Ibu Kota Baru, Mimpi Bung Karno sampai Jokowi
Dari masa ke masa, rencana pemindahan ibu kota negara belum pernah ada yang terealisasi. Kini, rencana pemindahan itu ke Kaltim, dengan masa jabatan Presiden Jokowi sekitar dua tahun lagi, menunggu dibuktikan.
Memindahkan ibu kota negara bukan hanya muncul di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bila saat ini salah satu alasan terkuat adalah daya dukung Jakarta yang semakin terbatas, di masa lampau nasionalisme menjadi latar belakang mimpi pemindahan ibu kota negara.
Persiapan membangun ibu kota negara yang baru tetap berlanjut kendati pandemi Covid-19 mendera hampir dua tahun ini. Saat ini, pemerintah tengah menyusun rincian planned development calon ibu kota negara.
Surat Presiden yang melampiri draf Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara juga akhirnya diserahkan kepada DPR, Rabu (29/9/2021). Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengonfirmasi hal ini kepada Kompas.
Dalam wawancara khusus secara virtual dengan harian Kompas, Selasa (29/9/2021) sore, Suharso menjelaskan tahapan persiapan pembangunan ibu kota negara yang baru. Setelah memiliki masterplan, detail plan, soil test, serta menetapkan titik nol, kini disusun planned development.
Ibu kota negara yang baru dan disiapkan di wilayah Kalimantan Timur itu akan menjadi kota yang berkelanjutan. Untuk itu, platform pembangunan di ibu kota baru ini pun akan lebih ramah lingkungan.
Planned development ini yang menentukan penempatan gedung, jalan, saluran air, dan lainnya secara rinci. Untuk itu, peta yang disusun pun dengan skala besar. Dengan planned development ini, pembangunan bisa langsung jalan apabila sudah ada ’lampu hijau’.
Selain itu, Suharso menjelaskan, ibu kota negara yang baru dan disiapkan di wilayah Kalimantan Timur itu akan menjadi kota yang berkelanjutan. Untuk itu, platform pembangunan di ibu kota baru ini pun akan lebih ramah lingkungan. Energi matahari akan lebih banyak digunakan ataupun energi baru terbarukan lainnya.
Semua perencanaan ibu kota negara yang baru disiapkan untuk menjawab kapasitas daya dukung Jakarta yang dinilai sudah mentok. Suharso bahkan mencontohkan, Singapura berupaya melebarkan wilayahnya dengan membeli pasir, sedangkan Belanda membangun blokade yang akhirnya menciptakan delta-delta dan daratan baru. Semua dilakukan untuk memperbesar kapasitas.
Baca juga : Apa Kabar Pemindahan Ibu Kota Negara?
Jakarta yang sebenarnya sudah memiliki masterplan bagus di zaman Belanda juga didukung daerah-daerah penyangga, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. ”Mungkin Jakarta masih bisa menanggung 10-20 juta orang, tetapi bisa dibayangkan tingkat kepadatan penduduk dengan luas Jakarta sekitar 661 kilometer persegi,” ujar Suharso.
Selain penurunan permukaan tanah di Jakarta semakin cepat, kenaikan permukaan air laut, cincin api yang paling banyak di Pulau Jawa, serta alasan penanggulangan ketimpangan Jawa-luar Jawa, membangun ibu kota baru di luar Jawa dinilai paling tepat. Namun, tentu, tahapannya sangat panjang. Suharso pun mencontohkan kota satelit di Tangerang Selatan ataupun di Jakarta Selatan terbentuk tidak dalam satu dua tahun, tetapi memerlukan dua puluh tahun. Presiden Joko Widodo tentu perlu mempersiapkan betul apabila ingin mewujudkan mimpinya ini.
Landasan hukum
Memastikan program pemindahan ibu kota negara, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo saat membacakan pidato dalam sidang tahunan, 16 Agustus 2021, juga menyebut perlunya pokok-pokok haluan negara.
