Intoleransi Jadi Tantangan Surakarta, Moderasi Beragama Perlu Didorong
Kota Surakarta menjadi salah satu wilayah yang punya tantangan khusus dalam hal intoleransi. Sinergitas antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan sikap moderasi beragama perlu terus didorong.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kota Surakarta di Jawa Tengah, menjadi salah satu wilayah dengan tantangan khusus terkait intoleransi. Sinergitas antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan sikap moderasi beragama perlu terus didorong. Pemahaman itu yang akan menciptakan masyarakat toleran di masa mendatang.
Hal tersebut mengemuka dalam dialog antara Pemerintah Kota Surakarta, Jaringan Gusdurian, dan elemen masyarakat di Loji Gandrung, Kota Surakarta, Jumat (30/9/2021) petang. Dalam dialog tersebut turut hadir Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid.
”Tantangan toleransi di Kota Surakarta itu ada. Itu bisa menjadi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa muncul percikannya,” kata Alissa seusai acara.
Salah satu bentuk tindak intoleransi yang pernah terjadi berupa perusakan makam umat Kristiani, Juni lalu. Insiden terjadi di Makam Cemoro Kembar, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Pelaku perusakan adalah anak-anak berusia 9-12 tahun. Anak-anak itu merupakan peserta didik dari lembaga pendidikan agama Islam, yang disebut khuttab, yang letaknya tak jauh dari makam. Diduga anak-anak itu terpengaruh paham keagamaan eksklusif sehingga bertindak sejauh itu (Kompas, 28/6/2021).
Alissa menuturkan, peristiwa semacam itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan sekadar membincangkannya. Butuh kerja nyata yang menunjukkan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat agar persoalan itu dapat dirampungkan hingga ke akar. Langkah utama yang perlu didorong adalah menanamkan nilai moderasi beragama di tengah masyarakat.
”Kami ingin membangun inisiatif masyarakat untuk deteksi dini dengan mempertemukan para pemangku kepentingannya. Ini bagian dari program ’strong cities’. Kota yang kuat terkait dengan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan bagi masyarakatnya,” kata Alissa.
Lebih lanjut, Alissa menyatakan, secara umum, terjadi penurunan indeks toleransi antarumat beragama di Indonesia. Kondisi itu ditunjukkan dari hasil berbagai survei yang menyebutkan sikap masyarakat terhadap pemeluk agama yang berbeda kini penuh prasangka dan penuh ketakutan.
Gejalanya, kata Alissa, tampak dari tumbuhnya pemahaman keagamaan yang eksklusif dari sejumlah institusi, baik institusi pendidikan, keagamaan, maupun pemerintahan. Berkembangnya pemahaman keagamaan yang eksklusif mendorong tindakan dan sikap intoleran.
”Untuk itu, jangan sampai memberikan ruang tumbuhnya pandangan (keagamaan) yang eksklusif,” kata Alissa.
Kepala Kantor Perwakilan Kementerian Agama Kota Surakarta Hidayat Masykur menyampaikan, terdapat sejumlah pegawai di lingkungannya yang juga memiliki pemahaman keagamaan eksklusif. Namun, pihaknya belum dapat merinci mengingat penelitian mendetail belum dilakukan.
”Di semua lini ada dan termasuk para guru. Berapa banyaknya kami belum mengadakan penelitian,” kata Hidayat yang turut hadir dalam dialog tersebut.
Keberadaan pemahaman keagamaan yang eksklusif diketahui dari pertanyaan yang dilontarkan pada tes dalam sejumlah pelatihan. (Hidayat Masykur)
Hidayat menjelaskan, keberadaan pemahaman keagamaan yang eksklusif diketahui dari pertanyaan yang dilontarkan pada tes dalam sejumlah pelatihan. Menyikapi kondisi ini, ia berkomitmen bakal terus mendorong moderasi beragama. Pihaknya akan meningkatkan pemahaman keagamaan yang moderat dari para jajarannya lewat berbagai cara.
”Kami latih moderasi beragama yang seperti apa. Nanti diambil dari cara pandang, sikap, sampai perilaku mereka ini harus menunjukkan orang-orang yang moderat,” kata Hidayat.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa mengatakan, toleransi lebih mudah diucapkan ketimbang diimplementasikan. Pancasila bisa menjadi salah satu cara mengajarkan sikap tersebut. Terlebih lagi, kata dia, masyarakat kota tersebut sebenarnya sangat majemuk.
”Tantangan bagi Pemkot Surakarta dan seluruh stakeholders supaya kota ini menjadi tempat model toleransi umat beragama. Kita harus menggandeng semuanya bagaimana mengimplementasikan kata (toleransi) tersebut,” ujar Teguh.