Pandemi Hambat Percepatan Penanganan Kemiskinan di Jawa Timur
Pandemi Covid-19 menghambat percepatan penanganan kemiskinan di Jawa Timur sehingga perlu berbagai program terobosan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Serangan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 menghambat percepatan penanganan kemiskinan di Jawa Timur. Angka kemiskinan terkini 11,4 persen atau berkurang 0,06 persen dari sebelumnya 11,46 persen.
Pengurangan jumlah orang miskin itu, menurut Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak kurang signifikan. ”Tidak mudah menangani kemiskinan, apalagi dalam situasi pandemi yang memperburuk situasi ekonomi secara umum,” katanya seusai Rapat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan di Surabaya, Kamis (23/9/2021).
Dalam rapat itu hadir Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Suprayoga Hadi, pejabat teras Pemprov Jatim, dan para wakil bupati/wakil wali kota se-Jatim. Para wakil kepala daerah itu adalah Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota.
Mengutip data Badan Pusat Statistik Jatim, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sebanyak 4,57 juta jiwa atau 11,4 persen dari populasi. Jumlah itu berkurang 13.200 jiwa dibandingkan dengan situasi pada September 2020 dengan jumlah 4,58 juta jiwa warga miskin.
Catatan Kompas, pengurangan jumlah warga miskin sebanyak 13.240 jiwa itu mencapai sepertiga hingga seperempat dari pengurangan populasi selama masa pandemi kurun Januari-Juli 2021. Seperti diketahui pengurangan populasi selama pandemi selama kurun itu mencapai 49.890 jiwa
Adapun dari 4,57 juta jiwa warga miskin, sebanyak 1,71 juta jiwa di antaranya miskin ekstrem atau amat miskin. Jumlah warga miskin ekstrem di Jatim terbanyak setelah Jawa Barat secara nasional.
”Jika disandingkan dengan angka pengangguran yang 5,17 persen, berarti sebagian dari warga miskin ternyata bekerja,” kata Emil. Secara statistik, jumlah penduduk miskin memang berkurang meski tidak signifikan. Namun, persentase warga miskin dua kali lipat dari pengangguran. Pemberian pekerjaan untuk pengentasan kemiskinan dalam masa pandemi ini ternyata belum optimal sehingga perlu diintervensi dengan program khusus.
Emil melanjutkan, suatu studi kemiskinan di Jatim yang diketahuinya, pernah mengungkapkan fakta mengejutkan. Sebanyak 75 persen warga terkategori miskin ternyata bekerja penuh waktu. Artinya, penghasilan dari pekerjaan gagal menyejahterakan masyarakat miskin. Kebijakan penanganan kemiskinan tidak melulu dengan menyediakan pekerjaan, tetapi memperhatikan skema upah atau honor yang menjamin seseorang tidak akan jatuh miskin.
Jika disandingkan dengan angka pengangguran yang 5,17 persen, berarti sebagian dari warga miskin ternyata bekerja.
Sebelumnya, dalam kesempatan terpisah, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pernah mengatakan, pandemi Covid-19 menghantam sektor kehidupan di kota daripada desa. Di desa, secara umum, penduduk miskin berkurang 33.200 jiwa, tetapi di kota warga miskin tambah 20.000 orang. Dari sinilah, secara umum, pengurangan warga miskin di Jatim hanya 13.200 jiwa karena kemiskinan menggerogoti kehidupan kota.
Khofifah juga mengatakan, situasi kehidupan di desa jelas berbeda dengan di kota. Di desa, pengeluaran terkait gaya hidup bisa ditekan sehingga rendah, sementara di kota sulit. Di sisi lain, bantuan dari pemerintah terhadap warga terdampak pandemi di kota dan desa nilainya setara misalnya Rp 200.000 per bulan.
Dalam pandemi, pemerintah sempat menerapkan pembatasan sosial yang menghentikan sementara aktivitas ekonomi. Dengan bantuan Rp 200.000 per bulan, warga desa dengan pengeluaran tidak tinggi bisa lebih mampu bertahan daripada warga terdampak di kota. Dari sanalah kemudian Pemprov Jatim menghadirkan program bantuan suplemen bagi 333.000 keluarga di 600 kelurahan di Jatim. Nilainya, separuh dari bantuan pemerintah pusat terhadap mereka.
Suprayoga mengatakan, intervensi berupa bantuan suplemen atau pelengkap yang ditempuh Jatim merupakan terobosan penting sehingga dalam masa pandemi kemiskinan tidak kian parah. Tanpa terobosan itu, amat mungkin kemiskinan bertambah.
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan, situasi pandemi yang memiskinkan masyarakat menambah tekanan dan frustrasi sosial. Bantuan memang bisa agak melegakan. Namun, yang penting ditelisik adalah sejauh mana bantuan benar-benar menyasar sasaran yang tepat.
Warga terdampak pandemi, lanjut Bagong, berspektrum luas. Di kota-kota, karena pandemi, seorang lelaki berkeluarga yang tinggal di kompleks perumahan diputus pekerjaannya. Karena tak bekerja, penghasilan pun tiada sehingga menyambung hidup dari tabungan atau kerja serabutan. Orang-orang terdampak seperti itulah yang ”tiba-tiba” miskin, tetapi terlewat dari kategori memerlukan bantuan.
”Di sisi lain, ketika situasi pandemi membaik, perekonomian juga membaik sehingga mulai terjadi inflasi. Padahal, sebagian warga terdampak belum pulih karena pekerjaannya belum kembali,” kata Bagong.