Oase dari Batu Balian di Sungai Tuyup, Kalsel
Obyek wisata Batu Balian menjadi magnet wisata Desa Paau di Aranio, Banjar, Kalimantan Selatan. Wisata itu dipadukan wisata budaya Seserahan Hutan yang kini digelar secara terbuka untuk umum.
Batu Balian di tengah aliran Sungai Tuyup menjadi magnet wisata Desa Paau di Kecamatan Aranio, Banjar, Kalimantan Selatan. Batu sungai berukuran besar itu tidak hanya memesona, tetapi juga melegenda.
Senin (20/9/2021) siang, gerimis di obyek wisata Batu Balian baru saja berhenti. Hawa sekitarnya masih terasa dingin. Beberapa pengunjung yang baru saja tiba tetap nekat turun ke Sungai Tuyup untuk mandi dan bermain arung jeram.
Dengan menggunakan pelampung dari ban dalam mobil, beberapa anak muda berteriak girang dan tertawa-tawa melewati jeram Sungai Tuyup. Jeram itu persis di antara Batu Balian dan bebatuan sungai lain yang berukuran besar. Mereka bolak-balik mengarungi jeram itu meski air Sungai Tuyup terasa dingin seperti es.
Perjalanan nonstop dari Banjarmasin ke Batu Balian lebih dari 3 jam. Bahkan, perjalanan Kompas ke sana memakan waktu hampir 5 jam.
Di tengah derasnya arus sungai, Batu Balian yang berbentuk lonjong terlihat kokoh. Ukurannya paling besar di antara bebatuan sungai yang lain. Di dekat hamparan batu sungai itu ada pertemuan aliran Sungai Hapuray dan Sungai Tuyup. Di atas aliran Sungai Hapuray yang tidak begitu lebar terdapat jembatan gantung.
”Luar biasa pemandangan alam di sini. Sungainya begitu cantik, airnya bersih dan jernih, serta masih banyak ikan. Ini menandakan sungai di Paau masih asri dan terjaga dengan baik,” kata Nur Ade Pesireron (24), pengunjung yang berasal dari Tanah Bumbu.
Sebagian pengunjung turun ke sungai sekadar untuk membasuh muka, tangan, dan kaki. Jernih air sungai yang mengalir dari Gunung Haur Bunak, gugusan Pegunungan Meratus, dan bermuara di Waduk Riam Kanan itu benar-benar terasa segar di kulit.
Tak sedikit pula pengunjung yang turun ke sungai hanya sekadar untuk berfoto ataupun berswafoto serta memotret pemandangan alam yang masih begitu asri. ”Ini sangat luar biasa. Di tengah modernitas dan kecanggihan teknologi, masih ada masyarakat yang mau menjaga kelestarian alam dengan maksimal,” ujar Joko Sugiarto (26), pengunjung dari Balikpapan, Kalimantan Timur.
Baca juga: Keelokan Batu Balian di Tanah Banjar
Dua hari itu, 20-21 September 2021, lokasi obyek wisata Batu Balian didatangi banyak orang karena ada acara adat Seserahan Hutan. Acara adat tahunan itu digelar masyarakat Paau sebagai bentuk syukur terhadap hasil alam ataupun hasil hutan serta komitmen mereka menjaga kelestarian alam.
”Sejak 2020, kami menggelar acara adat Seserahan Hutan di lokasi obyek wisata Batu Balian. Kami ingin menarik kunjungan wisatawan dengan wisata alam sekaligus wisata budaya,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) ”Penyaluhan Indah” Desa Paau, Aspiani Alpawi.
Kisah legenda
Konon, Batu Balian merupakan jelmaan dari tokoh balian atau pemimpin upacara adat di masa lampau. Balian dan orang-orang yang mengikuti upacara adat itu dikutuk menjadi batu akibat melanggar ritual adat.
”Saat ritual berlangsung, salah seorang pemusik memukul gendang menggunakan ekor kera putih. Seketika itu juga terjadi hujan dan badai sehingga upacara adat itu porak-poranda dan sejurus kemudian para tokoh adatnya berubah menjadi batu,” tuturnya.
Menurut Alpawi, legenda Batu Balian itu merupakan cerita turun-temurun di kalangan masyarakat Paau, yang sampai sekarang masih rutin menggelar ritual adat Seserahan Hutan. Ritual adat yang sebelumnya digelar tertutup atau hanya untuk internal masyarakat Paau, sekarang sudah terbuka untuk masyarakat luar.
