Pelibatan TNI/Polri Tak Sesuai Undang-Undang Pilkada
Pilkada serentak 2024 pada November 2024 menyisakan persoalan kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023. Sejumlah kalangan mengingatkan agar penjabat kepala daerah tak diisi kalangan TNI/Polri.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri belum mulai membahas persiapan pengisian kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2022 dan 2023. Namun, sejumlah kalangan mengingatkan agar penjabat kepala daerah tidak diisi dari kalangan TNI dan Polri karena berpotensi melanggar konstitusi dan mencederai demokrasi. Pelibatan TNI/Polri dalam institusi sipil juga dikhawatirkan menurunkan kepercayaan publik terhadap sipil.
Pemilihan Kepala Daerah 2024 serentak di seluruh Indonesia pada November 2024 menyisakan persoalan kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023. Sesuai Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kekosongan jabatan diselesaikan dengan pengangkatan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Selama 2022-2023 ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya, dengan 24 di antaranya merupakan gubernur.
Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/ wali kota, diangkat penjabat bupati/ wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selama 2022-2023 ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya, dengan 24 di antaranya merupakan gubernur. Jumlah ini terdiri dari 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2023. Sebagian sudah habis masa jabatannya pada Mei 2022.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan dihubungi dari Jakarta, Senin (27/9/2021), mengatakan, pengisian penjabat kepala daerah dilakukan berdasarkan UU Pilkada. Penjabat gubernur akan diusulkan pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat eselon I oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden, kemudian Presiden yang akan memilih dan menetapkannya. Sementara untuk penjabat bupati/wali kota, gubernur akan mengusulkan pejabat pimpinan tinggi pratama kepada Mendagri, kemudian Mendagri akan memilih dan menetapkannya.
”Terkait dengan wacana penunjukan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah, hingga saat ini Kemendagri belum membahasnya. Saat ini (Kemendagri) masih fokus untuk mempersiapakan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024,” katanya.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menilai, TNI/Polri bukan aparatur sipil negara (ASN) sehingga tidak bisa menjadi penjabat kepala daerah. Kedua institusi itu juga tidak mengenal jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama karena posisi itu hanya ada di struktur ASN.
Oleh sebab itu, pengisian penjabat kepala daerah tetap mesti berasal dari ASN agar tetap sesuai dengan UU Pilkada. Dalam hal ini, penjabat gubernur diisi dari Kementerian Dalam Negeri dan jika kurang bisa berasal dari kementerian lain.
Dalam menunjuk penjabat kepala daerah, lanjut Djohermansyah, pemerintah perlu mempertimbangkan kompetensi atau kemampuan memimpin pemerintahan sipil daerah. Selain itu, mereka juga harus mampu menghadapi tantangan menyukseskan Pemilu dan Pilkada 2024, mengatasi pandemi, dan berhadapan dengan DPRD. Potensi korupsi oleh penjabat kepala daerah juga perlu diantisipasi dengan menempatkan orang yang berintegritas.
”Kalau tidak punya kemampuan, pengalaman, dan jam terbang di bidang pemerintahan, kepemimpinan penjabat kepala daerah bisa menjadi tidak efektif dan roda pemerintahan terganggu,” katanya.
Pemerintah harus menegakkan supremasi sipil dalam menata demokrasi di Indonesia. Keberadaan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah bisa mencederai demokrasi.
Djohermansyah mengingatkan, pemerintah harus menegakkan supremasi sipil dalam menata demokrasi di Indonesia. Keberadaan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah bisa mencederai demokrasi karena mengembalikan dwifungsi ABRI yang saat reformasi telah dihilangkan.
”Dalih keamanan juga tidak bisa digunakan karena supremasi sipil tetap bisa terlaksana di daerah konflik. Urusan keamanan, itu yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim mengingatkan, pengisian penjabat kepala daerah harus mengikuti norma yang diatur dalam Pasal 201 Ayat (10) dan (11) UU No 10/2016 tentang Pilkada. ”Saya berharap nantinya Presiden dan Mendagri dalam menunjuk penjabat kepala daerah harus sesuai dengan aturan dan memperhatikan kebutuhan spesifik masing-masing daerah,” ucap politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Menurut dia, opsi pengisian penjabat kepala daerah dari unsur TNI dan Polri mesti tetap mengikuti ketentuan UU Pilkada. Sepanjang bisa memenuhi aturan, dalam hal ini ada struktur jabatan pejabat pimpinan tinggi madya dan pratama di TNI/ Polri, penunjukannya tidak akan jadi masalah. Bahkan, hal itu bisa dipertimbangkan untuk memimpin daerah-daerah dengan tingkat ancaman gangguan ketertiban yang tinggi.
”Apakah penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri ini melanggar aturan? Jawabannya tergantung apakah di dalam organisasi TNI/Polri ada struktur jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama. Kalau ada, berarti tidak melanggar aturan,” kata Luqman.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan, pelibatan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah bisa menjadi masalah. Sebab, karakter TNI/Polri berbeda dengan sipil di ASN.
Jika pola komando dari TNI/Polri diadopsi dalam pemerintahan sipil, hal itu dikhawatirkan menjadi masalah. Apalagi, mereka tidak memiliki basis legitimasi yang kuat karena tidak melalui pemilihan ataupun didukung partai politik. ”Yang diperlukan adalah pelayan, bukan komandan. Sementara karakter TNI/Polri adalah komando,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, TNI/Polri hanya bisa menduduki jabatan di 15 lembaga sipil tanpa harus menanggalkan statusnya. Namun, untuk menjadi penjabat kepala daerah, tidak ada struktur jabatan sesuai yang dipersyaratkan oleh UU Pilkada.
Ia juga mempertanyakan urgensi diperlukannya TNI/Polri untuk menduduki posisi penjabat kepala daerah. Sebab, masih banyak ASN yang dinilai memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam jabatan itu. Penjabat kepala daerah dari ASN pun bisa tetap melakukan kerja dengan baik di daerah konflik jika bekerja sama dengan TNI/Polri untuk mengatasi gangguan keamanan.
Dengan makin banyaknya keterlibatan TNI/Polri di ranah sipil, ia khawatir hal itu bisa kontraproduktif terhadap kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga sipil. Apalagi, pelibatannya tidak sesuai konteks yang tepat di luar kedaruratan. ”Kalau tidak tepat konteks kedaruratannya bisa menggerus kepercayaan publik terhadap kelompok sipil dalam mengelola negara,” ucapnya.