Tarif Pungutan Ikan Meroket, Nelayan Tegal Kirim Surat Penolakan
Kenaikan tarif pungutan hasil perikanan hingga empat kali lipat dinilai memberatkan nelayan. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, para nelayan mengirim surat penolakan kepada Presiden terkait kenaikan tarif tersebut.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Ratusan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Kota Tegal, Jawa Tengah, menolak kenaikan tarif pungutan hasil perikanan yang mencapai empat kali lipat dari tarif sebelumnya. Para nelayan akan berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), komponen penetapan tarif pungutan hasil perikanan (PHP) per gros ton (GT) kapal dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal. Tarif ini berlaku untuk kategori kapal penangkap ikan berukuran di atas 5 GT hingga 60 GT.
Melalui aturan tersebut, pemerintah memberi opsi tarif PHP pascaproduksi untuk kapal di atas 5 GT sampai 60 GT sebesar 5 persen dan kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen. Adapun opsi tarif PHP praproduksi untuk kapal 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen (Kompas, 27/9/2021).
Akibat perubahan aturan tersebut, menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto, tarif PHP naik empat kali lipat dari sebelumnya Rp 900.000 per GT setiap tahun menjadi Rp 3,5 juta-Rp 4 juta per GT per tahun. Hal ini dinilai Riswanto sangat memberatkan nelayan.
”Misal memang harus ada kenaikan tarif pungutan, maksimal 50 persen saja dari sebelumnya. Biar usaha perikanan bisa berjalan dulu,” kata Riswanto, Senin (27/9/2021).
Tak hanya menanggung kenaikan tarif PHP yang dibayar setahun sekali. Nelayan Kota Tegal yang sedang dalam proses pergantian alat dari cantrang menjadi jaring tarik berkantong juga harus membayar PNBP supaya bisa mendapatkan surat izin usaha perikanan.
”Jika mengacu ketentuan yang baru, pembayaran PNBP untuk alat tangkap jaring tarik berkantong sebesar Rp 26,8 juta. Kalau masih mengikuti ketentuan sebelumnya di PP Nomor 75 Tahun 2015, pembayaran PNBP kira-kira Rp 5 juta,” imbuhnya.
Akibat perubahan tarif PHP dan PNBP tersebut, nelayan Kota Tegal merasa dirugikan. Mereka kemudian melakukan audiensi dengan pemerintah dan DPRD setempat pada Senin. Seusai audiensi, nelayan dari berbagai organisasi, Pemerintah Kota Tegal, dan DPRD Kota Tegal sepakat mengirim surat penolakan atas kenaikan PNBP dan PHP kepada Presiden Joko Widodo.
”Selain menolak kenaikan PNBP dan PHP, kami juga meminta Presiden mengevaluasi kebijakan kementerian dan lembaga, terutama yang tidak berpihak pada nelayan. Kami berharap usulan kami dipertimbangkan,” ujar Ketua Perhimpunan Nelayan Kota Tegal Said Aqil.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Tegal Kusnendro berharap pemerintah pusat bisa mengkaji kembali kebijakan kenaikan PNBP dan PHP demi kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Jika memang perlu ada kenaikan tarif PNBP dan PHP, besarannya diharapkan tidak terlalu membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.
”Di masa-masa sulit seperti ini, hendaknya kebijakan yang diambil bisa sama-sama menguntungkan. Negara tetap mendapatkan pajak, namun nelayan tidak keberatan sehingga nelayan bisa tumbuh, berkembang, dan memberdayakan diri,” ucap Kusnendro.
Selain mendukung para nelayan mengirim surat penolakan, DPRD Kota Tegal juga meminta kesempatan beraudiensi untuk menyampaikan keluh kesah nelayan. Permintaan audiensi akan diajukan ke Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koodinator Kemaritiman dan Investasi, serta Komisi IV DPR.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto senilai Rp 450 triliun. Namun, PNBP yang diterima negara hanya Rp 600 miliar pada 2020. Oleh karena itu, pihaknya menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur dengan target PNBP pada tahun ini Rp 1 triliun dan pada 2024 mencapai Rp 12 triliun (Kompas, 27/9/2021).