Jerat Korupsi di Balik Mangkraknya Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang
Masjid Raya Sriwijaya yang digadang-gadang menjadi salah satu masjid termewah di Indonesia kini nasibnya merana. Hanya menjadi onggokan bangunan yang keropos di setiap sudutnya. Kemana perginya dana hibah?
Dirintis sejak 2014, pembangunan Masjid Raya Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, hingga kini masih mangkrak. Digadang-gadang sebagai masjid terbesar dan termegah di Sumsel, pembangunannya terkendala anggaran, pusaran kasus korupsi, dan sengkarut lahan.
Supriadi (28) tertidur lelap di atas tikar lusuh di dalam bangunan mangkrak Masjid Raya Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (29/9/2021). Kepalanya ditopang dengan tas biru miliknya ditemani sebuah gitar yang ia pungut dari hasil memulung.
Di samping gitar, terpajang karung putih yang selalu ia bawa ketika sedang bekerja. Genap tiga bulan dia tinggal di ”rumah barunya” itu, setelah terusir dari bawah Jembatan Musi IV, Palembang, tempatnya bernaung dulu.
Supriadi sengaja tidur di bagian belakang masjid agar tidak terlihat oleh orang yang kerap datang. Mereka yang datang bukan hanya petugas, melainkan sekelompok remaja yang berkunjung untuk memereteli ornamen bangunan yang masih tertinggal.
”Mereka mengambil besi-besi yang masih tersisa dari bangunan ini,” kata Supriadi tak lama setelah terjaga. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jumlah mereka cukup banyak.
Ia memilih tinggal di belakang bangunan hanya bagian itu yang dirasa nyaman. Sementara di bagian depan bangunan sudah tergenang air bercampur lumut, dihiasi serakan sampah plastik, serta onggokan kayu dan tripleks.
Kondisi Masjid Raya Sriwijaya yang telantar tak lain akibat salah kelola oleh para pembangunnya. Masjid benilai Rp 130 miliar itu pun kini hanya berupa fondasi bangunan berlantai dua dengan tegaknya beberapa tiang beton. Sejumlah bagian ruang pun tampak keropos dengan atap yang bolong.
Proyek mangkrak ini kian memprihatinkan dengan tutupan ilalang yang menjulang di sekeliling bangunan. Walau tidak laik, bagi Supriadi, masjid yang belum tuntas ini, merupakan tempat yang bisa ditinggali, setidaknya untuk berteduh dari sengatan terik matahari dan guyuran hujan.
Baca Juga: Alex Noerdin: Dana Hibah Masjid Sriwijaya Umpan demi Bantuan Asing
Sejak dibangun pada 2015, Masjid Raya Sriwijaya digadang-gadang bakal menjadi masjid yang paling megah di Sumatera Selatan bahkan untuk ukuran nasional. Ide pembangunan masjid itu muncul dari sejumlah tokoh nasional asal ”Bumi Sriwijaya” yang memang menginginkan adanya ikon baru di Kota Palembang
Tak mengherankan, Alex Noerdin yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Sumsel selalu antusias mempromosikan kemegahan masjid tersebut di setiap pertemuan, bersanding dengan promosi Asian Games 2018 di mana Palembang menjadi tuan rumah mendampingi Jakarta. Masjid yang ia pamerkan di setiap pertemuan itu baru berupa rancangan animasi.
”Masjid ini akan menjadi salah satu yang termegah di Indonesia bahkan mungkin di Asia Tenggara,” kata Alex kala itu.
Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Selasa (28/9/2021), Alex tetap meyakini, Masjid Raya Sriwijaya bukan sekadar tempat ibadah biasa melainkan menjadi tempat bagi mereka yang haus tentang ilmu keislaman karena di kawasan yang sama juga akan dibangun Islamic Center.
Itulah alasan mengapa Alex berkeras untuk menempatkan Masjid Raya Sriwijaya di Kawasan Jakabaring, dekat dengan Kampus B Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Masjid ini akan menjadi salah satu yang termegah di Indonesia bahkan mungkin di Asia Tenggara. (Alex Noerdin)
Lokasi itu jauh dari rencana awal, yakni di Jalan Bypass Soekarno Hatta, tempat di mana keluarga mendiang Hatim Lutfi menghibahkan lahan seluas 10 hektar untuk pembangunan masjid.
