Tiga Tahun Penyintas Gempa Sulteng Menanti Pembangunan Hunian Tetap
Tiga tahun berlalu, ribuan keluarga penyintas gempa di Sulawesi Tengah masih menanti realisasi pembangunan hunian tetap. Derita akibat bencana pada 28 September 2018 masih terasa karena penyintas belum mendapat rumah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
Tiga tahun berlalu, ribuan keluarga penyintas gempa di Sulawesi Tengah masih menanti realisasi pembangunan hunian tetap. Mimpi membangun lagi kehidupan yang porak poranda akibat gempa masih jauh panggang dari api.
Di teras papan dekat pintu bilik, Sunarti (40) berbincang dengan ibunya, Lumina (71). Kenangan pahit atas bencana gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, 28 September 2018, masih membekas.
”Sudah tiga tahun berlalu, kami masih tinggal di hunian sementara. Kami diminta untuk menunggu selesainya pembangunan hunian tetap, tetapi kesabaran ada batasnya,” ujar Sunarti saat ditemui di kompleks hunian sementara Kelurahan Petobo, Selasa (28/9/2021).
Sejak tinggal di hunian sementara pada Juni 2019, Sunarti dengan penuh asa meyakini, setidaknya pada akhir 2021 dirinya bersama dengan Lumina, dua buah hati, dan suaminya sudah menempati hunian tetap yang dibangun pemerintah sebagai bagian dari penanganan pascabencana. Alih-alih menempati hunian tetap atau rumah, ia bersama keluarganya masih bertahan di hunian sementara yang berbentuk panggung dengan konstruksi utama papan lapis berukuran 4 meter x 3,5 meter.
Sejauh informasi yang ia terima, penyediaan lahan oleh pemerintah untuk pembangunan hunian tetap masih terus dilakukan. Namun, kini, setelah tiga tahun berlalu, Sunarti tetap berharap pemerintah segera menyelesaikan pembangunan hunian tetap.
”Kalau bisa kami ingin pertengahan tahun depan sudah di hunian tetap,” ujarnya.
Ditemui terpisah, Bonifasius (45), penyintas lainnya, bingung dengan penyelesaian masalah lahan untuk pembangunan hunian tetap yang berjalan lambat. Penyediaan lahan hunian tetap seharusnya tak bertele-tele karena lahan itu bekas hak guna bangunan dan belum ada bangunan di situ.
”Masalah bencana ini urusan kemanusiaan yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Soal klaim warga itu urusan lain yang harusnya bisa diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah. Tolong ini menjadi perhatian pemimpin,” ujarnya.
Dalam penanganan pascabencana, pemerintah membangun hunian tetap untuk penyintas yang tadinya lokasinya di titik terdampak tsunami, likuefaksi, dan sekitar sempadan sesar. Titik-titik tersebut ditetapkan sebagai zona merah yang artinya dilarang untuk pembangunan hunian baru sehingga pemerintah merelokasi pembangunan rumah di lahan baru yang lebih aman.
Masalah bencana ini urusan kemanusiaan yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Soal klaim warga, itu urusan lain yang harusnya bisa diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah. Tolong ini menjadi perhatian pemimpin. (Bonifasius)
Data Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II, instansi di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang bertugas membangun hunian tetap untuk penyintas, menunjukkan, ada 3.250 hunian tetap yang belum dibangun. Dari jumlah itu, 750 unit untuk Kabupaten Donggala masih dalam proses lelang. Sisanya, 2.500 unit, di Palu belum bisa dilelang karena masalah penyediaan lahan.
Sejumlah 1.679 hunian tetap telah dan sedang dibangun di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Hunian tetap yang selesai dibangun dan telah ditempati antara lain di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, dan Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Hunian tetap lainnya tersebar di sejumlah titik dengan skema relokasi mandiri di lahan milik penyintas.
Berdasarkan proyeksi, Kementerian PUPR membangun 8.700 hunian tetap di Sigi, Donggala, dan Kota Palu dengan skema relokasi kawasan dan relokasi mandiri. Penyintas yang belum mendapatkan hunian tetap saat ini tinggal di hunian sementara dan rumah sewa.
Selain dikerjakan PUPR, sebagian hunian tetap dengan skema relokasi disediakan lembaga sosial. Tak kurang dari 2.000 hunian tetap telah dibangun dan ditempati.
Di samping skema relokasi, ada juga skema penyediaan hunian tetap dengan dana stimulan. Dalam skema ini, penyintas mendapatkan dana untuk membangun rumahnya di lokasi yang tak dikategorikan zona merah.
Klaim warga
Kepala Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II Suko Wiyono menyatakan, status lahan untuk pembangunan hunian tetap di Palu, yakni di Kelurahan Tondo, Talise Valangguni, dan Petobo, belum bebas dari klaim warga. Pembangunan hunian tetap yang menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia tak bisa diteruskan jika ada masalah sosial, termasuk status lahan.
”Masalah tersebut saat ini diurus oleh Pemerintah Kota Palu. Kami menunggu agar masalahnya selesai sehingga bisa segera dilelang dan nantinya dikerjakan,” kata Suko.
Klaim warga atas dua lokasi hunian tetap di Tondo dan Talise Valangguni dengan luas sekitar 100 hektar mencuat sejak awal 2020. Tarik ulur terjadi hampir dua tahun terakhir sampai pada penundaan pembersihan lahan untuk pembangunan hunian tetap tersebut.
Wali Kota Palu Hadianto Rasyid mengklaim, masalah status lahan sudah beres. ”Insya Allah pada Jumat ini kami akan serahkan (laporan) ke Kementerian PUPR sehingga lelang bisa berjalan,” ujarnya.
Pembangunan hunian tetap dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng seharusnya rampung pada akhir 2020. Hal itu juga pernah ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja pada 29 Oktober 2020.
Adriansa Manu, Direktur Celebes Bergerak, lembaga sosial yang mengawal hak penyintas, menyarankan agar pemerintah mengakomodasi usulan peralihan dari skema hunian tetap relokasi ke skema dana stimulan. Dengan demikian, bangunan bisa cepat dikerjakan dan penyintas tidak berlarut-larut menanti hunian tetap.