Ada tidaknya haluan negara, setelah Surat Presiden dan draf RUU tiba di DPR, tindak lanjut akan dilakukan melalui rapat paripurna, dan pembahasan di Badan Musyawarah (Bamus). Bamus menentukan alat kelengkapan dewan (AKD) mana yang akan membahas RUU itu. Perintah pembahasan dapat diserahkan kepada panitia khusus (pansus) atau panitia kerja (panja) di komisi yang ditunjuk, ataukah melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baca juga : Arsip Kehidupan yang Belum Terungkap di Calon Ibu Kota Negara
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang dihubungi sebelumnya mengatakan, prinsipnya adalah komisinya siap membahas RUU IKN. Sebagai sebuah landasan hukum, menurut Doli, pembahasan RUU IKN itu tidak terelakkan. Sebab, ada keinginan dari pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Terlepas dari kondisi keuangan negara yang saat ini juga sedang digunakan untuk berjuang menghadapi pandemi Covid-19, pembahasan RUU IKN itu dianggap suatu upaya legal formil, yang harus dipisahkan dengan perspektif pembangunan fisik dalam pemindahan ibu kota.
”Kalau melihat situasi yang sekarang dan berpikir pemindahan ibu kota itu, memang tidak realistis. Akan tetapi, yang sedang kita bahas ini, kan, sesuatu yang berbeda dengan pembangunan fisik. Kita saat ini bicara landasan hukumnya dulu, baru nanti membahas desain dan konsepnya bagaimana. Namun, dasar hukumnya harus ada dulu,” katanya.
Dengan demikian, sekalipun situasi pandemi, lanjut Doli, pembahasan RUU IKN itu tetap dapat dilakukan. Soal apakah setelah RUU disahkan lalu pembangunan fisik langsung dilakukan, ataukah ada jangka waktu pembangunan dimulai, itu suatu hal yang lain lagi.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang dihubungi sebelumnya mengatakan, prinsipnya adalah komisinya siap membahas RUU IKN. Sebagai sebuah landasan hukum, menurut Doli, pembahasan RUU IKN itu tidak terelakkan. Sebab, ada keinginan dari pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Pindah atau meluas
Mimpi relokasi ibu kota negara juga bukan hanya ada di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada rencana memperluas cakupan Jakarta sebagai ibu kota sampai Sukabumi dan Purwakarta. Di masa Presiden Soeharto, ibu kota sempat direncanakan pindah ke Jonggol.
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno pun pernah menggagas Palangkaraya (kini ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah) sebagai ibu kota negara Republik Indonesia. Palangkaraya diharapkan menjadi ibu kota yang dibangun bebas dari peninggalan kolonial Belanda.
Baca juga : Di Tengah Pandemi, Konsolidasikan Semua Aspek Pemindahan Ibu Kota
Saat diwawancarai Kompas pada tahun 2006, Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangkaraya Wijanarka menjelaskan, ide tersebut yang secara kebetulan, di tahun 1957, bersamaan dengan keinginan masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng) membentuk provinsi yang juga membutuhkan sebuah ibu kota.
Hal ini menjadi kesempatan bagi Bung Karno untuk merencanakan suatu ibu kota negara yang bebas dari pengaruh kolonial. Pemancangan tiang pendirian Kota Palangkaraya pun dilakukan di tahun 1957. ”Jadi, ide untuk menggagas Palangkaraya sebagai ibu kota negara tercetus sekitar waktu itu,” kata Wijanarka yang juga penulis buku berjudul Sukarno dan Desain Rencana Ibukota di Palangkaraya terbitan Penerbit Ombak, Yogyakarta.