”Tahun ini, banyak sekali yang datang ke Paau. Dan, kami tetap menerapkan protokol kesehatan, mengingat kita masih dalam masa pandemi,” katanya.
Demi menyaksikan ritual adat Seserahan Hutan, mereka yang datang dari luar desa membawa perlengkapan berkemah. Sebab, ritual adat berlangsung pada malam hari. Mereka mendirikan tenda di area berkemah dan juga di tepian Sungai Tuyup dan Sungai Hapuray.
Lebih dari 3 jam
Untuk mencapai lokasi obyek wisata Batu Balian, pengunjung harus menempuh jalan darat menuju Waduk Riam Kanan. Dari Banjarmasin, jaraknya sekitar 60 kilometer. Setibanya di Pelabuhan Riam Kanan, Desa Tiwingan Lama, pengunjung harus naik kapal motor atau kelotok melintasi waduk seluas lebih kurang 8.000 hektar.
Pelayaran dari Tiwingan Lama ke Paau ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 30 menit. Sampai di Paau, pengunjung harus berjalan kaki melewati jalur pendakian menuju puncak Gunung Haur Bunak. Batu Balian adalah Pos 1 di jalur pendakian. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk mencapainya dari pusat desa.
Baca juga: Semangat Menjaga Alam dalam Upacara Adat Seserahan Hutan
Perjalanan nonstop dari Banjarmasin ke Batu Balian lebih dari 3 jam. Bahkan, perjalanan Kompas ke sana memakan waktu hampir 5 jam karena harus menunggu jadwal keberangkatan kelotok di Pelabuhan Riam Kanan sekitar 1 jam.
”Kalau tidak ada acara adat Seserahan Hutan, jadwal keberangkatan kelotok dari Pelabuhan Riam Kanan ke Paau hanya satu kali dalam sehari. Tarifnya Rp 15.000 per orang,” kata Alpawi.
Paau merupakan satu di antara 12 desa yang berada di pesisir Waduk Riam Kanan, Kecamatan Aranio. Luas desa ini hanya 4.590 hektar (ha) atau 3,94 persen dari luas Kecamatan Aranio dan dihuni 175 keluarga atau berpenduduk 532 jiwa. Paau juga berada di dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam seluas 112.000 ha.
Untuk memasuki lokasi wisata Batu Balian, pengunjung hanya perlu membayar retribusi masuk Rp 3.000 per orang. Retribusi itu untuk kas desa. Adanya retribusi karena obyek wisata Batu Balian sudah dikelola oleh Pokdarwis Penyaluhan Indah.
Menurut Alpawi, jumlah kunjungan wisata ke Paau saat ini masih kurang dari 100 orang per bulan. ”Setiap pengunjung selalu kami beri kantong plastik untuk tempat sampah. Kami mengimbau pengunjung tidak membuang sampah sembarangan dan wajib membawa kantong plastik berisi sampah saat turun atau pulang,” tuturnya.
Kepala Desa Paau Najmianor mengatakan, Batu Balian merupakan salah satu obyek wisata unggulan Desa Paau untuk menarik wisatawan. Batu Balian juga menjadi semacam ”pintu gerbang” menuju obyek wisata alam lainnya di Paau, seperti air terjun atau Mandin Penyaluhan dan puncak Gunung Haur Bunak dengan ketinggian 1.141 meter di atas permukaan laut (mdpl).
”Pengelolaan obyek wisata Batu Balian dipercayakan kepada Pokdarwis. Kami berharap kunjungan wisatawan terus meningkat sehingga perekonomian masyarakat juga turut meningkat,” katanya.
Menurut Najmianor, pengembangan obyek wisata Batu Balian masih memerlukan dukungan dari pemerintah kabupaten dan provinsi. Salah satunya untuk perbaikan akses menuju lokasi wisata. ”Infrastrukturnya perlu dibenahi supaya aksesnya lebih nyaman,” ujarnya.
Baca juga: Menjaga Kelestarian Alam lewat Tradisi Seserahan Hutan
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalsel Muhammad Syarifuddin mengatakan, Paau sangat potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata berkelas nasional dan dunia. Desa tersebut sudah bisa memadukan wisata alam dengan wisata budaya.
”Kami akan memasukkan acara adat Seserahan Hutan di Paau dalam kalender pariwisata Kalsel. Nanti, apa saja yang perlu dikembangkan sesuai usulan desa akan kami bahas dan kerjakan bersama dinas terkait,” katanya.