Berbekal Inovasi, Warga Desa Burai Menolak Pudar
Pandemi tidak membuat Desa Burai di Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, buram. Sebaliknya, desa yang dikenal dengan Desa Warna-warni ini tetap memesona dengan kekayaan alam, beragam inovasi, dan karya dari warganya.
Pandemi tidak membuat Desa Wisata Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, menjadi buram. Sebaliknya, desa ini tetap memesona dengan beragam karya dan inovasi dari warga desanya.
Jari-jemari Ririn Rahmatillah (35) tampak lincah menenun kain songket dengan alat tenun tradisional, Kamis (30/9/2021). Dia tidak sendiri, tetapi ditemani oleh sembilan orang ibu-ibu lain yang melakukan aktivitas serupa. Mereka berbagi tugas, ada yang memintal benang, ada pula yang menenun dengan motif berbeda.
Hampir semua ibu-ibu di sana bisa menenun songket karena sudah menjadi tradisi turun-temurun. Membuat songket memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. ”Paling tidak, dengan membuat songket, kami bisa membantu suami,” ujar Ririn yang sudah 20 tahun menenun songket.
Dalam satu bulan, biasanya Ririn mampu membuat satu kain songket berukuran 180 sentimeter (cm) x 90 cm dengan kisaran harga Rp 1 juta-Rp 2,5 juta. Dari hasil kerajinannya itu, Ririn bisa memperoleh pendapatan tambahan sekitar Rp 600.000 per bulan. Biasanya dia menjual songket ke Palembang atau menjual langsung kepada wisatawan yang datang.
Kisaran harga sangat bergantung pada kesulitan motif songket. Di desa tersebut, ada beberapa macam songket yang dirancang, seperti motif cantik manis, bungo cino, rakam, dan lepus. Songket biasanya digunakan untuk menghadiri acara pernikahan.
Namun, saat pandemi melanda Sumsel, pendapatannya menurun tajam karena sulit baginya untuk menjual songket. Ketika acara pernikahan dibatasi, jumlah pembeli pun berkurang. ”Daripada membeli songket lebih baik untuk makan,” kata Ririn. Walau sekarang kondisinya sudah membaik, penjualan songket masih belum pulih seperti dulu.
Hari itu, di depan kelompok petenun dipajang juga beberapa lembar kain songket agar pengunjung dapat melihatnya. Kebetulan saat itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno didampingi Gubernur Sumsel Herman Deru datang ke desa yang berjarak sekitar 48,6 kilometer dari Palembang itu.
Baca juga : Membangkitkan Lagi Tradisi Ngobeng di Palembang
Sandiaga pun menyempatkan diri mampir melihat aktivitas ibu-ibu Desa Burai dan mendokumentasikannya di media sosial. ”Semoga dengan masuk ke Story IG saya banyak yang memesan songket Desa Burai ya,” kata Sandiaga. ”Amin,” ujar warga yang mengelilinginya.
Memang pemasaran masih menjadi persoalan bagi para perajin songket di desa ini. Walau sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, tidak banyak yang tahu mengenai songket Desa Burai. ”Dengan dipasarkan oleh Mas Menteri, siapa tahu akan semakin banyak warga di luar Sumsel yang tertarik memesan songket di desa kami,” kata Ririn.
Desa wisata
Kedatangan Sandiaga ke Desa Burai adalah untuk menetapkan Desa Burai masuk dalam jajaran 50 Desa Wisata Terbaik di Indonesia tahun 2021. Desa seluas 11.000 hektar ini terbilang unik. Berada di tengah hamparan lahan rawa dengan sebuah anak sungai besar bernama Sungai Kelekar.
Kumpulan sapi dan kerbau rawa yang menyantap rumput pada sore hari menjadi pemandangan yang jarang ditemukan di tempat lain. Di sisi lain, rumah-rumah warga yang ada di Desa Burai juga dicat warna-warni, tak heran desa ini juga dijuluki Desa Warna-warni.
Desa Warna Burai mulai dipermak tahun 2018. Saat itu, warga desa bersama Pertamina EP Asset II Prabumulih mengecat semua bagian desa dengan beragam warna cerah. Tidak hanya rumah warga, bahkan jalan pun diwarnai dengan beragam gambar menarik.
Saat tuntas banyak warga yang berdatangan untuk mengabadikan kampung warna-warni Desa Burai. Sebenarnya pada masa itu, kampung warna sudah menjadi tren, bahkan menyebar ke beberapa daerah, seperti Palembang dan Lubuklinggau. Namun, kampung ini memiliki keunikan tersendiri karena kondisi alamnya yang unik.
