Burung Dilindungi Masih Huni Hutan Malang, Pemerintah Mesti Cegah Kerusakan
Puluhan burung, termasuk di antaranya kategori dilindungi, ditemukan menghuni hutan di kawasan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pemerintah diharapkan mampu mencegah alih fungsi lahan hutan yang tersisa.
Oleh
Dahlia Irawati
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Puluhan burung, termasuk di antaranya kategori dilindungi, ditemukan menghuni hutan di kawasan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bisa melestarikan satwa tersebut dengan cara mencegah perusakan hutan. Saat ini 70 persen hutan di Malang dinilai sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan perumahan.
Dalam dua kali pengamatan selama Agustus-September 2021 di Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Sekar di Desa Sidodadi, Kecamatan Ngantang, tim Profauna Indonesia berhasil menemukan 43 jenis burung. Adapun sembilan jenis di antaranya masuk dalam kategori jenis dilindungi oleh undang-undang.
Sembilan burung dilindungi itu antara lain elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam (Ictinaetus malaiensis), julang emas (Aceros undulatus), takur tohtor (Megalaima armillaris), takur tulung tumpuk (Megalaima javensis), serindit jawa (Loriculus pusillus), dan luntur harimau (Harpactes oreskios).
”Hutan lindung di RPH Sekar sangat istimewa karena masih banyak pohon dengan diameter lebih dari 1 meter. Kondisinya juga masih cukup terjaga baik. Sebab, dengan dua kali pengamatan saja langsung kelihatan beragam burung yang ada di sana,” kata Ketua Pembina Profauna Indonesia Rosek Nursahid, Senin (4/10/2021).
Menurut Rosek, dengan masih terjaganya hutan di lereng Gunung Kawi dan Gunung Kelud tersebut, ia berharap pemerintah bisa menjaga dan mencegah kerusakan hutan di sana. Ini agar keberadaan satwa dan aneka burung dilindungi tetap terjaga.
”Ada beragam program pemerintah terkait hutan, seperti perhutanan sosial atau sejenisnya. Jangan sampai hal itu merusak hutan yang masih baik ini,” kata Rosek.
Dari 42.000 hektar hutan lindung di wilayah Malang Raya, Profauna Indonesia mencatat sebanyak 70 persen di antaranya sudah rusak dan beralih fungsi. Hutan beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan perumahan.
”Masih ada beberapa hutan yang juga baik, misalnya di sekitar Pantai Kondang Merak. Namun, secara umum, banyak yang sudah rusak. Hutan di RPH Sekar ini kalau saya bilang adalah hutan terakhir yang harus kita pertahankan di Malang Raya agar keseimbangan alam terus terjaga,” kata Rosek.
Made Astuti, pengamat burung dari Profauna Indonesia, menambahkan, keberadaan puluhan burung di hutan RPH Sekar merupakan indikator bahwa hutan tersebut masih terjaga baik. ”Keberadaan burung-burung tersebut sangat tergantung pada kelestarian hutan. Misalnya, burung julang emas dan takur adalah burung yang tanpa pohon-pohon besar dan beragam akan punah,” katanya.
Hutan lindung RPH Sekar mempunyai luas 3.212 hektar yang berada pada ketinggian mulai dari 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga di atas 2.000 mdpl. Beberapa desa yang berada di sekitar hutan lindung yang berada di lereng Gunung Kawi dan Kelud tersebut antara lain Desa Sidodadi, Purworejo, Pagersari, Banturejo, dan Pandansari.
Untuk memantau keragaman hayati di hutan lindung RPH Sekar ini, Profauna Indonesia membangun pos lapangan di Dusun Sekar, Desa Sidodadi, Kecamatan Ngantang. ”Kami berharap adanya pos lapangan Profauna tersebut akan membuat kami lebih dekat dengan masyarakat desa untuk saling berbagi pengetahuan terkait konservasi hutan di wilayah Ngantang dan sekitarnya,” kata Erik Yanuar, Manajer Lapangan Profauna.
Sebelumnya, keberadaan burung dilindungi juga terdeteksi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Di kawasan hutan di Lumajang tersebut ditemui elang jawa (Nisaetus bartelsi). Pada Agustus 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar TNBTS melepasliarkan satu ekor elang jawa dan satu ekor elang ular bido di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Lumajang.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNBTS Novita Kusuma Wardani menjelaskan, burung yang dilepasliarkan itu diberi nama Araga. Elang jawa berjenis kelamin betina itu ukuran tubuhnya sekitar 70 sentimeter (cm), rentang sayap mencapai 100 cm, dan warna bulu keseluruhan coklat. Satwa yang memiliki ciri khas jambul di kepalanya ini umumnya dijumpai pada kawasan hutan dataran rendah dengan ketinggian 600-2.000 mdpl.
Elang jawa Araga tersebut, menurut Novita, adalah hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Selanjutnya, Araga diserahkan ke Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Loji Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) untuk menjalani rehabilitasi selama 13 bulan.
”Kriteria yang menentukan kelayakan pelepasliaran elang jawa dilakukan dengan penilaian perilaku dan pemeriksaan kesehatan, meliputi perilaku terbang, bertengger, berburu, dan interaksi dengan manusia,” kata Novita.
Elang jawa yang diidentikkan dengan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Garuda, ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, bersama dengan bunga padma raksasa (Rafflesia arnoldii) sebagai satwa dan tumbuhan langka nasional.
Adapun elang ular bido yang diberi nama Moris juga merupakan hasil penyerahan warga Bogor kepada PSSEJ Loji BTNGHS pada tanggal 21 Desember 2020. Satwa itu pun sudah melewati masa rehabilitasi selama lima bulan sebelum dilepasliarkan.
Moris berjenis kelamin jantan dengan ciri khas kulit kuning tanpa bulu di antara mata dan paruh. Kakinya berwarna kuning, memiliki sayap lebar dan membulat, berwarna gelap, dan memiliki ekor pendek. Elang ini sering melintasi hutan, perkebunan, dan padang rumput, umumnya dijumpai pada ketinggian 700-2.000 mdpl.
”Pelepasliaran ini sebagai upaya bersama untuk melindungi dan mempertahankan agar ekosistem di sana selalu terjaga,” kata Novita.