Ongkos tinggi bertani yang tak sesuai harga jual panenan, ditambah dampak iklim, membuat sejumlah petani apel di Kota Batu dan Malang beralih bertanam jeruk dan sayuran, bahkan menjual lahan. Luas lahan apel menyusut.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sejuk angin pegunungan saat Sholihin (66) merawat tanaman jeruk manis berumur dua tahun di kaki Gunung Arjuno di wilayah Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu (18/9/2021). Puluhan tahun sebelumnya, lahan itu menghasilkan apel, ikon Kota Batu.
Keputusan Sholihin mengganti tanaman bukan tanpa sebab. Besarnya ongkos perawatan apel adalah pemicunya. Di sisi lain, penjualan hasil panen tak selalu berbuah manis. Mengganti tanaman diyakini merupakan solusi memutus kerugian sekaligus mengungkit asa baru.
”Biaya perawatan apel tinggi,” ujarnya. Lahan apelnya memiliki luas sekitar 1 hektar (ha) yang dipisahkan jalan berbatu. Agar tanamannya berkembang optimal, ia terus menggali ilmu bagaimana merawat tanaman jeruk yang tepat.
Dalam 30 tahun terakhir, sejumlah sentra apel di Batu berubah jadi komoditas lain. Desa Punten, Sidomulyo, Gunungsari, termasuk sebagian Desa Bulukerto, saat ini jadi sentra bunga dan tanaman hias.
Sholihin tidak sendirian. Nur Hasyim (55), petani lain di Sumbergondo, beberapa tahun terakhir mengganti apel dengan sayuran. Saat ini, ia sibuk memelihara brokoli di lahannya yang seluas 0,5 ha.
Biaya pemeliharaan apel yang acap kali tidak sebanding dengan harga jual lagi-lagi menjadi salah satu alasan ia dan petani lain mengganti tanaman. Masalah lain, serangan hama yang sulit ditangani. Nur Hasyim terkadang merugi Rp 20 juta hingga Rp 30 juta dalam sekali musim panen.
Ongkos perawatan tanaman apel berkisar Rp 25 juta hingga Rp 30 juta per ha. Jika kondisi apel bagus, petani bisa meraup Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per musim panen. Namun, jika tanaman tidak dirawat, mereka dipastikan merugi. Petani yang merugi tiga musim berturut-turut dipastikan tak akan mampu lanjut di musim keempat. Modal habis. Satu siklus apel berbuah butuh waktu 5-6 bulan.
”Rugi di bawah Rp 20 juta jarang, yang sering di atas Rp 30 juta. Meski terkadang juga untung kalau produksi dan harga jual apel bagus. Hanya saja, sekarang harga jualnya tidak sebanding pengeluaran,” katanya. Ongkos produksi terus naik, mulai dari obat-obatan pembasmi hama sampai pupuk.
Untuk meminimalkan kerugian, petani memutar otak. Untuk me-rempes (mengugurkan daun apel), misalnya, kini mereka menyemprotkan obat agar daun mengering dan mudah dirontokkan. Dengan cara itu, pengeluaran bisa ditekan sampai 75 persen.
Kompas melihat sejumlah kebun apel di sekitar lahan Nur Hasyim berubah menjadi kebun sayur. Kondisi ini beda dengan 2-3 tahun lalu. Bahkan, pada masa awal pandemi, lahan apel masih cukup merata di sana.
Dalam 30 tahun terakhir, sejumlah sentra apel di Batu memang telah berubah menjadi komoditas lain. Sebut saja Desa Punten, Sidomulyo, Gunungsari, termasuk sebagian Desa Bulukerto, saat ini telah menjadi sentra bunga dan tanaman hias. Merawat tanaman hias lebih mudah ketimbang apel. Usaha bunga juga lebih menarik dari sisi harga jual.
