Hukuman hakim atas PT Mega Anugerah Sawit senilai total Rp 545 miliar diapresiasi. Nilai denda dalam putusan itu jauh melampaui tuntutan jaksa penuntut umum sebesar Rp 3 miliar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sengeti, Muaro Jambi, Jambi, pekan lalu, menuai apresiasi. Hakim telah menvonis korporasi yang lahannya mengalami kebakaran dengan denda jauh melampaui tuntutan jaksa penuntut umum. Putusan itu diharapkan memberi efek jera dan pembelajaran penting bagi para pemangku izin kelola lahan.
Hakim menghukum PT Mega Anugerah Sawit berupa sanksi denda dan biaya pemulihan lingkungan senilai total Rp 545 miliar. Nilai denda dalam putusan itu jauh melampaui tuntutan jaksa penuntut umum yang besarnya Rp 3 miliar.
Putusan itu mendapatkan respons positif dari pakar karhutla dan pegiat konservasi lingkungan. Spesialis forensik api dari IPB Universiy, Bambang Hero Saharjo, mengapresiasi putusan hakim PN Sengeti atas nilai denda yang lebih tinggi dari tuntutan JPU.
Vonis itu diharapkan menjadi pembelajaran bagi kalangan korporasi lain supaya jangan lagi mencoba-coba menggunakan api dalam mempersiapkan pembukaan lahan. ”Perusahaan juga agar lebih berhati-hati. Lahannya harus dijaga dari ancaman kebakaran,” ujarnya, Minggu (26/9/2021).
Dalam putusan itu, majelis hakim yang diketuai Sinta Gaberia Pasaribu (sebelumnya tertulis Susilo) beserta hakim anggota Gabriel Lase (sebelumnya tertulis Ninik Wahyuni) dan Eryani Kurnia Puspitasari (sebelumnya tertulis Samuel Tamba) menyatakan, perusahaan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. ”Karena kelalaiannya (perusahaan) mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,” kata Sinta dalam sidang putusan, Senin (20/9/2021) lalu.
Hakim lalu menjatuhkan hukuman kepada perusahaan itu berupa pidana denda Rp 3 miliar. Selain itu, pidana tambahan untuk pemulihan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 1.425 hektar dengan nilai Rp 542 niliar.
Perusahaan juga agar lebih berhati-hati. Lahannya harus dijaga dari ancaman kebakaran.
Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Sukmareni juga mengapresiasi hakim yang telah menjatuhkan denda tak semata atas kejadian kebakarannya. Akan tetapi, hakim juga mempertimbangkan upaya pemulihan lahan yang terbakar.
Kebakaran dan pemulihan lingkungan menjadi langkah penting untuk ekosistem. Hal itu menyentuh marwah keadilan ekologi. ”Jika nantinya ada proses banding atau hingga kasasi, hasil putusan agar semakin menguatkan vonis sebelumnya. Sehingga akan memberi efek jera yang kuat bagi korporasi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, kebakaran melanda areal gambut yang ditanami sawit oleh perusahaan itu di Desa Sipin Teluk Duren, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, tahun 2019. Kebakaran di sana juga menyebabkan kabut asap pekat sepanjang Juli hingga Agustus.
Atas kejadian itu, penyidik dan penuntut umum menilai ada unsur kelalaian perusahaan sehingga menyebabkan terjadi kebakaran hingga dilampauinya sejumlah baku mutu. Perusahaan dituntut denda Rp 3 miliar, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 99 Ayat (1) juncto Pasal 116 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Mewakili perusahaan, direktur operasional, Eko Gemika, menjadi terdakwa. Seusai putusan hakim, Eko tak banyak berkomentar. Ia hanya menjawab singkat, ”Kami masih pikir-pikir dulu.”
Kasus kebakaran hutan dan lahan telah menjerat sejumlah korporasi yang arealnya mengalami kebakaran luas. Sejumlah regulasi dapat menjerat, semisal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, dan juga UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Dalam hal kebakaran hutan, hal itu dapat dikaitkan dengan Pasal 78 yang menerangkan pembakaran hutan dengan sengaja. Pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Untuk kebakaran yang disebabkan kelalaian, ancaman pidananya paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 1,5 miliar, sesuai Ayat (4) pasal tersebut.
UU PPLH juga menyatakan, pembukaan hutan dengan cara membakar merupakan pelanggaran. Sanksinya penjara 3-10 tahun serta denda berkisar Rp 3 miliar hingga Rp 10 miliar.
Adapun larangan membakar dalam areal perkebunan mengacu pada UU Perkebunan. Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi Dwi Nanto mengingatkan penegak hukum agar segera melakukan eksekusi atas vonis-vonis yang telah ditetapkan bagi para pelaku karhutla. Harapannya, eksekusi itu dapat betul-betul berdampak terhadap pemulihan lingkungan.
Sejauh ini, lanjutnya, Walhi pun telah melakukan gugatan hukum atas kebakaran berulang pada dua lokasi korporasi di Muaro Jambi. Total luas kebakaran sepanjang 2015 hingga 2019 mencapai 56.165 hektar. Namun, kebakaran terparah dan terluas melanda kedua wilayah konsesi pada 2019, yakni 41.453 hektar.
Pihaknya menuntut tanggung jawab mutlak perusahaan. Nilai tuntutannya sebesar total Rp 200 miliar. Uangnya untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat kebakaran.
Ia berharap dengan tuntutan tanggung jawab mutlak ini, korporasi akan lebih serius menjaga lahannya sehingga kebakaran dan kabut asap tidak perlu berulang kembali.