Jalan Panjang Penanganan Pascabencana Palu dan Nasib Mitigasi
Bencana besar yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala tiga tahun lalu masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Semua pihak harus bekerja keras.
Tiga tahun pascagempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, terutama di Kota Palu, penanganannya masih tertatih-tatih. Dibutuhkan kerja keras semua pihak agar penyintas tak terus berada dalam ketidakpastian. Kondisi ini sekaligus menjadi pelajaran penting perlunya kesigapan menghadapi risiko bencana serupa pada masa mendatang.
Selasa (28/9/2021) siang, Indah (40) semringah bercerita tentang hunian tetapnya. ”Rumahnya bagus, nyaman. Saya bersama anggota keluarga sangat senang setelah lama tinggal hunian sementara,” ujar ibu dua anak itu ditemui di depan hunian tetap (huntap) di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Bagian depan huntap itu didominasi cat hijau tua, penanda khas huntap di Blok 40 dari blok lain. Bangunan huntap berukuran 6 meter x 6 meter dengan luas lahan 150 meter persegi. Ada tanaman hias di depan huntap yang belum lama ditanam Indah. Untuk sekadar santai, ia membangun pondok kecil di sisi kanan depan huntap.
Sisanya, 2.500 huntap untuk Kota Palu dibekukan karena masalah status lahan untuk pembangunan huntap belum kelar.
Indah menempati huntap penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi tersebut pada awal Mei 2021 setelah tinggal di hunian sementara di Kelurahan Balaroa, sekitar 1 kilometer dari lokasi huntap. Huntap itu bagian dari 1.679 huntap yang telah dibangun pemerintah untuk penyintas di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala.
”Saya berharap warga lain juga cepat menempati huntap seperti saya,” ujarnya yang bersama dua anak dan suaminya selamat dari likuefaksi di Balaroa saat gempa besar tiga tahun lalu itu.
Baca juga : 3.250 Hunian Tetap Penyintas di Sulteng Belum Dibangun
Harapan Indah untuk penyintas lain segera tinggal di huntap seperti dirinya barangkali doa yang entah sampai kapan dikabulkan. Masih banyak penyintas tak seberuntung Indah. Ribuan penyintas di Kota Palu dan Donggala masih tinggal di hunian sementara (huntara).
Huntara berbentuk rumah panggung dengan lantai dan dinding dari papan lapis. Setiap kaki melangkah, lantai huntara berderak-derak. Semua fasilitas umum, antara lain kamar kecil, kamar mandi, dan dapur, dipakai bersama dengan warga lain penghuni huntara. Persoalan privasi ini belum ada solusinya,
Gempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Gempa itu menewaskan sedikitnya 4.000 orang dan merusak 110.000 rumah. Kota Palu merupakan daerah dengan dampak terparah karena dilanda tiga jenis bencana, yakni gempa, tsunami, dan likuefaksi. Dua daerah lain dilanda dua dari tiga bencana tersebut.
”Kami hanya bisa bersabar menunggu, tapi tolong pemerintah pastikan dan kerja cepat agar huntap segera dibangun,” ujar Sunarti (40), penyintas likuefaksi yang menempati huntara Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.
Berdasarkan data Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II, sebanyak 3.250 huntap belum terbangun. Sebanyak 750 unit untuk Kabupaten Donggala saat ini dilelang. Sisanya, 2.500 huntap untuk Kota Palu dibekukan karena masalah status lahan untuk pembangunan huntap belum kelar.
Huntap yang telah dibangun dan ditempati mencapai 1.679 unit yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Selain di Kelurahan Duyu seperti yang ditempati Indah, huntap lain yang telah dibangun dan dihuni ada di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, dan sejumlah lokasi di utara Kabupaten Donggala.
Berdasarkan proyeksi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun 8.700 huntap di Sigi, Donggala, dan Palu dengan skema relokasi kawasan (komunal) dan relokasi mandiri (di lahan milik penyintas). Jumlah tersebut di luar huntap yang telah dibangun oleh sejumlah lembaga sosial dengan jumlah tak kurang dari 2.000 unit dan telah ditempati.
Belum dibangunnya huntap di Palu terkait dengan masalah klaim lahan. Dalam dua tahun terakhir, Pemerintah Kota Palu tak kunjung merampungkan masalah klaim dari sejumlah warga sekitar lokasi pembangunan huntap di Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise Valangguni.
Masalah tersebut pernah dikatakan beres pada pertengahan Juni 2021 dan karena itu proyek huntap segera dilelang, tetapi ternyata status lahan belum benar-benar kelar. Wali Kota Palu Hadianto pun menjanjikan lagi masalah tersebut segera diselesaikan sehingga lelang untuk pembangunan huntap di Tondo dan Talise, dengan perkiraan jumlah huntap 1.500 unit, dilakukan pada Oktober.
Pemerintah punya semua daya untuk menyelesaikan masalah huntap ini secepatnya.
