Sempat Bebas, PT KS Divonis Lalai Atas Karhutla 3.000 Hektar di Kalteng
PT Kumai Sentosa, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, terbukti lalai dalam gugatan perdata. Perusahaan itu pun diminta memulihkan lahan yang terbakar dan ganti rugi kerusakan sebesar Rp 175 miliar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PANGKALAN BUN, KOMPAS — PT Kumai Sentosa, perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dinyatakan bertanggung jawab terhadap kebakaran lahan seluas 3.000 hektar. Perusahaan diminta memulihkan kawasan yang rusak dan membayar ganti rugi sebesar Rp 175 miliar. Sebelumnya, mereka pernah dinyatakan bebas murni dalam gugatan pidana.
PT Kumai Sentosa (KS) dinyatakan bebas dalam kasus pidana kebakaran lahan mereka oleh Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, pada Februari 2021. Namun, dalam putusan kasus perdata yang keluar pada Kamis (23/9/2021) di PN yang sama, majelis hakim yang diketuai Heru Karyono dengan anggota Erick Ignatius Christofel dan Mantiko Sumanda Moechtar menyatakan perusahaan bertanggung jawab atas kebakaran lahan itu. Kedua gugatan dilayangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Manajer Umum PT KS Nur Alam menjelaskan, pihaknya sampai saat ini masih belum mendapatkan salinan putusan secara lengkap dari PN Pangkalan Bun. Hal itu membuat tim hukum perusahaan belum menentukan sikap banding atau menerima putusan tersebut.
”Kami menghormati keputusan tersebut, tetapi belum bisa mengambil sikap. Tim hukum kami akan mengkaji lebih dalam apa yang menjadi pertimbangan hakim,” kata Nur Alam saat dihubungi dari Palangkaraya, Minggu (26/9/2021).
Menurut Nur Alam, putusan pengadilan cukup menarik karena sebelumnya dalam perkara pidana pihaknya dinyatakan bebas murni oleh pengadilan yang sama dengan hakim ketua serta anggota yang sama. ”Jadi, kasus ini akan sangat menarik untuk menjadi bahan kajian bersama,” ujarnya.
Namun, Nur Alam enggan berkomentar soal peristiwa kebakaran lahan yang melanda wilayahnya pada 2019. ”Tanggapan lebih lanjutnya nanti dari tim pengacara kami,” ujarnya.
Kebakaran lahan tersebut terjadi pada 2019 di Desa Sei Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng. Luas lahan yang terbakar lebih kurang 3.000 hektar yang merupakan wilayah perkebunan PT KS. Hal itu yang membuat KLHK menguggat ke Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Dalam siaran media, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan, pihaknya mengapresiasi putusan hakim. Menurut dia, melawan pelaku kejahatan lingkungan harus menggunakan semua instrumen hukum, sanksi, dan denda administratif, mencabut izin, ganti rugi, ataupun pidana penjara agar pelaku kejahatan jera.
”Kami sangat menghargai putusan ini. Untuk langkah hukum selanjutnya, kami akan mempelajari pertimbangan hakim dan amar putusan terlebih dahulu,” kata Rasio.
Ini menguatkan dugaan bahwa penyebab bencana asap atau karhutla bukan peladang tradisional dari masyarakat adat yang benar-benar membuka lahan untuk bertahan hidup.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo menjelaskan, saat ini terdapat 20 perusahaan yang digugat KLHK terkait kebakaran lahan, sebanyak 10 perusahaan sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Nilai gugatan mencapai Rp 3,7 triliun.
”Jumlahnya akan terus bertambah. Saat ini kami juga sedang menyiapkan proses pelaksanaan eksekusi atas perusahaan pembakar hutan dan lahan walaupun tantangan yang kami hadapi banyak,” kata Jasmin.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya Aryo Nugroho mengungkapkan, masyarakat sudah sempat kecewa dengan putusan majelis hakim atas putusan bebas murni dalam kasus pidana. Namun, kepercayaan masyarakat bisa terobati sedikit dari putusan perdata kali ini.
”Ini menguatkan dugaan bahwa penyebab bencana asap atau karhutla bukan peladang tradisional dari masyarakat adat yang benar-benar membuka lahan untuk bertahan hidup,” kata Aryo.
Di satu sisi, Aryo meminta agar eksekusi putusan itu bisa dilaksanakan segera dan diawasi. Menurut dia, banyak putusan bersalah dalam pidana ataupun perdata yang berkaitan dengan perusahaan perkebunan sawit eksekusinya jalan di tempat.
”Kami mendorong KLHK bersikap tegas dalam wewenangnya. KLHK bisa mencabut pelepassan kawasan hutan milik perusahaan itu, sedangkan BPN bisa mencabut izin HGU-nya sesuai dengan kebijakan yang ada,” tutur Aryo.
Aryo berharap putusan tersebut bisa memberi rasa jera kepada pemilik izin usaha agar tidak lagi melakukan pembakaran lahan ataupun menjaga lahannya juga lahan di sekitarnya agar dijauhi dari kebakaran.