Kisah seputar pemancangan tiang pertama Kota Palangka Raya oleh Bung Karno antara lain dapat disimak dalam buku Sejarah Kota Palangka Raya (2003). Buku tersebut digarap tim penulis buku sejarah Kota Palangkaraya, Pemerintah Kota Palangkaraya. Tertulis di buku tersebut bahwa dalam rangka peresmian nama ibu kota dan peresmian dimulainya pembangunan Kota Palangkaraya, Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kerja selama 14-20 Juli 1957.
Pada kunjungannya tersebut, Presiden Soekarno didampingi enam Menteri Kabinet Karya, sejumlah pejabat tinggi pemerintah pusat, anggota parlemen, wartawan surat kabar dan wartawan kantor berita dari dalam dan luar negeri, serta dua duta besar. Dua duta besar dimaksud adalah Dubes Amerika Serikat Hugh Cumming Jr dan Dubes Uni Soviet DA Zukov. Raja Kasunanan Surakarta, yaitu Sri Sunan Pakubuwono XII, turut bergabung pula dalam rombongan Presiden Soekarno.
Demikianlah, ditulis di buku tersebut, pada 17 Juli 1957 pukul 10.00 waktu setempat (Kalimantan masuk waktu Jawa) Presiden Soekarno telah berada di lokasi upacara dan disambut gegap gempita ribuan massa dari Kampung Pahandut dan sekitarnya. Selanjutnya, Presiden Soekarno didampingi Gubernur RTA Milono dan Residen Tjilik Riwut melakukan manetek uei (memotong rotan) dengan mandau pusaka Dayak.
Hal tersebut menandai dipancangnya tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Tiang kayu ulin pun tertancap ke dalam tanah dan disambut lahap (seruan atau pekikan khas suku Dayak) khalayak peserta upacara.
Wijanarka saat mengutip Olly GS di majalah Kartini tahun 1985 menyebutkan bahwa Bung Karno sangat mengagumi Piazza del Popolo di Roma, Italia; mal Washington DC di AS; dan rencana induk kota Berlin, Jerman. “Dan ternyata masterplan struktur Kota Palangkaraya ada kemiripan dengan tiga model tadi,” kata Wijanarka, (Kompas, 28 Juli 2006).
Pada kesempatan tersebut Wijanarka juga menjelaskan keunikan Palangkaraya ditinjau dari posisi geografisnya. Kota Palangkaraya letaknya kira-kira tepat di tengah-tengah Indonesia. Palangkaraya tepat berada di titik tengah garis imajiner yang ditarik dari kota Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam ke Merauke, Papua. Kota ini juga tepat berada di tengah garis yang ditarik ke utara dan selatan melalui Palangkaraya.
Wijanarka pun merinci beberapa unsur lain yang dimiliki Palangkaraya sehingga kota itu dipandang ideal sebagai calon ibu kota negara. Unsur tersebut adalah bebas dari pengaruh kolonial serta aman dari kerawanan gempa karena jauh dari daerah patahan dan tidak dilewati rangkaian jalur gunung api.
Baca juga : Masalah Kini dan Nanti di Lokasi Penyangga Ibu Kota Negara Baru
Di dalam bukunya tersebut Wijanarka juga menyampaikan sejumlah poin yang menjelaskan kemungkinan penyebab batalnya Palangkaraya menjadi ibu kota negara Indonesia. Salah satunya adalah kurang lancarnya penyediaan bahan bangunan untuk membangun Palangkaraya di awal pendiriannya dulu.
Selain itu juga terkait aspek sejarah Kota Jakarta, desakan para duta besar, dan event internasional yang diagendakan berlangsung di Indonesia saat itu, semisal pesta olahraga Asian Games di tahun 1962.
Tidak mudah memindahkan ibu kota negara karena memerlukan berbagai pertimbangan mendalam, termasuk keputusan politik. Selain itu, perencanaan mendetail ataupun kemampuan untuk merealisasikannya menjadi penting. Di masa jabatan yang tersisa sekitar dua tahun bagi Presiden Joko Widodo, akan dibuktikan bagaimana mimpi tersebut diwujudkan.