Lahan-lahan Kebun Apel yang Diburu
Lahan di Batu dan daerah lain yang menghasilkan apel banyak diincar peminat, termasuk orang dari luar daerah. Sebagian di antaranya telah beralih status.
”Iki wis ditowo uwong sak milyar tapi aku ora oleh. Regone duwur mergo ndek pinggir dalan, bedo karo sing ndek njero-njero. Sing nawar wong Tumpang. Jarene, bos e siap mbayar”.
(Ini sudah ditawar Rp 1 miliar tapi tidak saya jual. Harganya tinggi karena posisi di tepi jalan—akses perkebunan—beda dengan lahan yang di dalam. Yang menawar orang dari Tumpang (Kabupaten Malang). Bosnya siap membayar,” ujar Dul Hasyim (64) dalam bahasa Jawa ngoko, Rabu (16/9/2021).
Petani asal Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, itu menjelaskan soal kebunnya di Desa Sumbergondo yang dilirik orang berduit. Lahan seluas 2.000 meter persegi (m2) di kaki Gunung Arjuno itu berisi tanaman apel rome beauty berumur 35 tahun yang ditanam tumpangsari dengan kapri dan brokoli.
Dul Hasim memilih mempertahankan lahan itu dengan alasan tak butuh uang. Memiliki lahan apel yang dikelola turun-temurun lebih berarti bagi dia. Setiap hari, sejak pagi-sore, ayah dua anak ini menghabiskan waktu di tempat itu. Berada di kebun apel seperti berwisata sekaligus menyegarkan pikiran.
Apel milik Dul Hasim terlihat mencolok dibandingkan yang lain. Buahnya merata hijau kemerahan, sedangkan di lahan lain buahnya relatif lebih muda. Bahkan, ada tanaman yang kurang terawat atau berganti jeruk dan komoditas lain.
Saat dikulik resep pemeliharaan sehingga buah apelnya menggembirakan, lelaki itu hanya menjawab, ”Tidak tahu,” sambil terkekeh. Dul Hasim juga menolak saat ada orang dan tengkulak datang hendak membeli dengan alasan buahnya masih belum cukup umur.
Dul Hasim bukan satu-satunya petani yang lahannya diminati orang. Arnoto (61), salah satu petani di Desa Tulungrejo, mengatakan, lahan milik kerabatnya seluas 800 m2 belum lama ini terjual Rp 1 miliar. Pembelinya pengusaha batubara dari luar Jawa yang memiliki vila di dekat lahan milik kerabatnya itu.
”Sebelum pandemi, dia (pembeli) sudah naksir, berani menawar Rp 2 miliar tetapi tidak dilepas kerabat saya. Setelah pandemi, kerabat saya berpikir ulang untuk menjual dan dibeli Rp 995 juta, digenapi Rp 1 miliar. Kemungkinan, lahan itu juga mau dibuat vila,” ujarnya.
Uang hasil penjualan lahan tersebut, lanjut Arnoto, digunakan kerabatnya membeli lahan apel di wilayah yang elevasinya lebih tinggi. Ia mendapat lahan apel baru seluas 3.200 m2 dengan harga Rp 300 juta. Sisa uangnya digunakan untuk keperluan lain.
Baca juga: Obyek Wisata di Batu Diserbu Pengunjung
Dia membeberkan alasan kerabatnya menjual lahan dikarenakan posisinya ada di samping vila dan akses masuknya juga melalui vila itu. ”Tanah di sini mahal dibanding kebun apel di daerah lain di Batu. Di kawasan ini akses jalan sudah aspal, jaringan listrik ada, air bersih juga tersedia,” kata Arnoto yang menjadi petani apel lebih dari 25 tahun.
Jual-beli kebun apel juga terjadi di wilayah lain di Batu utara. Siang itu, Kompas melihat setidaknya ada dua lahan dijual—pemilik memasang papan pemberitahuan—satu lahan seluas 1.220 m2 ada di tepi jalan alternatif Batu-Pacet (Mojokerto) dan satu lagi 478 m2 di tengah Desa Sumbergondo.
Di Dusun Gandon, Sumbergondo, beberapa lahan bahkan telah beberapa kali berganti kepemilikan meski perawatan apelnya diserahkan kepada warga setempat. Ada juga lahan yang berpindah tangan dua kali dalam beberapa tahun terakhir. Pembelinya dari sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Surabaya dan Sidoarjo, bahkan Bali dan Jakarta.
