Senja Kala Apel-apel Kota Batu
Hama penyakit hingga biaya perawatan tidak sebanding dengan penghasilan.
Sepetak lahan apel di tepi jalan alternatif Batu-Mojokerto di Jawa Timur, Senin (20/9/2021), terlihat gundul, menyisakan tunggul-tunggul akar tanaman yang masih segar. Di sudut lain, batang apel potongan pendek-pendek ditumpuk.
Warga di sana menuturkan, lahan apel itu dibongkar untuk peremajaan dan sebagian lain akan diganti sayuran. Langkah itu ditempuh karena bertanam apel tak lagi menguntungkan.
Tidak jauh dari lahan itu, masih di kawasan antara Desa Tulungrejo dan Sumberbrantas di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, beberapa lahan apel terlihat tak dirawat. Tanamannya kerdil dan berbuah jarang-jarang. Bahkan, sebagian tanaman harus berebut makan dengan semak belukar.
Bergeser ke daerah yang elevasinya lebih bawah di Dusun Wonorejo RW 012, Desa Tulungrejo, apel-apel membusuk menggantung di ranting. Pemilik lahan enggan memetik dengan alasan selama pandemi harga apel rendah dan tidak sebanding dengan biaya produksi.
Jika kondisi ini tidak ditangani, bukan tidak mungkin produksi apel di Batu yang pernah jaya akan terus merosot. Memang tidak semua lahan kurang terawat. Ada juga lahan yang terawat dan berproduksi bagus, seperti di kawasan Tulungrejo yang menjadi lokasi wisata petik apel.
Data statistik hortikultura Badan Pusat Statistik (BPS), lima tahun terakhir (2014-2019), tren grafik produksi apel di Batu cenderung turun, termasuk tahun 2020.
Jika tahun 2014 produksi apel 71.599 ton, pada 2015 turun menjadi 67.120 ton, tahun 2016 sebanyak 54.122 ton, pada 2017 naik 55.891 ton, lalu tahun 2018 turun jadi 54.532 ton, pada 2019 sejumlah 50.525 ton, dan pada tahun 2020 sebanyak 23.176 ton. Sebelumnya, pada 2010 dan 2013 produksi sempat tinggi, masing-masing 84.279 ton dan 83.891 ton.
Saat ini luas lahan apel di Batu menyisakan sekitar 1.000 hektar dengan jumlah 1,2 juta pohon. Bandingkan dengan tahun 1980, masa jaya apel, ketika luas lahan apel di Batu mencapai 2.000 hektar dengan jumlah pohon kala itu 5,4 juta batang.
Baca juga: Petani Apel di Batu Terimpit Cuaca dan Harga Rendah
Sugeng Slamet, salah satu petani sekaligus pengepul apel di Desa Bulukerto, mengatakan, produktivitas petani saat ini maksimal 15 ton per hektar dari idealnya 30-35 ton per hektar. Tidak hanya produktivitas, lahan apel juga menyusut tinggal sekitar 30 persen dari puncak kejayaan apel empat dasawarsa lalu.
Masalah terkini
Fakta sekarang tidak lepas dari kegundahan petani. Permasalahan itu, antara lain, harga jual buah yang tidak sebanding dengan ongkos perawatan, penyakit tanaman, tanaman menua, unsur hara menipis, dan perubahan lingkungan.
”Hasil jual apel terkadang hanya mampu menutup seperempat-separuh dari biaya perawatan. Dalam 20 tahun terakhir harga apel tertinggi Rp 35.000 per kilogram tahun 2012. Setelah itu rata-rata di bawah Rp 15.000 per kilogram. Selama pandemi harga anjlok. Ada yang Rp 3.000-Rp 4.000 per kg. Sekarang (harga) membaik, Rp 8.000 per kg,” ujarnya.
Sebagai gambaran, ongkos perawatan tanaman apel Rp 25 juta hingga Rp 30 juta per hektar. Jika kondisi apel bagus, petani bisa meraup Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per musim panen. Namun, jika tanaman tidak dirawat, mereka dipastikan merugi. Petani yang merugi tiga musim berturut-turut dipastikan tidak akan mampu merawat tanaman pada musim keempat karena modal habis. Satu siklus apel berbuah butuh waktu 5-6 bulan.
Jika sudah begitu, yang bisa dilakukan petani hanya membiarkan lahannya, menyewakan kepada orang lain, atau membongkar tanaman untuk diganti dengan komoditas lain, bahkan dijual kepada mereka yang belum tentu punya hasrat dan pengalaman merawat apel. ”Seharusnya pemerintah memiliki kebijakan menentukan harga pokok apel agar petani bergairah,” ucapnya.
Bukan hanya petani di Batu yang menghadapi masalah. Petani apel di Kabupaten Malang juga menemui kendala serupa. Di Malang ada dua kawasan sentra apel, yakni di kaki Gunung Semeru di Kecamatan Poncokusumo, Tumpang, dan Jabung (Malang timur), serta di Kecamatan Pujon (Malang barat) yang berbatasan dengan Batu.
Prawoto (60), petani di Desa Duwet Krajan, Kecamatan Tumpang, menjelaskan, ada beberapa lahan apel yang dibiarkan petani. Bahkan, selama pandemi ada yang diganti dengan tanaman lain. Padahal, Duwet Krajan dan tetangganya, Gubug Klakah, merupakan daerah yang lahan apelnya cukup banyak dibandingkan dengan desa lain di kawasan itu.
”Biaya perawatan mahal. Penyemprotan, misalnya, butuh Rp 600.000 untuk lahan setengah hektar. Padahal, petani biasa menyemprot dua hari sekali saat apel mulai berbunga. Seiring dengan waktu, intensitas penyemprotan berkurang sampai buah siap petik,” ujarnya.