Penyelesaian masalah lahan huntap sejak adanya klaim warga pada awal 2020 itu tampak berlarut-larut. Skema konsolidasi lahan yang dituntut warga yang mengajukan klaim kepada pemerintah juga tak terwujud dengan cepat.
”Pemerintah harus cari jalan terbaik dan segera agar kami tidak terus menunggu. Setelah tiga tahun, mungkin empat tahun nanti. Pemerintah punya semua daya untuk menyelesaikan masalah huntap ini secepatnya,” kata Ratih (62), penyintas likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan.
Berlarut atau tertatihnya pemerintah menyediakan kebutuhan penyintas sudah terjadi sejak awal bencana. Di luar karut-marut penanganan darurat dengan banyaknya penyintas yang tak kebagian bantuan sembako sampai menulis dalam berbagai nada di pinggir jalan, tak beresnya penanganan juga terjadi pada saat penyediaan huntara, hunian transisi bagi warga sebelum menempati huntap.
Pemerintah saat itu melalui Kementerian PUPR menjanjikan huntara rampung dengan total 600 unit atau 7.200 bilik pada akhir Desember 2018. Faktanya, hingga awal Januari 2019, baru tersedia 194 unit. Huntara secara umum baru rampung dan ditempati penyintas pada pertengahan 2019.
Data kerusakan rumah dengan dampak pada klaim dana stimulan untuk perbaikan rumah rusak yang tak direlokasi pun hingga saat ini belum juga beres. Saat ini, Pemerintah Kota Palu masih mendistribusikan dana stimulan untuk 17.000 keluarga. Tak hanya itu, masih ada 5.000 data susulan yang perlu diusulkan lagi ke Kementerian Keuangan agar diakomodasi.
Baca juga : Sengkarut Lahan Hunian Tetap Penyintas Gempa Palu
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Presly Tampubolon menerangkan, pihaknya memverifikasi data secara cermat agar tak terjadi data ganda dan salah sasaran. Proses tersebut cukup panjang dan menguras energi. Selain itu, lanjutnya, pemerintah tak mengunci data sehingga penyintas bisa melaporkan data setiap saat. Ini penting agar setiap penyintas terpenuhi haknya.
Namun, tak kelarnya data hingga saat ini tentu dengan gamblang mengungkap lambatnya kinerja pemerintah. Masalah data tersebut sebetulnya sudah diingatkan pada saat satu tahun gempa berlalu. Namun, tak ada perubahan berarti sampai masih belum terdata dan tersalurkannya sebagian dana stimulan kepada penyintas.
Presly mengakui, penanganan pascabencana merupakan urusan bersama banyak pihak karena banyak kewenangan yang bersinggungan. ”Semua pihak terkait harus selalu berjalan beriringan agar terjadi percepatan. Ini kita harus duduk bersama agar masalah-masalah penanganan pascabencana bisa dibahas bersama. Saya telah mengusulkan agar ada pertemuan berseri, misalnya setiap tiga bulan, untuk membahas masalah yang muncul,” katanya.
Pemerintah diharapkan segera berbenah agar masalah pascabencana, terutama penyediaan huntap yang menjadi kebutuhan utama penyintas saat ini, segera terwujud. Evaluasi rutin penanganan pascabencana perlu sesering mungkin digelar agar masalah-masalah yang muncul bisa diatasi segera.
Mitigasi
Aspek lain lagi yang juga krusial dengan becermin pada hancurnya Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala akibat gempa tiga tahun lalu adalah upaya mitigasi (pengurangan risiko) gempa dan tsunami. Sejauh ini, hal itu belum terlalu tampak di lapangan. Ada kegiatan sosialisasi dan simulasi untuk menghadapi gempa dan tsunami, tetapi dilakukan secara sporadis.
Pemerintah barangkali masih fokus pada mitigasi struktural dengan pembangunan infrastruktur, seperti rumah atau huntap tahan gempa. Ada pula tanggul, yang bersama dengan sejumlah elemen lain, digadang-gadang bisa meredam tsunami di Teluk Palu.
Padahal, menurut pegiat literasi Sulteng, Neni Muhidin, upaya mitigasi nonstruktural (sosialisasi, simulasi, dan pelatihan) bisa dilakukan seiring dengan kegiatan pascabencana. Penanganan pascabencana seharusnya menjadi persiapan untuk menghadapi bencana (prabencana) melalui sosialisasi, simulasi, dan pelatihan di masyarakat. Hal ini dengan sendirinya menjadi bekal untuk masa tanggap darurat.
Presly menyatakan, sosialisasi dan simulasi untuk mitigasi tak berjalan maksimal karena pandemi Covid-19. Selama ini, pihaknya bermitra dengan berbagai pihak untuk menggelar kegiatan mitigasi dalam skala kecil.