”Dulu, kebun apel di sebelah lahan saya ini dijual ke orang Kediri. Lalu, orang Kediri itu menjual ke orang Bali. Pembeli terakhir sebenarnya orang Gandon tetapi sudah lama punya usaha di Bali dan pindah jadi warga sana,” kata Murhasyim (55), salah satu petani di Gandon.
Menurut Nurhasyim, harga tanah di wilayahnya sekarang naik 40 kali lipat dibandingkan 25 tahun lalu. Jika tahun 1995 harganya masih Rp 25.000 per m2, maka saat ini tembus Rp 1 juta lebih.
Terlepas ada petani telah menjual lahannya, sebagian petani lain tetap mempertahankan kebunnya yang ditanami apel secara turun-temurun. Mereka berusaha bertahan meski sejumlah masalah mendera, mulai biaya perawatan apel yang tinggi dan tidak sebanding dengan hasil penjualan, serangan penyakit, hingga masalah lainnya.
Toyo (55), salah satu petani di Desa Tulungrejo, misalnya. Di tengah harga apel yang anjlok hingga Rp 5.000-Rp 6.000 per kg untuk ukuran kecil dan Rp 7.000 ukuran sedang, ia masih berusaha meremajakan tanaman khas Batu itu. Ia pangkas batang apel bagian atas agar tumbuh tunas baru.
”Cara ini lebih efisien dibandingkan menanam bibit baru. Bibit baru butuh waktu lama untuk berbuah. Harga bibitnya juga mahal, Rp 50.000 per batang,” ujarnya. Tidak hanya berubah kepemilikan, ia juga mencontohkan sejumlah lahan di sisi atas yang sudah dibabat. Bahkan ada lahan yang kini dikuasai perusahaan besar untuk kepentingan investasi.
Petani sendiri menyadari bahwa lahan apel di wilayah mereka terus menyusut. Data Badan Pusat Statistik, produksi apel di Batu tahun 2019 hanya 50.255 ton dengan jumlah pohon penghasil terbanyak di triwulan 1 sebesar 1,24 juta pohon. Angka ini lebih kecil dari 2014 sebanyak 71.599 ton dan 2016 yang 54.126 ton.
Di level provinsi, produksi apel Jawa Timur tahun 2019 mencapai 480.834 ton, sedangkan 2020 sebanyak 495.202 ton. Tahun 2020, produksi di Kabupaten Malang mencapai 182.129 ton, Pasuruan (289.666 ton), dan Batu (50.525 ton). Daerah lain penghasil apel dengan volume kecil ada di Jember, Banyuwangi, dan Lumajang.
Sebagai pembanding, produksi apel di Batu tahun 2004 sebanyak 79.367 ton dengan jumlah pohon penghasil terbanyak di akhir triwulan 1 adalah 2,6 juta batang. Sumber lain menyebut tahun 2000 masih ada 3,1 juta pohon dengan produksi 147.000 ton. Kecamatan Bumiaji menjadi wilayah penghasil apel terbanyak, disusul Batu dan Junrejo.
Penyusutan apel di Batu tak terlepas dari perkembangan dan permasalahan kompleks, baik terkait faktor ekonomi, serangan penyakit, lingkungan, kondisi lahan, maupun perkembangan daerah itu sendiri.
Pengamat Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Mangku Purnomo, mengatakan, lahan apel memang menarik, bukan saja di mata orang berkantong tebal dari daerah setempat, melainkan juga orang kaya dari luar daerah. Hal itu tidak hanya terjadi di Batu, tetapi juga daerah penghasil apel lain, seperti Kecamatan Poncokusumo di Kabupaten Malang dan Tutur di Kabupaten Pasuruan.
Mangku pun membedakan lahan apel di Batu dengan Poncokusumo yang berada di kaki Semeru dan Tutur (Desa Nongkojajar) dengan karakter kewilayahan berbeda. Ketiga daerah ini telah lama menjadi penghasil apel terbesar di Jawa Timur. Sebagai gambaran, lahan apel di Batu yang empat dasawarsa lalu masih di atas 2.000 ha, saat ini tinggal 1.000-an ha.
”Batu ketimpangan pemilikan lahan tinggi, sudah mengelompok kepada orang-orang kaya dan elite. Tidak saja orang kaya lokal, tetapi juga orang kaya di luar Batu, seperti Jakarta dan Surabaya. Mereka bisa memiliki lahan ratusan hektar karena nilai investasi di situ memang besar dan marketnya sudah terbentuk. Secuil tanah di Batu harganya sudah tinggi, apalagi yang kebun apel,” katanya.
