Surabaya, ibu kota Jawa Timur, masih memiliki areal produksi garam yang akan dilindungi dan ditingkatkan kualitasnya dengan pengadaan geomembran dan pelatihan bagi petambak.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Meski menjadi kota metropolitan terkemuka kedua di Nusantara, Surabaya, ibu kota Jawa Timur, berusaha mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan-lahan pertanian yang tersisa. Dalam produksi garam, Pemerintah Kota Surabaya mendorong petambak memakai teknologi geomembran dan atau pemurni.
”Dalam APBD 2022, kami mengusulkan pengadaan geomembran untuk meningkatkan produksi garam,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Yuniarto Herlambang, Rabu (6/10/2021).
Menurut data DKPP, produksi garam pada Agustus 2021 sebanyak 3.377 ton. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan 2018 yang sebanyak 2.274 ton. Meski tahun ini cukup baik, produksi turut terganggu anomali cuaca, yakni hujan yang turun dalam musim kemarau, yakni Juni, Juli, dan Agustus. Turunnya hujan merusak panen garam.
Di Surabaya ada 10 kelompok petambak garam beranggotakan 100 petambak. Sentra-sentra produksi garam berada di sejumlah kecamatan yang saling berbatasan, yakni Benowo, Pakal, dan Asemrowo. Pemerintah Kota Surabaya juga memiliki gudang penyimpanan garam di Sememi untuk penyimpanan garam petambak sebelum dibeli oleh industri. Gudang berkapasitas hingga 30.000 karung atau sampai 1.500 ton itu gratis bagi kelompok petambak garam.
Tanpa geomembran, produksi garam hanya bergantung pada musim kemarau, yang karena perubahan iklim global dipengaruhi anomali atau keanehan.
Menurut Yuniarto, pengadaan geomembran bertujuan melindungi produksi garam petambak meski ada perubahan cuaca, yakni turunnya hujan dalam masa panen. Dengan geomembran, seperti dilakukan oleh sejumlah petani di Lamongan dan akhir-akhir ini di Pulau Madura, meski berskala kecil, produksi bisa berlangsung sepanjang tahun. ”Tanpa geomembran, produksi garam hanya bergantung pada musim kemarau, yang karena perubahan iklim global dipengaruhi anomali atau keanehan,” ujarnya.
Yuniarto juga mengatakan sedang mempersiapkan aparaturnya untuk pelatihan peningkatan kualitas produksi garam. Dengan demikian, penggunaan geomembran dan pelatihan diharapkan dapat lebih meningkatkan produksi garam Surabaya secara intensifikasi atau tanpa memperluas areal tambak.
Heru Susanto, petambak dari Tambak Sarioso, Asemrowo, mengatakan bersama enam petambak menggarap 20 hektar lahan di pesisir untuk produksi garam. Lahan dibagi per petak dengan luasan masing-masing 1 hektar. Produksi per hektar sampai 20 ton sehingga dari Tambak Sarioso bisa didapat produksi garam hingga 400 ton. Selama ini, produksi garam mereka dikirim ke pabrik di Asemrowo.
”Kalau ada geomembran akan lebih baik karena produksi bisa dua-tiga kali lipat,” kata Heru. Garam juga lebih bersih karena tak bercampur dengan tanah seperti garam krosok sehingga nilai jual diharapkan bisa lebih tinggi. Heru berharap pendampingan akan mendorong kelompok petambak berani bergerak ke sektor hilir, yakni pengolahan dan pengemasan atau barang jadi, bahkan turunan lain dari produksi garam. Nilai tambah garam bisa lebih tinggi lagi dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan warga.
Dihubungi secara terpisah, Rektor Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Moch Syarif mengatakan, tim peneliti kampus tersebut telah menemukan alat pemurni garam krosok untuk kebutuhan industri pangan dan farmasi. Pemurni ada di Laboratorium Lapang PUI atau Pusat Unggulan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Garam UTM di Padelegan, Pademawu, Pamekasan, Pulau Madura. Alat pemurni garam krosok yang dibangun dengan dukungan dana penelitian sekitar Rp 400 juta itu telah menjadikan UTM sebagai pionir PUI Garam oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Syarif menyatakan, alat pemurni itu tidak sekadar berkemampuan mengolah garam krosok (bukan memakai geomembran) untuk menjadi garam kebutuhan industri. Alat pemurni dapat dibangun dengan biaya terjangkau oleh kelompok petambak.
”Dari sana, harapannya, kualitas produksi garam rakyat memenuhi standar industri sehingga pemerintah bisa mempertimbangkan untuk tidak lagi impor garam di tahun depan,” katanya.
Syarif mengatakan, Indonesia telah memutuskan untuk impor 3,07 juta ton garam dengan tujuan menutupi kebutuhan industri. Pemerintah beralasan produksi garam rakyat tidak memenuhi standar industri sehingga terpaksa melakukan impor. Padahal, keputusan impor menyakiti beribu-ribu petambak garam. Indonesia memiliki sekitar 28.000 hektar lahan garam dengan 22.000 hektar di antaranya dikelola petambak atau rakyat.
Dari pengalaman impor tahun-tahun sebelumnya, lanjut Syarif, masuknya garam dari mancanegara ternyata ada yang bocor ke pasar rakyat. Akibatnya, garam produksi rakyat guna kepentingan domestik tidak terserap. Harga garam rakyat anjlok dan menjadi pil pahit bagi kehidupan petambak.
”Indonesia telah memiliki kemampuan membangun alat pemurni garam krosok sehingga perlu dipertimbangkan agar garam rakyat bisa terserap sepenuhnya oleh kebutuhan dalam negeri untuk menjamin peningkatan kesejahteraan,” ujarnya.