Selain itu, semakin sering lahan-lahan apel dijual kepada pembeli yang bukan petani. Mereka mengejar pemandangan dan kontur lereng pegunungan yang relatif masih sejuk bagi orang kota. Masa pandemi juga membuat beberapa petani melepas kebunnya karena kebutuhan hidup.
Luas lahan apel di Batu saat ini sekitar 1.000 ha dengan jumlah 1,2 juta pohon. Bandingkan tahun 1980, ketika luas lahan apel di Batu mencapai 2.000-an ha dengan jumlah pohon kala itu 5,4 juta batang.
Peralihan tanaman tidak hanya berlangsung di Batu. Sekitar 40 kilometer ke sisi tenggara, tepatnya di kaki Gunung Semeru, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, sebagian lahan apel telah berubah wajah menjadi komoditas lain, seperti jeruk, sayuran, dan tebu. Awal tahun 2000, apel menjadi primadona petani di sana seiring suhu kawasan yang masih mendukung.
Kepala Desa Poncokusumo, Kecamatan Poncokusumo, Muhammad Irwan mengatakan, apel di wilayahnya kini tinggal 10 persen dari sebelumnya 600 ha. Lokasi lahan apel tersisa ada di daerah dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut dan jauh dari permukiman.
Lahan apel itu kini banyak berubah menjadi kebun jeruk. Luasannya terus bertambah mencapai 300 ha. Irwan yang dulu punya lahan apel 24 ha kini juga berganti jeruk semua. Selain di Poncokusumo, apel di desa lain, seperti Wringin Anom dan Pandansari, juga hampir habis.
”Menanam apel itu gambling, tidak pasti apakah ke depan untung atau rugi. Menanam jeruk sebenarnya juga tidak mudah, tetapi buah ini punya nilai ekonomi yang sangat menjanjikan sehingga disukai petani. Jadi, istilahnya jeruk makan apel,” tuturnya. Jeruk asal Poncokusumo memiliki warna kulit lebih menarik dan masa segar lebih lama. Harga jualnya lebih tinggi dibandingkan jeruk dari daerah lain.
Dipaksa produktif
Kompleksitas permasalahan petani apel tersisa hingga kini. Secara psikologis, tanaman apel di Jawa Timur ini sudah tua. Tanaman yang dipaksa berbuah banyak mengakibatkan unsur hara dalam tanah berkurang. Di sisi lain, terjadi perubahan iklim yang ditandai dengan suhu yang terus naik dan pola hujan yang berubah. Galur hama juga berubah sehingga makin sulit dikendalikan.
”Apel itu tanaman subtropis. Di daerah asli, apel berbuah hanya sekali dalam setahun. Di sini, apel direkayasa berbuah dua kali sehingga proses penuaan tanaman semakin cepat. Apel di Malang ini rata-rata umurnya baru 30 tahun, namun setara dengan 60 tahun,” ucap Irwan.
Biaya perawatan apel memang tinggi. Paling tidak petani harus memiliki dana Rp 25 juta-Rp 30 juta untuk merawat lahan 1 ha dalam satu musim, 5-6 bulan. Jika kondisi apel bagus, petani bisa meraup Rp 50 juta-Rp 60 juta. Namun, tidak jarang penghasilan yang mereka peroleh hanya menutup 25-50 persen biaya perawatan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Malang Budiar Anwar mengatakan, perubahan kondisi lingkungan berpengaruh pada tanaman apel. Akibatnya, lokasi kebun apel terus meninggi, mencari daerah bersuhu lebih rendah. Daerah-daerah di sisi bawah yang awalnya menjadi sentra apel kini kondisinya menyusut, beralih komoditas lain atau dijual.
Di tengah fenomena alih komoditas dan penjualan lahan, tiga tahun terakhir beberapa area di Kabupaten Malang dikembangkan menjadi lahan apel baru, seperti di Kecamatan Pujon, Poncokusumo, Jabung, dan Tumpang. Di sisi lain, masalah harga, ongkos produksi, dan perubahan iklim belum juga teratasi.