Kebetulan, di Jakabaring Palembang ada tanah milik pemprov seluas 15 hektar yang masih lowong. ”Setelah diperiksa bahwa lahan itu clean and clear, saya putuskan untuk menjadi tempat pembangunan Masjid Raya Sriwijaya,” kata Alex. Walau pada kenyataannya, enam hektar di antarnya diketahui kemudian berstatus sengketa karena diklaim oleh beberapa warga.
Biaya tinggi
Tantangan lain pun datang ketika, konsultan pemenang lelang menaksir biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan masjid cukup besar yakni mencapai Rp 668 miliar. Namun, di balik kesulitan itu, ada secercah harapan karena adanya bantuan dari Pemerintah Arab Saudi dan sejumlah negara di Timur Tengah.
Hanya, bantuan baru bisa mengalir jika pembangunan masjid telah ada wujudnya. Itulah sebabnya Alex mengusulkan untuk menggunakan dana hibah sebagai pancingan agar bantuan itu dapat direngkuh. Usulan tersebut kemudian dibahas dengan DPRD Sumatera Selatan.
Di sisi lain, dibentuklah Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya untuk mengelola bantuan yang datang termasuk mengawasi proses pembangunan hingga tuntas. Sebagai payung hukum, diterbitkan juga Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Selatan No 13 Tahun 2014 tentang Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Di situ disebutkan dana pembangunan bisa diperoleh dari sejumlah sumber, seperti APBN, APBD, dan pihak ketiga.
Baca Juga: Alex Noerdin Jadi Tersangka Korupsi Pembelian Gas Bumi
Sementara untuk pengerjaan proyek diserahkan kepada Panitia Pembangunan Masjid Sriwijaya termasuk dengan pihak kontraktor pemenang lelang, yakni Kerja Sama Operasi (KSO) PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya.
Pembahasan antara pihak legislatif dan eksekutif menghasilkan kesepatakan dana awal untuk membiayai pembangunan Masjid Raya Sriwijaya berasal dari dana hibah APBD yang dialokasikan dalam dua tahap, yakni pada 2015 sebesar Rp 50 miliar dan tahun 2018 sebesar Rp 80 miliar.
Untuk mempercepat pembangunan, Alex menyarankan agar jajarannya mengalokasikan dana sekitar Rp 100 miliar per tahun selama empat tahun beturut-turut. ”Itu hanya saran bukan perintah,” kata Alex. Akan tetapi, proses pencairan masih harus didasari atas persetujuan dari DPRD Sumsel dan disesuaikan dengan kemampuan daerah.
Dalam pelaksanaan pembangunan, Alex menerangkan, semua sudah diserahkan kepada penerima hibah dalam hal ini Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya. ”Tugas pemerintah hanya sampai pada penyaluran dana hibah. Yayasan pun tidak perlu mempertanggungjawabkan dana tersebut,” katanya.
Hanya, sesekali Alex menanyakan perkembangan pembangunan kepada panitia pembangunan. Dalam laporan terakhir di tahun 2018, progres pembangunan sudah mencapai 19 persen dari rancangan yang telah dibuat. ”Saya tidak menyangka, proyek ini akan berhenti,” kata Alex.
Kehabisan dana
Mantan Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Marwah M Diah menerangkan terhentinya proses pembangunan masjid disebabkan karena tidak adanya dana tepatnya pada akhir 2018. Dia pun mengaku terakhir melihat wujud masjid pada tahun 2018, sudah pada kondisi yang tidak lagi terurus.
Hal inilah yang membuat penyidik Kejaksaan Tinggi Sumsel menelusuri adanya penyimpangan dalam pembangunan Masjid Sriwijaya. Bahkan, kerugian yang ditanggung negara mencapai Rp 130 miliar atau total lost.
Tak ayal semua pihak yang terlibat menjalani pemeriksaan, sampai pada Maret 2021, Kejaksaan Tinggi Sumsel menetapkan Eddy Hermanto sebagai tersangka pertama dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan sampai pada Alex Noerdin yang menjabat sebagai Gubernur Sumsel. Total ada sembilan tersangka, enam di antaranya sudah diajukan ke meja hijau.