Mangku mencontohkan banyak vila yang dimiliki orang dari luar daerah, hanya pekerjanya saja yang orang Batu. Oleh karena itu, harga tanah di Batu tinggi, baik yang ada di tengah kota maupun di pelosok (lahan dan kebun). Apalagi jika di lahan itu ada akses jalan.
Lahan apel di Batu semakin gampang dijual sejak tahun 2002-2003 atau sejak terjadi pembabatan lahan negara oleh masyarakat. Di daerah Gabes (di selatan Cangar) ada 270-an ha lahan negara yang dikuasai masyarakat. Setelah beberapa tahun yakin tidak diambil negara, bisa diperjualbelikan, dan aman (5-6 tahun setelah mapan dikuasai), maka 2006-2010 mulai ramai penjualan lahan.
”Habis krisis moneter itu ternyata yang bertahan juragan-juragan informal dibanding perusahaan swasta besar. Di situ dulu juga ada pabrik Asparagus Nusantara milik Pak Harto (Presiden Soeharto),” kata Mangku yang membuat tesis S-2 soal perubahan struktur ekonomi lokal di kawasan tersebut.
Mengenai lahan apel di Malang timur (Poncokusumo), menurut Mangku, investor masih ragu. Sebab, semua pemandangan menarik yang bisa dikembangkan untuk tempat wisata berada di lahan Perhutani atau Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Status itu membuat calon investor berpikir ulang dengan alasan risiko sengketa.
Baca juga: Pandemi Picu Naiknya Harga Jeruk dan Apel Malang
Di Nongkojajar, warga mendapat penghasilan dari apel. Jual beli tanah juga terjadi, tetapi keinginan pemilik lahan menjual tanah lebih rendah dibandingkan orang Batu yang wilayahnya terbuka dan berkembang menjadi tujuan wisata meski, dari sisi harga sama-sama mahal, baik di Batu maupun Nongkojajar.
”Orang dari luar daerah yang hendak membeli di Nongkojajar harus berpikir karena luasan lahan milik pribadi di sana relatif lebih luas. Lahan boleh dibeli asal diborong, sehingga investor harus mengeluarkan uang lebih banyak. Di Batu, lahan yang dijual space-nya kecil-kecil, sehingga, meski mahal masih bisa dibeli,” katanya.
Sejarah masuknya apel
Jalan panjang telah dilalui apel di ”Bumi Arema”. Sejumlah sumber menyebut apel ada sejak 1930-an. Melihat laman Badan Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (balitjestro.litbang.pertanian.go.id) Kementerian Pertanian, yang ditulis Suhariyono, apel masuk ke Indonesia dibawa Belanda dari Australia dan dikembangkan di Nongkojajar di Pasuruan.
Pada 1953, Bagian Perkebunan Rakyat (sekarang Lembaga Penelitian Hortikultura) mendatangkan beberapa jenis apel dari luar negeri, termasuk rome beauty dan princess noble (Anna). Pada tahun 1960-an apel sudah banyak ditanam di Batu menggantikan tanaman jeruk yang banyak mati akibat terserang penyakit.
Dalam literatur lain, pada artikel yang sama, disebutkan apel didatangkan dari Australia tahun 1934 dan ditanam pertama di Desa Tebo, Pujon, Kabupaten Malang, sebanyak 20 varietas. Dalam perkembangannya, Batu, Malang, dan Pasuruan kemudian menjadi sentra apel di Indonesia. Apel mulai dikembangkan petani tahun 1950 dan berkembang pesat setelah 1960.
Adapun, menurut Sumeru Ashari, dalam buku Biologi Reproduksi Tanaman Buah-buahan Komersial apel yang dibudidayakan saat ini berasal dari Asia Barat Daya yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Apel tak hanya ditemukan di daerah tropis tetapi juga subtropis. Industri pertanaman apel di Indonesia ada di Batu yang kemudian menyebar ke Nongkojajar dan sebagian ke Pulau Timor.
Tanaman apel yang ada saat ini, kata Sumeru, diduga merupakan hibrid dari berbagai spesies, seperti Malus sylvestris miller, Malus dasyphyla norkh, Malus pumila miller, dan beberapa spesies dari Afrika. Jenis apel yang dibudidayakan di seluruh dunia sendiri sangat banyak, ada sekitar 1.000 kultivar.
Adapun jenis tanaman yang dibudidayakan di Indonesia (Batu) adalah rome beauty, manalagi, dan anna. Kultivar manalagi diduga klon tua sejak zaman Belanda. Kuktivar itu mirip dengan golden delicious di Australia.