Sumut Surplus Beras dan Jagung, tetapi Masih Defisit Bawang
Sumut mencapai swasembada beras, jagung, dan cabai merah, tetapi masih defisit bawang merah, bawang putih, dan kedelai. Kini digalakkan penambahan luas tanam dan pengembangan sentra produksi baru.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sumatera Utara melaksanakan sejumlah strategi untuk memenuhi kebutuhan pangan, seperti penambahan luas tanam, pengembangan sentra produksi, pemenuhan sarana produksi, dan sumber daya manusia. Saat ini, Sumut mencapai swasembada beras, jagung, dan cabai merah. Akan tetapi, Sumut belum bisa memenuhi kebutuhan bawang merah, bawang putih, dan kedelai.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk ”Relevansi Investasi di Bidang Pertanian dan Pangan di Masa Pandemi: Makro atau Mikro?” yang diselenggarakan Yayasan Bina Keterampilan Desa (Bitra) Indonesia secara daring, Rabu (6/10/2021).
Penyuluh Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemerintah Provinsi Sumut Rismauli Basa Gultom mengatakan, produksi beras Sumut pada tahun 2020 mencapai 2,48 juta ton atau surplus 618.000 ton dibandingkan dengan kebutuhan 1,86 juta ton.
Produksi jagung pada periode itu juga mencapai 1,96 juta ton atau surplus 147.000 ton dibandingkan dengan kebutuhan 1,81 juta ton. ”Produksi komoditas lainnya ialah cabai merah mencapai 193.000 ton atau surplus 69.000 ton dibandingkan kebutuhan 124.000 ton,” kata Rismauli.
Meski demikian, sejumlah komoditas pangan masih mengalami defisit yang cukup dalam, seperti bawang putih dengan produksi yang hanya 1.339 ton atau 4,58 persen dari kebutuhan 29.000 ton per tahun. Produksi bawang merah juga mencapai 29.000 ton atau 60 persen dari kebutuhan 45.000 ton. Sementara produksi kedelai mengalami defisit paling dalam dengan produksi 4.003 ton atau hanya 2,29 persen dibandingkan kebutuhan 175.000 ton.
”Kekurangan bawang merah di Sumut dipasok dari sejumlah provinsi di Jawa. Sementara untuk bawang putih dan kedelai, dipenuhi dari impor,” kata Rismauli.
Surplus produksi tanaman pangan juga masih bermasalah karena musim panen yang tidak merata sepanjang tahun, khususnya cabai merah. Akibatnya, harga bisa anjlok hingga Rp 10.000 per kilogram saat panen raya dan bisa meroket hingga Rp 150.000 saat pasokan terbatas. Pemerintah pun berupaya mengatur jadwal panen agar bisa menekan fluktuasi harga.
Sejumlah permasalahan pun masih dihadapi dalam peningkatan produksi, yakni ketersediaan benih unggul, air, terbatasnya sarana produksi, hama dan penyakit tanaman, serta sumber daya manusia yang relatif rendah.
Kebijakan makro
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Tari Supriani mengatakan, kebijakan makro tentang pertanian juga sangat memengaruhi ketahanan pangan di Sumut. Kebijakan mikro, seperti perluasan lahan, peningkatan teknologi, dan sumber daya manusia, di Sumut dinilai terus membaik.
”Jika kebijakan mikronya sudah baik, produksi pasti meningkat. Namun, persoalan pangan kerap harus menghadapi lagi kebijakan di tataran makro, seperti ekspor, impor, penetapan harga pembelian pemerintah (HPP), dan subsisi pupuk,” kata Tari.
Tari pun mencontohkan HPP gabah kering panen sebesar Rp 4.200 per kilogram sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan HPP untuk Gabah atau Beras. Harga itu dinilai masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar sehingga tidak signifikan mendorong kenaikan harga yang seharusnya bisa diterima petani.
Menurut Tari, Perum Bulog pun akhirnya kesulitan juga menyerap gabah dari petani. Padahal penyerapan itu juga penting sebagai stok untuk operasi pasar saat harga beras terlalu tinggi. ”Kalau HPP gabah kering panen bisa pada rentang Rp 5.000 per kilogram sampai Rp 6.000 per kilogram, itu baru bisa menyejahterakan petani,” katanya.
Manajer Pengembangan Komunitas Yayasan Bitra Indonesia Berliana Siregar mengatakan, sejumlah hal penting dalam produksi pangan juga harus diperhatikan, yakni bagaimana memproduksi pangan yang sehat dan bergizi, peduli terhadap Bumi dan masa depan. ”Etika ini terus kami dalami dan tekankan,” katanya.
Petani, yang juga Ketua Unit Penjamin Mutu Organis di Kabupaten Serdang Bedagai, Jumino, mengatakan, pertanian organik di daerahnya semakin berkembang seiring dengan kesadaran memproduksi pangan yang lebih sehat. Selain itu, penggunaan pupuk organik juga menjadi pilihan di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi.
”Petani kecil dengan lahan kurang dari 5 rante (2.000 meter persegi) sangat susah mendapat pupuk bersubsidi. Kelompok petani kecil ini kini banyak menggunakan pupuk organik,” kata Jumino.
Jumino mengatakan, mereka mengembangkan sistem pertanian permakultur yang berkelanjutan dan sesuai dengan ekosistem alam.