Keenam orang tersebut adalah Ketua Umum Panitia Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Eddy Hermanto, Project Manager PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya Yudi Arminto, Ketua Panitia Divisi Lelang pembangunan masjid Sriwijaya Syarifudin, dan Kerjasama Operasional (KSO) PT brantas Abipraya-PT Yodya Karya, Dwi kridayani. Adapun dua orang lagi adalah Mantan Sekda Sumsel Mukti Sulaiman dan Mantan Kabiro Kesra Pemprov Sumsel Ahmad Nasuhi.
Persidangan keenam terdakwa ini masih terus berlangsung dan dalam tahap mendengarkan keterangan para saksi. Sementara untuk tiga orang lagi yakni Alex Noerdin. Muddai Madang, dan Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Laonma P Lumban Tobing masih berstatus tersangka.
Aliran dana
Bendahara Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Muddai Madang mengutarakan setelah mendapatkan dana dari pemerintah, pihaknya langsung menyalurkannya kepada pihak kontraktor.
Untuk tahap pertama, uang digunakan untuk uang muka pembangunan, yakni sebesar 10 persen dari total biaya dan juga untuk membayar konsultan. Namun, untuk aliran dana kedua, Muddai tidak tahu banyak karena pada tahun 2018, dia tidak lagi menjabat sebagai bendahara.
Jaksa Penutut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Roy Riyadi menilai, apapun alasannya, pihaknya menemukan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan dana hibah sehingga proses pembangunan tidak berjalan lancar.
Mulai dari banyak prosedur yang dilanggar hingga adanya kemungkinan suap dalam proses tersebut. Terkait prosedur yang dilanggar, jelas Roy, terlihat dari penyaluran dana hibah yang diberikan pada yayasan yang tidak berdomisili di Sumatera Selatan.
Sekretariat Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya memang berada di luar Sumsel tepatnya Kebayoran Baru, Jakarta. Sekretariat yayasan tidak lain adalah rumah milik bendahara yayasan, Muddai Madang. Walau pada kesempatan tersebut Muddai menjelaskan, penetapan sekretariat yayasan di Jakarta didasari karena mulai dari pembina hingga pengurus kebanyakan tinggal di Jakarta.
Roy juga memaparkan adanya dugaan suap dari kasus ini dimana Alex yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus ini, menerima suap dari pihak kontraktor berupa uang sebesar Rp 4,9 miliar dan biaya untuk menyewa helikopter sebesar Rp 300 juta. Kabar ini pun langsung dibantah Alex. ”Saya tidak menerima (dana) itu. Kabar dari mana?” tanya Alex.
Di tengah polemik yang terjadi, menurut Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumsel Nunik Handayani, harus ada pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini. Menurut Nunik, pihak yang paling bertanggung jawab adalah Alex Noerdin yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan. ”Khusus untuk dana hibah semua atas dasar kewenangan dari kepala daerah,” jelas Nunik.
Sebenarnya dari awal, Nunik sudah mencurigai adanya ketidakberesan dalam penyaluran dana hibah. Lantaran penyaluran dana hibah dilakukan dua kali dengan yayasan yang sama. Penyelewengan ini pun sudah terendus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Anehnya, tidak ada tindak lanjut dari penegak hukum di daerah untuk memperkarakan kasus ini. ”Karena itu, saya mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung untuk mengungkap kasus ini lebih jauh,” ujarnya.
Menurut Nunik, selain dana untuk pembangunan infrastruktur, dana hibah, dan bantuan sosial menjadi pos yang paling rentan diselewengkan. Itu karena dalam penggunaannya tidak perlu dipertanggungjawabkan oleh penerima hibah.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian bagi para pembuat dan pengawas kebijakan untuk berbenah mulai memperhatikan aliran dana hibah. ”Jangan sampai uang rakyat diselewengkan untuk kepentingan pribadi segelintir kelompok,” katanya.
Apa pun, semua dana yang ada di dalam anggaran daerah, termasuk dana hibah, harus dipertanggungjawabkan penggunaannya karena itu adalah uang rakyat, termasuk uang dari Supriadi yang berteduh di dalam bangunan mangkrak Masjid Raya Sriwijaya.