Peraturan Pemerintah Belum Melindungi Penyehat Tradisional
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional menyulitkan penyehat tradisional. Padahal, 50 persen masyarakat masih mengandalkan pelayanan kesehatan tradisional.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sekitar 50 persen masyarakat masih mengandalkan pelayanan kesehatan tradisional dan merasakannya manfaatnya. Namun, keberadaan penyehat tradisional belum mendapat perhatian, perlindungan, pembinaan, dan pengembangan dari pemerintah.
”Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Namun, regulasi itu justru menyulitkan penyehat tradisional,” kata Rustam Ependi, pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Medan Area, yang melakukan kajian terhadap PP itu, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (28/9/2021).
Rustam yang juga pengusaha jamu itu menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertajuk ”Peluang dan Tantangan PP 103/2014 terhadap Eksistensi Praktisi dan Organisasi Penyehat Tradisional”. Dalam seminar yang diselenggarakan Bina Keterampilan Desa (Bitra) Indonesia itu, turut hadir pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Profesor Heru Santoso; Ketua Komisi E DPRD Sumut Dimas Tri Adji; dan Ketua Perkumpulan Asosiasi Penyehat Alternatif Sumut (P-Apasu) M Yusuf Harahap.
Rustam menyebutkan, banyak penyehat tradisional yang saat ini tidak bisa memperpanjang izin setelah berlakunya PP No 103/2014. Persoalan utama yang mereka hadapi, penyehat tradisional harus mendapat surat rekomendasi dari organisasi profesi yang berskala nasional.
Sejak 2009, penyehat tradisional di Sumut sudah mempunyai organisasi profesi, yakni P-Apasu, dengan anggota sekitar 200 orang. Rekomendasi dari Apasu awalnya diakui pemerintah sebagai syarat untuk mendapat surat terdaftar penyehat tradisional (STPT). ”Namun, saat ini tidak diakui lagi karena tidak berskala nasional. Hanya ada 17 organisasi yang diakui,” kata Rustam.
Rustam menyebutkan, P-Apasu sudah bertahun-tahun menjadi wadah pembinaan dan pengembangan anggota yang sangat aktif, jauh sebelum PP No 103/2014 terbit. Namun, setelah terbit PP itu, organisasi tersebut justru tidak diakui.
Banyak penyehat tradisional yang saat ini tidak bisa memperpanjang izin setelah berlaku PP No 103/2014.
Masalah lainnya adalah klusterisasi pelayanan kesehatan tradisional dalam tiga kategori yang dinilai diskriminatif, membatasi peluang partisipasi, dan tidak memberikan ruang pengambangan. Kategori itu ialah penyehat tradisional empiris, komplementer, dan integrasi.
Penyehat tradisional yang mengikuti pelatihan selama berbulan-bulan dan berpengalaman selama bertahun-tahun pun dimasukkan dalam kategori yang sama dengan penyehat tradisional yang mendapatkan kemampuan secara turun-temurun atau sering disebut dukun. Mereka dikelompokkan dalam penyehat tradisional empiris.
Sementara kelompok komplementer adalah yang mengikuti pendidikan minimal diploma 3 dan integrasi adalah yang menggabungkan keduanya.
Heru Santoso mengatakan, pelayanan kesehatan tradisional masih menjadi tulang punggung sistem kesehatan, khususnya di daerah-daerah. Karena itu, pengembangan layanan kesehatan tradisional seharusnya menjadi prioritas pemerintah.
”Saya beberapa kali ke daerah perdesaan. Mereka tidak ke puskesmas karena jaraknya yang jauh dan butuh biaya transportasi yang mahal meskipun biaya berobat gratis,” kata Heru. Warga memilih pergi ke penyehat tradisional.
Heru menyebutkan, banyak ketentuan dalam PP No 103/2014 belum bisa dilaksanakan secara operasional karena hingga kini belum ada peraturan turunannya, yakni peraturan daerah di tingkat provinsi ataupun kabupaten. ”Untuk mendapat sertifikat dan berbagai izin, misalnya, sampai sekarang belum diatur lebih jelas di level provinsi dan kabupaten,” katanya.
Penyehat tradisional dari Desa Tanjung Harap, Kabupaten Serdang Bedagai, Irianto Sipayung, mengatakan, sejak 2017 dirinya tidak bisa memperpanjang STPT-nya. Sebelumnya, ia sudah mendapat STPT dari dinas kesehatan setelah mendapat rekomendasi dari P-Apasu.
”Saya mendapat keterampilan dalam pijat dan ramuan tradisional setelah mendapat pembinaan dari P-Apasu dan pendampingan dari Bitra. Namun, pemerintah justru tidak mengakui rekomendasi dari P-Apasu,” kata Irianto.
Direktur Pelaksana Bitra Indonesia Rusdiana mengatakan, hingga kini tidak ada kebijakan yang melindungi penyehat tradisional. PP No 103/2014 pun dinilai justru memperlemah perlindungan itu. ”Perlindungan melalui kebijakan di tingkat provinsi, kabupaten, ataupun desa pun tidak ada hingga kini,” katanya.
Dimas mengatakan, DPRD Sumut ke depan akan memprioritaskan pembuatan peraturan daerah tentang layanan kesehatan tradisional.