Tren produksi apel di Malang meningkat enam tahun terakhir. Pada tahun 2015 produksi sebanyak 59.461 ton; kemudian 123.148 ton pada 2016; 110.092 ton pada 2017; 140.490 ton pada 2018, 140.617 ton pada 2019; dan 182.129 ton pada 2020.
Adapun secara umum produksi apel di Jawa Timur mencapai 480.834 ton (2019) dan naik menjadi 495.202 ton (2020). Produksi apel terbesar pada 2019 di Kabupaten Pasuruan 289.687 ton, disusul Malang 140.617 ton, dan Batu 50.525 ton, sedangkan tahun 2020 di Pasuruan 289.666 ton, Malang ada 182.129 ton, dan Batu 23.176 ton.
Peneliti Ahli Madya pada Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian Suhariyono mengatakan, beragam masalah menghadang petani apel. Persoalan itu mulai dari biaya perawatan yang tidak sebanding dengan harga jual, serangan penyakit, bahan organik tanah menipis, hingga perubahan lingkungan.
Baca juga: Jaga Kontinuitas Jeruk melalui Bujangseta
”Kondisi apel terpuruk karena adanya wabah penyakit selama satu dekade ini tidak pernah teratasi. Selalu muncul setiap tahun, antara lain kutu sisik. Ini satu dekade tak terselesaikan. Lebih parah lagi pandemi busuk buah apel, sejak 2002 sampai sekarang. Tahun 2009 puncaknya,” katanya.
Suhariyono—yang juga petani apel dan lahir besar dari keluarga petani apel di Batu—mencontohkan, 90 persen hasil panen apel miliknya (dari satu kebun) busuk akibat penyakit pada 2017 itu.
Untuk mengatasi masalah ini, Balitjestro menyarankan semua daun hasil rempes (daun yang dirontokkan) dan buah yang busuk ditimbun di dalam tanah guna memutus rantai penularan. Namun, upaya itu tidak membawa hasil karena petani tidak satu suara. Ada yang melaksanakan saran itu, tetapi tidak sedikit yang abai.
Menurut Suharyono, perkembangan produksi apel cukup pesat di Jawa Timur pada 1984-1988. Tahun 1984 ada 7,3 juta pohon dan pada 1988 ada 9 juta, dengan produksi 146.690 ton (1984) dan 275.065 ton (1988).
Guyuran obat-obatan selama puluhan tahun juga membuat kondisi kesuburan tanah berubah. Unsur hara berkurang. Di sisi lain, pada masa kejayaan apel, petani alpa menambahkan pupuk kandang. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap produktivitas.
Adapun Pemerintah Kota Batu telah memberikan sejumlah bantuan kepada petani untuk memulihkan kondisi organik tanah. ”Sekarang petani mulai sadar, mulai memberikan pupuk kandang, tetapi sudah terlambat,” ucapnya.
Ia membenarkan bahwa lokasi lahan apel juga terus meninggi karena menyesuaikan dengan temperatur. Jika dulu apel banyak ditemui pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl), saat ini bergeser ke ketinggian 900 mdpl dengan kondisi lebih dingin.
”Perubahan lingkungan. Dulu di Batu njediding (dingin menusuk tulang). Sekarang jarang sampai njediding. Suhu naik 0,5 derajat saja apel sudah pindah ke ketinggian 900 mdpl ke atas. Jadi faktor lingkungan, manusia, tanahnya. Tanah yang dulu kawasan apel kini juga menjadi bangunan,” katanya.
Jika masalah itu tidak ditangani serius, Suhariyono memperkirakan keberadaan apel hanya bertahan hingga beberapa tahun ke depan. Saat ini pun buah apel di kebun jarang dan apel impor sudah menyerbu masuk Malang Raya, bersaing dengan apel lokal.
Pemerintah Kota Batu mengaku telah melakukan sejumlah upaya untuk membantu petani. Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso mengatakan, pihaknya berupaya agar apel lestari dan petani bisa eksis. Beberapa upaya itu, antara lain, mewajibkan hotel memanfaatkan apel lokal sebagai suguhan bagi tamu.
”Bahkan, kalau harga hancur, masing-masing staf di Balai Kota diminta untuk membeli apel dari petani. Di samping itu, saya berikan masukan kepada petani agar kerja sama dengan pelaku usaha kecil (UMKM). Di Batu ada sejumlah UMKM berbahan dasar apel. Memang sekarang sedang pandemi, daya serap produk UMKM berkurang,” katanya.
Punjul membenarkan bahwa biaya produksi dan harga jual apel tidak seimbang, selain juga unsur hara tanah yang menyusut. Di lapangan banyak tanaman sudah tua, perlu peremajaan. Untuk mengatasi hal itu, pihaknya bekerja sama dengan instansi terkait, salah satunya Balitjestro.
”Kami melalui Dinas Pertanian bekerja sama dengan Balitjestro menata dan melihat kembali kira-kira mana saja lokasi dan kemiringan tanahnya bisa dipakai untuk mengembangkan apel. Tidak hanya menyuplai bibit dan lainnya, tetapi juga mengedukasi petani tentang bagaimana menanam yang benar,” katanya.
Ia juga berharap petani bisa mengatur pola berbuah apel. Bagaimana mereka bisa menyesuaikan masa berbuah agar kontinuitas terjaga dan tidak bersamaan dengan musim panen buah yang lain. Di tengah berbagai upaya itu, sejumlah petani sudah memilih beralih komoditas, meninggalkan kejayaan buah apel.