Pandemi Covid-19 meningkatkan tantangan dan kendala bagi para perajin batik, termasuk di Jawa Timur. Pemanfaatan media sosial untuk pemasaran, pendekatan personal, peningkatan kualitas menjadi solusi agar batik lestari.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Seorang peserta Festival Batik dan Selamatan Desa di Kelurahan Ngaglik, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (24/3/2021), menunjukkan masker terbuat dari kain batik. Masker batik merupakan salah satu hasil kreativitas perajin di masa pandemi seperti sekarang.
BANGKALAN, KOMPAS — Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 dan belum mereda hingga kini memukul perkembangan industri batik, termasuk di Jawa Timur. Pembatik bertahan bahkan bisa berkembang melalui berbagai jalan, antara lain terobosan desain dan teknik, jejaring pemasaran, dan pemanfaatan teknologi informasi.
Dalam peringatan Hari Batik, Sabtu (2/10/2021), Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengingatkan warga provinsi tersebut untuk menghargai pelestarian batik. Caranya, membeli batik tulis atau cap bukan kain motif batik dicetak mesin dari para perajin.
”Harga batik cetak mesin memang jauh lebih murah, tetapi perajin batik tidak akan mendapatkan apa-apa,” kata Khofifah di Surabaya sebelum bertolak ke Papua untuk PON Papua 2021.
Dalam catatan pemerintah, di Jatim yang terdiri atas 38 kabupaten/kota ada hampir 10.000 usaha batik. Belum ada data berapa banyak yang ”mati” atau sementara tidak berusaha karena pandemi Covid-19.
Batik-batik kami dibeli murah oleh butik, dijadikan merek oleh pengusaha butik itu dan dijual jauh lebih mahal. Kami belum pernah berkesempatan diajak pameran atau menjadi mitra pengadaan batik dari instansi. (Abdul Gafur)
Namun, secara umum, pandemi memukul kelestarian usaha perajin batik. Produksi batik tulis dan cap tersendat karena selama pandemi yang masih berlangsung, aparatur memberlakukan pembatasan sosial. Mobilitas industri batik terbatas dalam produksi hingga pemasaran.
Bupati Pamekasan Badrut Taman bersama Ketua Kibas Lintu Tulistyantoro menunjukkan salah satu batik Pamekasan di Surabaya, Kamis (25/10/2018).
Turun-temurun
Abdul Gafur, pembatik dari Paseseh, Tanjungbumi, Bangkalan, Pulau Madura, yang dihubungi dari Surabaya mengatakan, pandemi kian menyulitkan usaha keluarganya yang telah turun-temurun. Selain batik tulis dan cap, Abdul Gafur memproduksi batik gentongan yang khas Tanjungbumi dalam teknik pewarnaan.
Abdul Gafur mengatakan, pemasaran batik produksi keluarganya yang terdiri atas 30 perajin kian sulit karena masih berlangsung secara tradisional. Mereka mengklaim tidak memiliki jaringan ke pemerintahan yang dapat membantu dalam pengurusan label atau merek dagang.
”Batik-batik kami dibeli murah oleh butik, dijadikan merek oleh pengusaha butik itu dan dijual jauh lebih mahal. Kami belum pernah berkesempatan diajak pameran atau menjadi mitra pengadaan batik dari instansi,” kata Abdul Gafur.
Padahal, berbagai cara telah ditempuh. Antara lain, menerobos pasar digital melalui media sosial Facebook dan Instagram. Namun, terkait pandemi, penjualan produk juga belum terdongkrak. ”Kami mencoba bertahan,” ujar Abdul Gafur.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komunitas Batik Jawa Timur (Kibas) Lintu Tulistyantoro mengatakan, pandemi memaksa pengusaha batik berkonsolidasi, berkolaborasi, dan beradaptasi. Ada yang terpaksa berhenti karena tidak punya jejaring. Ada yang bertahan berproduksi karena dibantu pemasaran digital. Ada yang berkembang karena kolaborasi dengan sesama perajin dan pendekatan personal.
”Dalam pengamatan kami, perajin batik kelas premium malah bertahan dan berkembang,” ujar Lintu, dosen pada Universitas Kristen Petra.
Pandemi secara umum memukul kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang jumlahnya mayoritas ini adalah konsumen batik dengan harga terjangkau. Kelompok yang tidak terpengaruh dari golongan kaya yang dalam hal konsumsi batik memilih produk premium dan edisi terbatas.
”Kelebihan pembatik produk premium adalah pendekatan personal kepada pasar yang sudah stabil, yakni kolektor sehingga dari sisi kuantitas memang tidak banyak, tetapi nilainya tinggi,” kata Lintu.
Dalam pengamatan kami, perajin batik kelas premium malah bertahan dan berkembang. (Lintu Tulistyantoro)
Terkait dengan Hari Batik, Kibas terus memfokuskan perhatian untuk mengangkat industri batik skala mikro kecil yang sedang kesulitan. Manajemen, pemasaran, dan kualitas produksi coba diperbaiki dan ditingkatkan dengan model pendampingan. ”Program dari pemerintah mungkin jangkauannya terbatas sehingga kami mendampingi yang selama ini belum mendapat perhatian,” ujar Lintu.
Fausi Adi Putra (30), pemilik Batik Lavega Madura di Bangkalan, selama pandemi permintaan batik karya pembatik Tanjung Bumi mengalami penurunan sangat dratis. Jika sebelum pandemi Covid-19, paling tidak 500 lembar kain batik terjual, di kala pandemi yang berlangsung sejak Maret 2020, sempat sama seklai tidak ada pembeli.
Padahal, menurut pelaku usaha muda yang meneruskan usaha batik dari neneknya itu, pembatik dari sejumlah desa di Bangkalan tetap membatik. Hal itu dilakukan karena membatik menjadi sumber penghasilan keluarga sehingga meski pasar batik lesu, karya pembatik tetap ditampung.
”Saya tidak sampai hati menolak karya pembatik,” kata Fausi, yang selama pandemi Covid-19 gencar menyasar konsumen melalui media sosial Instagram dan Facebook. Begitu ada batik langsung disebarkan melalui media sosial dan selalu ada saja konsumen yang tertarik untuk membeli.
Pengunjung melihat batik yang dijual saat Pameran Batik ”Sepenggal Kisah dan Sejarah Mahakarya Batik Pamekasan” di Hotel Bumi, Surabaya, Kamis (2/10/2020). Pameran yang diisi dengan sarasehan dan peragaan busana diselenggarakan dalam rangka Hari Batik Nasional. Kabupaten Pamekasan merupakan sentra kerajinan Batik di Jawa Timur.