Koordinator Kelompok Sadar Wisata Desa Burai Darul Khudni menuturkan, desa ini menawarkan beragam jenis wisata. Mulai dari wisata alam di mana pengunjung bisa menikmati keunikan daerah rawa sembari memancing. Setelah itu, mereka bisa menyantap kerupuk kemplang, pempek ikan toman khas Desa Burai.
Ada juga wisata religi karena ada sebuah makam leluhur di tempat ini, yakni Usang Dara Puteh yang bernama asli Kiai Machyuddin. Dia adalah seorang pemuka agama yang datang dari Kutai, Kalimantan Timur, untuk menyebarkan agama Islam di Desa Burai sekitar abad ke-14. Makam ini sering dikunjungi peziarah untuk berdoa dan meminta berkah.
Baca juga : Purun Sumsel Didorong Menembus Pasar Mode Internasional
Inovasi terbaru, lanjut Darul, warga juga telah menciptakan tarian penyambutan yang nantinya akan digunakan ketika wisatawan datang. Tarian ini dinamakan Tari Beume (menanam padi) yang dilakoni oleh 10 penari yang merupakan pemuda dan pemudi desa.
Seperti namanya, para penari muda ini menari bak petani yang sedang menanam bibit padi di sawah. Pemuda memegang cangkul, pemudi memegang nampan. Mereka menari dengan diiringi lagu khas Desa Burai. ”Lagu dan tarian ini kami ciptakan untuk menyambut Mas Menteri,” kata Darul.
Terakhir, lanjutnya, warga desa juga telah menyiapkan rumah tinggal (homestay) yang nantinya bisa digunakan oleh wisatawan yang ingin menginap. ”Beberapa keluarga sudah bersedia rumahnya dijadikan homestay. Ini diharapkan dapat meningkatkan antusiasme wisatawan untuk berkunjung ke Desa Burai,” kata Darul.
Kepala Desa Burai Erik Pastillah mengatakan, akibat pandemi jumlah pengunjung yang datang terus berkurang. Bahkan, pada awal pandemi Maret-April 2020, desa ini tertutup bagi wisawatan untuk mengurangi risiko penularan. ”Sebelum pandemi, ratusan orang wisatawan dari luar Ogan Ilir kerap datang berkunjung. Namun, saat ini bisa dihitung dengan jari,” ucapnya.
Padahal, pariwisata menjadi pendapatan tambahan bagi warga desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani, pekebun, nelayan, dan tukang. Dia berharap ada bantuan dari pemerintah untuk membenahi infrastruktur jalan karena memang untuk masuk ke desa ini tidak mudah lantaran jalan yang masih berbatu-batu.
Sandiaga Uno menuturkan, dengan ditetapkannya Desa Burai masuk dalam jajaran 50 Desa Wisata Indonesia 2021, diharapkan dapat memancing wisatawan untuk berkunjung. Di sisi lain, warga desa diharapkan terus bernovasi agar desa ini lebih ”berwarna”.
Tetap jaga keramahan, kebersihan, kekhasan, dan keamanan desa sehingga membuat wisatawan merasa nyaman.
Dalam kunjungannya kali ini, Sandiaga berjanji akan memfasilitasi pengembangan desa seperti meminta perusahaan cat nasional turut berperan mewarnai kembali Kampung Warna Desa Burai agar kembali berwarna. Selain itu, dia juga akan memberikan satu kapal tambahan yang nantinya dijadikan alat transportasi sungai bagi wisatawan yang datang.
Namun, yang terpenting, ujar Sandiaga, adalah menjaga protokol kesehatan agar kedatangan wisatawan tidak memicu penularan Covid-19. ”Terkait kebijakan lebih lanjut tentu akan diserahkan kepada pemerintah daerah setempat,” kata Sandiaga.
Gubernur Sumsel Herman Deru berharap masyarakat dapat menjaga keunikan dari desa ini sehingga tetap menjadi daya tarik bagi pengunjung. ”Tetap jaga keramahan, kebersihan, kekhasan, dan keamanan desa sehingga membuat wisatawan merasa nyaman,” ucapnya.
Walau saat ini Sumsel masih dilanda pandemi, dirinya memperbolehkan obyek wisata dibuka tentu dengan protokol kesehatan yang ketat. ”Rata-rata saat ini daerah di Sumsel berstatus level 2 sehingga obyek wisata bisa dibuka asal prokes harus dijaga,” kata Herman.
Pandemi tidak menyurutkan semangat warga Desa Burai untuk tetap berinovasi. Seperti kampungnya, mereka ingin tetap berwarna dan menolak pudar.