Baca juga : Mitigasi Bencana, Harga Mati untuk Palu
Mitigasi menjadi agenda penting ke depan berdasarkan pengalaman kehancuran pada 28 September 2018. Pemerintah Kota Palu bermitra dengan lembaga sosial untuk membentuk forum pengurangan risiko bencana serta mengkaji berbagai regulasi agar disesuaikan dengan kebutuhan mitigasi. Dunia pendidikan nantinya dilibatkan agar pemahaman mitigasi menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi.
Salah satu titik kritis mitigasi bencana yang harus segera ditangani saat ini adalah kembali ditempatinya zona merah yang seharusnya bebas hunian (rumah), baik di pantai maupun sempadan sesar. Di pantai, kawasan yang dulu disapu tsunami dan mestinya bebas dari hunian sudah kembali ditempati. Hal itu terlihat di Kelurahan Mamboro dan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu. Pemandangan sama juga ada di sejumlah lokasi pantai di Kecamatan Banawa, Donggala.
Warga beralasan, lokasi rumah lama mereka terkait dengan mata pencarian sebagai nelayan. ”Bagaimana, saya nelayan, tetapi jauh dari laut,” ujar Robi (42), warga Mamboro yang rumahnya hanya berjarak 40 meter dari bibir pantai. Di kawasan itu, tsunami tiga tahun lalu melanda hingga 100 meter dari bibir pantai.
Presly sepakat, kembali ditempatinya zona merah perlu segera ditangani agar tak menjamur di kemudian hari dan menjadi masalah besar untuk konteks mitigasi. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk menangani masalah tersebut.
Baca juga : Mereka Kembali ke Zona Merah
Harus kosongnya zona merah, termasuk daerah bekas tsunami, diingatkan lagi oleh Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari. Berdasarkan kejadian lalu, waktu tiba tsunami ke darat sangat cepat, yakni 3-4 menit setelah gempa. Kecepatan tersebut melebihi kecepatan sistem peringatan dini yang setidaknya membutuhan waktu 5 menit. Dengan demikian, tak banyak waktu bagi warga untuk menjauhi pantai setelah gempa.
”Keanehan” lain lagi dari tsunami Palu adalah gempa pemicunya berlangsung tidak sampai 20 detik seperti yang umumnya menjadi acuan selama ini. Gempa di Palu kurang dari 20 detik. Ini karena Sesar Palu-Koro berkarakter geser, bukan sesar naik. Untuk Palu, tsunami bukan karena gempa, melainkan karena longsor di dalam laut dari kuatnya guncangan gempa sehingga memicu pergerakan air laut.
”Mau tidak mau sempadan pantai (yang ditetapkan sebagai zona merah) harus dikosongkan, dalam arti tidak untuk hunian. Untuk hotel, restoran, tempat usaha, bisa. Namun, menyesuaikan kondisi kerentanan tsunami. Misalnya, untuk hotel, dua lantai bawahnya kosong, selebihnya bisa untuk diisi. Kalau ada kejadian, orang bisa naik ke lantai atas. Tentu saja bangunan harus tahan gempa. Intinya, sempadan pantai tidak untuk kegiatan menerus, sepeti hunian,” ujar Abdul.
Dia menyatakan, di pantai sekitar Teluk Palu dapat dibangun struktur untuk meredam tsunami. Kombinasi struktur sistem tanggul laut dengan rekayasa vegetasi bisa dilakukan. Sejumlah lokasi dengan vegetasi yang baik saat tsunami lalu bisa meredam tsunami. Di Teluk Palu, vegetasi laut atau mangrove akan ditanam di depan tanggul di Kelurahan Silae. Ia meminta semua pihak mengawal rencana tersebut karena vegetasi terbuka bisa meredam energi tsunami.
Baca juga : Mekanisme Tsunami Palu Terungkap dari Media Sosial
Selain itu, ia mengusulkan agar titik evakuasi menghindari tsunami di Teluk Palu diperbanyak, misalnya dengan pembangunan jembatan penyeberangan di pertigaan atau persimpangan jalan yang tak terlalu jauh dari pantai. Jembatan tersebut bisa berfungsi sebagai tempat evakuasi saat terjadi tsunami (tsunami deck). Konstruksi jembatan harus tahan gempa. Jembatan penyeberangan untuk evakuasi tsunami berfungsi baik saat tsunami pada 2011 di Jepang.
Abdul mengingatkan, gempa dan tsunami adalah kejadian berulang. Untuk konteks Sesar Palu Koro yang memicu gempa di Donggala, Palu, dan Sigi selama ini, berdasarkan data yang ada, siklus gempa kuat yang diikuti tsunami sekitar 30 tahun. Ini harus menjadi perhatian semua pihak untuk memperkuat mitigasi.
Bencana tiga tahun lalu harus menjadi pembelajaran untuk memperkuat mitigasi menghadapi bencana serupa di masa depan. Setiap nyawa yang terenggut oleh bencana bukanlah statistik, melainkan tragedi kemanusiaan.