Industri Manufaktur Mulai Pulih meski Harga Kontainer Melambung
Ocean freight atau tarif pengiriman lewat laut melonjak hingga lebih dari 300 persen sejak beberapa bulan terakhir. Akibatnya, kontainer sulit dicari. Barang-barang yang seharusnya segera diekspor pun menumpuk.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Industri manufaktur di Jawa Tengah mulai pulih setelah dihantam pandemi Covid-19 sejak 2020. Para pembeli dari luar negeri juga mulai kembali. Namun, di saat bersamaan ocean freight atau tarif pengiriman lewat laut melambung tak terkendali.
Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP Apindo) Jateng, Frans Kongi, Jumat (1/10/2021), mengatakan, kinerja industri manufaktur memang belum seperti 2019. Namun, setidaknya saat ini sudah jauh lebih baik. Pasar ekspor membaik.
”Pasar-pasar di luar negeri atau mitra dagang sudah mulai kembali meskipun ada PPKM dalam beberapa bulan terakhir. Dengan menurunnya kasus Covid-19 menjadi momentum,” ujar Frans.
Namun, masih ada rintangan menghadang. Ocean freight atau tarif pengiriman lewat laut melonjak hingga lebih dari 300 persen sejak beberapa bulan terakhir. Akibatnya, kontainer sulit dicari. Barang-barang yang seharusnya segera diekspor pun banyak menumpuk di gudang.
Frans menuturkan, telah menyampaikan keluhan para pengusaha itu kepada pemerintah. ”Kami juga sudah berdiskusi dengan Kemenko Kemaritiman dan Investasi. Dengan wewenang yang lebih luas, kami harap pemerintah bisa membantu. Pemerintah juga mesti bersiap untuk punya perusahaan perkapalan besar. Selama ini kita bergantung pada shipping-shipping luar negeri,” ujarnya.
Pasar-pasar di luar negeri atau mitra dagang mulai kembali meskipun ada PPKM dalam beberapa bulan terakhir. Dengan menurunnya kasus Covid-19, menjadi momentum. (Frans Kongi)
Dari pantauan pada akhir Agustus 2021, sejumlah pelaku usaha furnitur di Kabupaten Jepara mengeluhkan menumpuknya barang siap ekspor di gudang. Para pembeli (buyer) meminta barang jangan dikirim dulu karena lonjakan ocean freight. Akibatnya, arus kas tersendat.
Kendati minimnya kontainer menjadi urusan pembeli, jika berkepanjangan, akan berdampak bagi pelaku usaha. ”Jadi, barangnya ada, tetapi uangnya belum ada. Kalau kondisi seperti ini terus bahaya. Buyer kelas menengah ke bawah bisa berhenti karena takut tidak bisa menjual,” ujar pemilik Jepara Asia Mas Furniture (JAMF).
Fluktuasi
Pemilik sekaligus Direktur PT Modatama Global Logistik, perusahaan jasa pengurusan ekspor-impor di Jepara, Chairul Anwar, mengemukakan, fluktuasi kali ini lain dari sebelumnya. ”Kenaikan terus bertahap. Setiap dua minggu biaya naik berkisar 1.000-2.000 dollar AS. Padahal, saat normal, kenaikan paling besar paling 500 dollar AS,” katanya.
Terkait pembangunan industri di Jateng, Frans optmistis akan berjalan dengan baik. Dengan intervensi pemerintah, sejumlah hal yang selama ini mendera, salah satunya penyediaan lahan, mulai terjawab. Di antaranya dengan dibangunnya Kawasan Industri Terpadu Batang yang saat ini jalan terus.
Tidak hanya di jalur pantura, pengembangan kawasan industri juga ke bagian selatan Jateng. ”Nantinya, Jateng akan sangat seksi untuk investasi. Dari dulu kami mengeluh dan sekarang (pemerintah) sudah menyadari bahwa kita perlu siapkan lahan-lahan industri,” ujarnya.
Tantangan lain dalam industri manufaktur di Jateng adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Pada industri garmen misalnya, yang menjadi salah satu andalan di Jateng. Meski mulai ada pembuatan seperti serat poliester, kapas masih harus impor.
”Kami sudah meminta kepada pemerintah agar bisa membangun industri bahan baku. Perlu, misalnya, pemberian stimulus kepada investor, misalnya pembebebasan pajak selama lima tahun agar menarik. Sebab, memang membuat pabrik bahan baku ini mahal,” ujar Frans.
Head of Sales and Marketing PT Kawasan Industri Kendal Juliani Kusumaningrum, selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, mengatakan, sebagian besar industri di KEK Kendal berorientasi ekspor. Utamanya di bidang mode, seperti tekstil, apparel, dan rantai pasok industri sepatu.
Selain itu, industri di bidang elektronik, peralatan rumah tangga (home and appliances), dan fiber optik. Juga, ada industri pendukung atau untuk pengemasan (packaging), seperti karton dan lainnya.
Lantaran berstatus KEK, industri-industri manufaktur di dalamnya, yang memang bergantung impor pada sejumlah bahan baku, mendapat relaksasi bea masuk. ”Pembebasan bea masuk menjadi kelebihan sendiri,” ujar Juliani.
Selain itu, bantuan untuk mendapat tax holiday bagi pelaku usaha juga akan menjadi daya tarik. Juliani mencontohkan, nilai investasi Rp 100 miliar-Rp 500 miliar akan dibebaskan dari Pajak Penghasilan badan selam 10 tahun. Kemudian, pada tahun ke-11 dan ke-12 diberi kelonggaran 50 persen.
”Sudah ada tujuh perusahaan yang sudah apply tax holiday. Untuk persetujuannya, semoga tidak lama lagi keluar,” ucap Juliani.
Nilai investasi di KEK Kendal saat ini ialah Rp 21,5 triliun atau naik 14 persen dari 2020. Kini, mayoritas pelaku usaha (49 persen) dari Indonesia dan sisanya, antara lain, China, Taiwan, Hong Kong, dan negara-negara tetangga lainnya. Dari 1.000 hektar lahan di KEK Kendal, occupancy sudah 46,5 persen.