Produksi Tenun Ikat Masuk Sekolah di NTT, Bahan Baku Kapas Jadi Kendala
Untuk melestarikan budaya tenun ikat, semua sekolah SMA sederajat di NTT diwajibkan menjadikan produksi tenun ikat sebagai muatan lokal. Namun, pemerintah diingatkan agar memperhatikan ketersediaan bahan baku kapas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah sekolah menengah atas atau sederajat di Nusa Tenggara Timur mulai mengajarkan cara menenun bagi para siswa di sekolah. Pihak sekolah melibatkan warga setempat sebagai mentor. Langkah ini diambil untuk melestarikan budaya tenun ikat yang kian tergerus modernitas.
Thomas Alfa Edison, Kepala SMA Negeri 1 Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, lewat sambungan telepon, Jumat (24/9/2021), menuturkan, sejak awal tahun pelajaran 2021/2022, siswa sekolah itu telah menenun sekitar 50 lembar kain tenun. Setiap kain berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter.
Selain kain, mereka juga menenun puluhan syal, tenunan berukuran lebih kecil yang biasa digantung di leher. ”Tenun itu dikerjakan oleh siswa berkat bimbingan dari para ibu di kampung dekat sekolah. Setiap dua hari dalam seminggu, para ibu memberi semacam les khusus,” katanya.
Hasil dari menenun itu sebagian dipakai di sekolah, seperti dijadikan kain meja. Selain itu, ada pula yang disimpan untuk dijadikan cenderamata bagi tamu yang berkunjung. Selanjutnya, jika hasilnya semakin banyak, bisa dijual di beberapa toko di Kota Kupang atau dengan sistem daring.
Menurut Thomas, hampir semua murid perempuan di sekolah memiliki keterampilan menenun. Hal itu lantaran mereka tumbuh dalam lingkungan tradisonal yang setiap hari berjumpa dengan aktivitas menenun. Di setiap rumah yang ada perempuan berusia lanjut, pasti terdapat alat tenun.
Hampir semua murid perempuan di sekolah memiliki keterampilan menenun. Hal itu lantaran mereka tumbuh dalam lingkungan tradisonal yang setiap hari berjumpa dengan aktivitas menenun.
”Namun, mereka belum berani mencoba. Ada juga anggapan bahwa anak kecil belum boleh menenun. Ini yang kami luruskan bahwa setiap anak perempuan harus bisa menenun sehingga kelak saat remaja, dewasa, dan berkeluarga dia tidak perlu belajar lagi,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengatakan, pemerintah melihat tenun ikat mulai tergerus modernitas. Banyak kalangan sudah meninggalkan tradisi tenun. Untuk menghidupkan kembali, pemerintah mendorong hal itu dimulai dari lembaga pendidikan.
Ia telah menginstruksikan kepada 903 satuan pendidikan SMA atau sederajat agar mulai menjadikan tenun ikat sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib. Hampir semua sekolah sudah memulainya secara teori ataupun praktik. ”Nanti akan dipantau. Bagi sekolah yang tidak melakukan, akan ada sanksi,” ucap Linus.
Linus berjanji akan menjembatani agar hasil karya tenun ikat dari sekolah dapat dipajang di galeri Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTT di Kota Kupang. Dekranasda merupakan tempat pameran sekaligus penjualan hasil karya industri kreatif masyarakat.
Kebijakan lain yang mendukung tenun ikat, lanjut Linus, adalah mewajibkan semua guru dan pegawai di perkantoran menggunakan tenun ikat pada hari-hari tertentu. Seperti guru, mereka wajib bersarung setiap Kamis. Di satu sisi melestarikan budaya tenun ikat, di sisi lain hasil karya petenun dapat terserap.
Kapas terakhir
Hampir semua etnis di NTT memiliki motif tenun ikat. Etnis dimaksud mulai dari Timor, Rote, Sabun, Sumba, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Lamaholot, hingga Alor. Setiap etnis terdapat subetnis yang mewariskan motif tenun dengan corak berbeda pula. Seperti Timor, di dalamnya ada suku Amarasi, Dawan, dan Tetun.
Menurut Direktur Circle of Imagine Society (CIS) Timor Haris Oematan, pemerintah jangan hanya memperhatikan proses pengerjaan tenun hingga pemasaran. Pemerintah perlu memikirkan jalan keluar mengatasi semakin minimnya bahan baku kapas.
Sejauh ini belum ada kebijakan pemerintah terkait budidaya kapas. Setiap sentra tenun ikat didorong diberi dukungan anggaran budidaya kapas.
Haris melihat, sejauh ini belum ada kebijakan pemerintah terkait budidaya kapas. Untuk itu, ia mendorong setiap sentra tenun ikat diberi dukungan anggaran budidaya kapas. Kepala desa bisa menggunakan dana desa untuk kepentingan tersebut. ”Belakangan ini hampir semua menggunakan benang dari toko,” katanya.
Temuan Kompas pada 2020 di pedalaman Kabupaten Malaka, misalnya, penggunaan benang dari kapas sangat minim. Seorang petenun, Margareta Muti (75), menuturkan, kapas yang digunakan saat itu mungkin yang terakhir. Kapas itu pun dia peroleh dari Pulau Flores.
Untuk satu lembar kain dengan panjang 3 meter dan lebar 1 meter, diperlukan sekitar tiga karung kapas. Karung yang dipakai adalah karung beras ukuran 50 kilogram. Selesai dipintal, benang direndam dengan berbagai ramuan. Perendaman itu berlangsung selama 3 hari, kemudian benang dikukus. Proses itu diulangi sebanyak lebih dari tiga kali. Selanjutnya benang dijemur.