Kampung Batik Kauman Tetap Bersinar Lewat Pemasaran Digital
Pandemi Covid-19 memukul habis pelaku usaha batik di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Perlahan para pelaku usaha mulai bangkit lewat pemasaran digital.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seorang pegawai membatik dengan lilin di Batik Gunawan Setiawan, Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021). Pelaku usaha batik di kampung tersebut mulai bangkit dengan pemasaran digital di tengah pandemi Covid-19.
SURAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memukul telak usaha batik di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Kini, para pelaku usahanya perlahan bangkit lewat pemasaran digital.
Ketua Paguyuban Kampung Batik Kauman Gunawan Setiawan mengungkapkan, pandemi banyak berdampak bagi pelaku usaha batik. Konsep kampung wisata yang mengumpulkan kerumunan tidak berjalan akibat pembatasan kegiatan masyarakat. Akibatnya, sejumlah pelaku usaha batik tidak lagi aktif menjalankan bisnisnya.
”Dari lebih kurang 130 pelaku usaha batik yang bergabung dalam paguyuban, tinggal 50 pelaku usaha yang masih aktif,” kata Gunawan, di sela-sela acara ”Srawung Batik Nusantara”, di Kampung Batik Kauman, Sabtu (2/10/2021).
Seorang pegawai tengah melakukan proses pewarnaan batik yang disebut nyemok di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021). Pelaku usaha batik di kampung tersebut mulai bangkit dengan pemasaran digital di tengah pandemi Covid-19.
Gunawan menyebutkan, tiga bulan awal pandemi Covid-19 menjadi masa-masa terberat. Dia dan pelaku usaha batik lainnya sempat tidak berpenghasilan akibat tidak adanya kunjungan wisatawan. Akibatnya, banyak pelaku usaha terpaksa menjual aset, seperti mobil dan sepeda motor, untuk bertahan hidup.
Lebih dari enam bulan setelah pandemi, titik terang hadir saat para pelaku usaha batik mengambil langkah mandiri lewat pemasaran digital lewat platform e-dagang. Ada juga yang ditawarkan langsung lewat pesan singkat kepada pelanggan tetap.
”Sekarang kondisinya semakin lumayan. Dari sebelumnya sama sekali tidak ada transaksi, sekarang sudah mulai ada transaksi Rp 300.000-Rp 1 juta per hari. Hal itu didukung penurunan status PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) di Kota Surakarta dari level IV ke level III,” kata Gunawan.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seorang pegawai tengah membatik dengan lilin di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021). Pelaku usaha batik di kampung tersebut mulai bangkit dengan pemasaran digital di tengah pandemi Covid-19.
Selain itu, kata Gunawan, ada juga sebagian pelaku usaha yang berganti lini bisnis ke sektor kuliner. Belakangan muncul bisnis baru, seperti kedai kopi dan warung makan. Keberadaan beberapa bisnis kuliner justru menambah kelengkapan kampung tersebut sebagai sebuah destinasi wisata.
”Jika dulu, kami hanya dikenal sekadar wisata batik, sekarang sudah lebih komplet. Bisnis-bisnis kuliner justru membuat kampung ini semakin komplet,” ujar Gunawan.
Arga Ninggar Satria (36), pemilik Domas Batik, kini giat memasarkan produk batiknya secara digital. Awalnya, dia tidak membayangkan bakal memasarkan produk secara daring. Ia sudah terbiasa menjajakan produknya lewat pertemuan langsung dengan konsumen, baik kunjungan wisatawan maupun pameran batik.
”Pola pikir pelaku usaha batik masih berdagang konvensional, seperti masuk ke pasar, mal, atau tempat-tempat wisata. Pandemi ini memaksa kita berubah,” kata Arga.
Sudah berbeda dengan enam bulan awal pandemi Covid-19. Saat itu sulit sekali, sempat tidak bisa menjual sama sekali. Untuk menggaji karyawan, kami gunakan uang tabungan. (Arga Ninggar Satria)
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seorang pegawai melakukan proses pewarnaan batik di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021). Pelaku usaha batik di kampung tersebut mulai bangkit dengan pemasaran digital di tengah pandemi Covid-19.
Pemasaran digital dipelajari Arga dari salah seorang temannya. Kini, ia memasarkan produknya lewat tiga platform e-dagang, seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak.
Ia mengakui, penjualan tidak serta-merta langsung bertambah drastis. Omzetnya naik perlahan. Kini, setidaknya 30 persen dari total transaksi sebulan diperoleh dari penjualan digital. Sebagian transaksi lainnya dari pesanan pelanggan tetap. Saat ini, rata-rata omzet yang diperolehnya mencapai Rp 50 juta per bulan.
”Sudah berbeda dengan enam bulan awal pandemi Covid-19. Saat itu, sulit sekali, sempat tidak bisa menjual sama sekali. Untuk menggaji karyawan, kami gunakan uang tabungan,” kata Arga.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seorang pegawai mengolah batik cap di Kampung Batik Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021). Pelaku usaha batik di kampung tersebut mulai bangkit dengan pemasaran digital di tengah pandemi Covid-19.
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mengatakan, kondisi penularan Covid-19 sudah mulai melandai. Untuk itu, pihaknya meminta pegiat kampung batik agar terus bergeliat.
Pergeseran ke pemasaran digital, kata dia, menunjukkan upaya para pelaku usaha batik untuk terus bertahan. Gibran meyakini industri batik akan kembali bangkit seiring munculnya beragam usaha pelaku batik.
”Anak-anak muda harus berpartisipasi dan ikut andil dalam proses digitalisasi. Digitalisasi adalah sebuah kewajiban. Tetapi, kita juga tidak akan berhenti menarik wisatawan offline. Karena, pengalaman berbelanja langsung berbeda, apalagi nuansa kampung ini luar biasa,” kata Gibran.