Korupsi Bupati yang Mengguncang Pemerintahan di Kolaka Timur
Setelah penangkapan Bupati Koltim Andi Merya Nur, kondisi ekstrem dalam pemerintahan terjadi di mana bupati dan wakil bupati tidak bisa menjalankan tugas. Pemerintahan pun limbung.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Gonjang-ganjing pemerintahan menyeruak setelah Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (21/9/2021). Di salah satu daerah pemekaran di Sulawesi Tenggara ini, belum ada wakil bupati. Sekretaris daerah pun belum definitif. Korupsi itu membuat pemerintahan limbung dan mengancam pelayanan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Tepat 24 jam setelah terjaring operasi tangkap tangan, KPK menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim) Andi Merya Nur sebagai tersangka korupsi proyek dana hibah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selain Merya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Koltim Anzarullah juga ditetapkan sebagai tersangka.
Pemkab Kolaka Timur sebelumnya memperoleh dana hibah BNPB, yaitu hibah rehabilitasi dan rekonstruksi senilai Rp 26,9 miliar dan hibah dana siap pakai senilai Rp 12,1 miliar.
Berdasarkan penyelidikan KPK, keduanya menyepakati pemenang tender dari paket belanja jasa konsultasi perencanaan pembangunan jembatan dan rumah sebelum proyek dilelang melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Tender akan dimenangkan perusahaan milik Anzarullah dan grup Anzarullah dengan imbalan bagi Merya dari Anzarullah fee sebesar 30 persen.
Di hari yang sama dengan proses penetapan tersangka ini, Pemerintah Kabupaten Koltim maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, kalang kabut. Daerah ini tidak memiliki pemimpin sebab belum ada wakil bupati yang ditetapkan.
Merya sebelumnya menjabat posisi itu sebelum menjadi bupati menggantikan Samsul Bahri Madjid, bupati Koltim yang meninggal pada Maret 2021. Merya mengemban jabatan bupati definitif pada Juni 2021 sehingga posisi wakil bupati pun lowong. Tidak hanya itu, sekretaris daerah juga belum definitif.
“Rabu siang kami sudah membuat surat menunjuk Penjabat Sekda Ikbal Tongasa sebagai pelaksana harian Bupati Koltim. Mulai Kamis sudah efektif menjabat,” kata Asisten I Pemprov Sultra Ilyas Abibu, di Kendari, Kamis (23/9/2021).
Penunjukan pelaksana harian ini, kata Ilyas, harus dilakukan dengan cepat untuk mengisi kekosongan jabatan pucuk pimpinan di Koltim. Pelaksana harian akan melakukan tugas-tugas rutin, serupa persuratan dan kegiatan lainnya. Akan tetapi, pelaksana tidak boleh mengambil kebijakan strategis terhadap daerah yang mekar dari Kabupaten Kolaka pada 2013 ini.
Seiring penujukan pelaksana harian ini, Ilyas melanjutkan, Pemprov Sultra menunggu instruksi lanjutan dari Kementerian Dalam Negeri terkait penjabat bupati ke depannya. Setelah kekosongan jabatan bupati dan tidak ada wakil yang bisa menggantikan, daerah harus dijabat oleh seorang penjabat untuk bisa melakukan tugas-tugas strategis.
Kondisi pemerintahan di Koltim pascapenangkapan Merya memang kompleks. Wakil Ketua DPRD Koltim Rahmatia menuturkan, meski saat ini telah ada pelaksana harian bupati, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Ini terutama terkait pengambilan kebijakan strategis hingga pengesahan anggaran.
Terlebih lagi, saat ini sedang berlangsung proses perubahan anggaran 2021 yang memerlukan kepala daerah untuk pengesahan. Oleh sebab itu, pihaknya juga akan berkonsultasi dengan Pemprov Sultra hingga Kemendagri terkait kosongnya kepala daerah definitif di Koltim. Sebelum Merya terjaring operasi KPK, sedang berlangsung proses pengajuan nama wakil bupati di Koltim.
Saat ini, lanjut Rahmatia, baru Fraksi PDI-P yang telah mengajukan nama wakil bupati, yaitu Diana Massi. Diana merupakan istri almarhum mantan Bupati Samsul Bahri Madjid. Sementara itu, partai lainnya masih menunggu arahan partai masing-masing. “Nah, ini prosesnya seperti apa, kami belum tahu apakah dilanjutkan atau seperti apa. Karena semuanya harus sesuai aturan,” katanya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Koltim I Nyoman Abdi menyampaikan, setelah operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, pelayanan dan pemerintahan di Koltim tetap berjalan normal. Para pimpinan dinas tetap bertugas dan menjalankan kewajiban untuk pelayanan masyarakat.
