat itu kalau sudah berjalan. Nafas langsung ngos-ngosan. Tapi ya tidak apa-apa, olahraga. Ha-ha-ha..,” kata pria yang mengaku di masa mudanya adalah seorang sopir. Ia saat ini tinggal bersama anaknya yang juga seorang sopir, dengan cucunya yang masih bersekolah.
Di tempat berbeda, di Jalan Mayjen Wiyono, Basori (59), pria asal Tanjung-Sukun, rutin berjualan koran selama setengah hari. Ia berangkat naik sepeda dari rumahnya di Janti sekitar pukul 05.00 WIB dan akan pulang sekitar jam 12.00 WIB.
”Sebelum jualan di sini, saya muter dahulu mengantar koran ke pelanggan. Koran Kompas ini bawanya tidak banyak, hanya satu eksemplar. Kalau mau beli lebih dari satu, silakan langganan,” katanya bercerita sepotong demi sepotong.
Meski bicaranya tidak begitu lancar, dan salah satu kakinya agak diseret saat berjalan, Basori menikmati pekerjaannya. Sudah 3 tahun ini ia berjualan koran. Sebelumnya, ia bekerja di pabrik rokok Farokha, yang kini sudah bangkrut.
”Pabriknya sudah tutup, bangkrut. Jadi ya kerja begini sekarang. Yang penting tubuh bergerak,” katanya.
Basuki dan Basori adalah gambaran orang yang menolak menyerah menghadapi hidup, dan hanya menunggu belas kasih orang. Senyum dan sinar mata berbunga-bunga, melukiskan betapa mereka mengisi masa tuanya sesuai pilihan. Dengan tangan rentanya, keduanya masih menjajakan koran. Manusia dan koran, dua ciptaan yang sama-sama berjuang di usia senja.
Menemukan Basuki dan Basori, atau sosok-sosok lain dengan cerita menariknya, tentu saja bisa dilakukan jika kita ’melambat’. Melambat, menurut dosen Sosiologi Universitas Brawijaya (UB), Wida Ayu Puspitosari, adalah meluangkan waktu untuk hal-hal di luar rutinitas mengejar percepatan dunia yang penuh dengan sirkulasi modal.
”Melambat di sini bukan melambat secara waktu. Namun ini menjadi gaya hidup warga kota yang tetap modern dan dinamis, dengan melakukan hal-hal yang slow. Misalnya bergabung membuat gerakan seni, atau melakukan hal yang sifatnya sustainable agar tidak selalu terintimidasi dengan percepatan kehidupan,” kata Wida.
Bentuk sederhana melambat tersebut, menurut Wida, misalnya, meluangkan waktu menengok atau memperhatikan kehidupan tetangga atau sekitar. ”Itu bisa memberikan kontribusi luar biasa untuk gaya hidup masyarakat kota. Kalau gerakan itu bisa dilakukan bersama-sama, yang semula sebagian besar masyarakat kota individualis, misalnya, bisa jadi nantinya bisa lebih sensitif dan mau melihat sekitar,” katanya.
”Inti dari melambat adalah bagaimana kita bisa jauh lebih bisa menikmati hidup daripada sekadar mengejar perputaran dunia dengan sirkulasi modal yang cepat,” kata dosen dengan bidang konsentrasi kajian masyarakat perkotaan tersebut.
Namun Wida mengatakan, untuk bisa mencapai tujuan, gerakan melambat ini harus dilakukan bersama-sama dan berkolaborasi dengan banyak pihak. Tidak bisa hanya dilakukan oleh orang per orang atau satu dua kelompok saja.
Gerakan melambat bagi masyarakat kota sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1990-an dengan nama Cittaslow atau City Slow di Eropa. Mereka berusaha memaknai hidup dan mencari kualitas hidup tanpa harus terseret arus percepatan dunia. Tiga kualitas hidup mendasar ingin dicapai oleh gerakan ini adalah ekonomi, lingkungan, dan komunitas. Beberapa wacana dilakukan, seperti gerakan slow food dan slow fashion.
Entah gerakan slow cities tersebut akan berhasil atau sekadar utopia, tetapi Thomas L Friedman dalam bukunya Thank You For Being Late terbitan Gramedia (2018) menggambarkan bahwa hal yang bisa dilakukan untuk bisa mengikuti percepatan putaran kehidupan adalah dengan bekerja sama dan berinovasi.
Dimulai dengan kelompok-kelompok kecil, dan bukan instruksi atau komando dari atas ke bawah. Memperbanyak prakarsa lokal berkelompok, lalu terus memperbesar gerakan itu adalah hal yang membuka ruang optimisme di masa depan.
Begitulah, mengenal Basuki dan Basori, adalah keberuntungan. Riuh canda tawa keduanya melipat ruang dan waktu. Tak perlu jauh-jauh ke Eropa karena mereka ada di sekitar kita….