Terkait penunjukan Plt Sekda sebagai Plh Bupati, Nyoman menuturkan telah mendapat informasi terkait hal itu. “Tapi, saya belum tahu apakah suratnya sudah diterima atau belum. Yang jelas, hari ini sudah akan dijalankan oleh beliau saat keputusannya diterima,” kata dia.
Kompleks
Penangkapan Merya membuat masyarakat di Sultra kaget. Selain angka korupsinya tergolong kecil dan dinilai bukan “kelas” KPK, Merya baru tiga bulan menjabat sebagai bupati yang sekaligus menasbihkan dirinya sebagai bupati perempuan pertama di Sultra. Namun, saat ini situasi pemerintahan di Koltim berubah drastis.
Saat pilkada serentak 2020, Merya yang berpasangan dengan Samsul Bahri diusung sejumlah partai, di antaranya, PDI-P, Demokrat, Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), dan sejumlah partai yang tidak memiliki kursi di DPRD Koltim.
Pengajar administrasi negara Universitas Gadjah Mada Richo Wibowo menjabarkan, dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah perlu mengambil langkah cepat agar pemerintahan berjalan maksimal. Pimpinan daerah yang dinakhodai pelaksana harian membuat pemerintahan tidak akan bisa mengambil kebijakan bersifat strategis.
“Pemerintah perlu melakukan intervensi dengan menunjuk Penjabat Bupati secepat mungkin. Karena situasinya saat ini bupati masih diberhentikan sementara, dan perlu ada yang mengambil peran kepemimpinan secara luas,” tutur Rico.
Artinya, menunggu hingga ada keputusan berkekuatan tetap terhadap bupati yang saat ini sedang berperkara.
Terkait pemilihan wakil bupati yang sedang berlangsung, dalam aturan Undang-undang Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, disebutkan, pemilihan wakil bupati dilakukan jika masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak masa kosongnya jabatan.
Di Koltim, masa jabatan masih tersisa lebih dari empat tahun. Akan tetapi, hal itu berlaku jika hanya posisi wakil bupati yang kosong dan posisi bupati masih ada.
Saat ini, tutur Richo, situasi ekstrem terjadi di Koltim, yang dalam aturan juga belum dimasukkan. Situasi itu yakni dalam proses pengajuan nama wakil bupati, sang bupati tiba-tiba tertangkap hingga diberhentikan sementara.
Idealnya, dalam pasal 174 UU 10/2016 tersebut, jika bupati dan wakil bupati tidak bisa menjalankan tugas, baik karena meninggal, diberhentikan, atau permintaan sendiri, maka partai pengusung mengajukan dua pasangan calon. Dua pasangan tersebut nantinya dipilih melalui paripurna di DPRD.
“Artinya, menunggu hingga ada keputusan berkekuatan tetap terhadap bupati yang saat ini sedang berperkara. Itu yang paling ideal menurut saya dalam kondisi seperti di Koltim ini,” bebernya.
Sementara itu, pegiat antikorupsi dari Universitas Muhammadiyah Kendari Hariman Satria mengungkapkan, kembali tertangkapnya kepala daerah di Sultra menjadi wajah buruk pemerintahan di wilayah ini. Sebab, meski telah berulang kali terjerat operasi KPK, para kepala daerah seolah tidak terkena efek jera.
“Dari sejumlah kepala daerah yang bermasalah hukum, sebagian besar ditangkap oleh KPK. Merya adalah kepala daerah keenam yang ditangkap KPK, sementara lima lainnya telah divonis dan menjalani hukuman. Dengan baru menjabat selama tiga bulan, saya duga motif ini terkait ongkos politik setelah pilkada yang perlu dikembalikan,” kata Hariman.
Di sisi lain, ia melanjutkan, operasi yang dilakukan KPK ini penting juga menjadi perhatian. Sebab, jika melibatkan anggaran pusat, patut diduga Merya dan bawahannya berkongsi dengan oknum di pemerintah pusat untuk memuluskan anggaran. Seharusnya, penangkapan Merya juga diikuti dengan penangkapan pihak lain yang terlibat.
“Karena kalau dengan korupsi Rp 250 juta, itu bisa dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan untuk menindak. Tidak perlu KPK yang turun dengan biaya operasional tinggi. Ini sama saja menghantam buruan kecil dengan meriam besar,” tuturnya.
Terlepas dari itu, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, berapa pun nilainya, menjadi musibah besar bagi masyarakat. Koltim yang dilimpahi lahan yang subur serta menjadi salah satu sentra beras juga perkebunan di Sultra, seolah kehilangan arah dalam satu hari. Imbasnya, masyarakat tidak mendapat pelayanan sebagaimana seharusnya.