Masa Depan Kendaraan Listrik (Seharusnya) untuk Semua
Kendaraan listrik adalah industri masa depan. Klaim ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masa depan dunia harus dijamin sejak dini.
Jawa Barat baru saja menjadi rumah bagi pabrik baterai listrik, HKML Battery Indonesia, di Proyek Karawang New Industrial City, Karawang, Rabu (15/9/2021). Peletakan batu pertama dilakukan Presiden Joko Widodo.
HKML Battery adalah pabrik baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Nilai investasi pabrik mencapai 1,1 miliar dollar AS atau setara Rp 15 triliun (setara Rp 14.240 per Dollar AS). Pembangunannya ditargetkan terealisasi dalam waktu dua tahun.
Kehadiran HKML Battery diklaim bakal menguntungkan Indonesia. Bisa mengubah nikel mentah menjadi barang jadi dengan nilai tambah berlipat. Indonesia adalah raksasa dengan cadangan nikel besar dunia.
Dalam tulisan ”Transportasi Hijau yang Belum Hijau”, Nugroho Adi Sasongko menulis, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2019) dan Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (2020) menyebutkan, Indonesia memiliki 72 juta ton bijih nikel. Jumlah itu setara sekitar 52 persen dari total cadangan nikel dunia, lebih kurang 139 juta ton.
Baca juga: Babak Baru Industri Mobil Listrik Nasional
Saat meresmikan pabrik itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, hilirisasi industri nikel akan meningkatkan nilai tambah biji nikel. Jika diolah menjadi cell baterai, nilainya meningkat 6-7 kali lipat. ”Jika jadi mobil listrik, nilai tambahnya 11 kali lipat,” ucapnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang ikut menemani Presiden mengatakan, keberadaan pabrik ini menjadi bukti Jabar masih dipercaya investor. Meski dibayangi pandemi Covid-19, investasi tetap masuk dan berjalan dengan baik.
”Ada peluang puluhan ribu tenaga kerja di sektor ini,” kata Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil.
Emil berpotensi diuntungkan dengan keberadaan pabrik baterai. Selain menggenjot investasi, pabrik itu diyakini juga memuluskan keinginan Jabar menjadi provinsi terdepan dalam mobil listrik, moda transportasi masa depan.
Keinginan itu terlihat lewat Peraturan Daerah Jabar No 2 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah. Di sana ada target penggunaan kendaraan listrik 500.000 unit dan bauran energi baru terbarukan (EBT) 20,1 persen pada 2025.
Peluang ini lantas ditindaklanjuti Emil lewat kerja sama Letter of Intent antara Pemprov Jabar dan University of Nottingham, Inggris, di Tangerang, Banten. Penyelenggaraannya dilakukan pada hari yang sama dengan peresmian pembangunan baterai. Isinya, bersama-sama menurunkan emisi di bidang transportasi lewat konversi ke kendaraan listrik dan penggunaan EBT.
Kerja sama itu mencakup pengembangan model usaha stasiun pengisian kendaraan listrik, implementasi kendaraan listrik, dan pemanfaatan energi terbarukan. Selain itu, ada juga peningkatan kapasitas aparatur negara menurunkan emisi gas rumah kaca.
Presiden Nottingham of University Professor Shearer West CBE menekankan, kerja sama ini bagian dari upaya bersama menyelesaikan masalah terbesar dunia, yakni perubahan iklim. West mengatakan akan membantu mendesain, mengembangkan infrastruktur kendaraan listrik di Jabar dan Indonesia, hingga membantu meningkatkan pengertian batasan dan target reduksi karbon.
Potensi pencemaran di Jabar terbilang terus meningkat. Penggunaan energi fosil terus meningkat. Pada tahun 2017, total konsumsi mencapai 138,81 Million Barrels of Oil Equivalent (MBOE) dan meningkat menjadi 247,85 MBOE di tahun 2020.
Selain perguruan tinggi, kerja bersama swasta juga digalang. Salah satu langkahnya ialah saat Pemprov Jabar menerima tiga mobil listrik dari Hyundai, raksasa otomotif Korea Selatan, akhir tahun 2020. Presiden Direktur PT Hyundai Motors Indonesia Sung Jong Ha menyerahkan dua IONIQ Electric dan satu KONA Electric untuk kendaraan operasional Pemprov Jabar.
Emil mengatakan, efisiensi biaya menjadi salah satu alasan menggunakan mobil listrik. ”Untuk 300 kilometer, menggunakan bahan bakar minyak bisa Rp 300.000. Dengan jarak sama, kendaraan listrik cukup Rp 50.000,” ujar Emil. Harga mobil sekitar Rp 600 juta per unit juga disebutnya terjangkau.
Data Hyundai menyebutkan, IONIQ mempunyai kapasitas sebesar 38,3 kilowatt hour (kWh) dan KONA sebesar 39,2 kWh. Berdasarkan perhitungan biaya penggunaan listrik, IONIQ dan KONA masing-masing memiliki efisiensi listrik 0,138 kWh/km dan 0,150 kWh/km serta mampu menempuh jarak 373 km dan 345 km.
”Ke depan, kami juga akan menggunakan lebih banyak mobil listrik. Penggunaan motor listrik juga akan dilakukan,” kata Emil.
Jabar jelas diuntungkan apabila industri mobil listrik melaju mulus. Harapan serupa juga pasti diinginkan rakyat di daerah lain yang ikut andil dalam industri ini.
Sejumlah daerah setidaknya sudah menikmati kekayaan alam jatuh dari langit ini. Peneliti Litbang Kompas Agustina Purwanti dalam tulisan ”Di Balik Pertumbuhan Ekonomi Tiga Provinsi Tangguh”, mengatakan, dua daerah yang memanfaatkan nikel ialah Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Di Maluku Utara, hampir separuh (7,95 persen) dari total pertumbuhan 16,89 persen juga disumbang sektor pertambangan dan penggalian. Tingginya pertumbuhan sektor tersebut sejalan dengan optimalisasi produksi smelter di Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan. Produksi dan ekspor feronikel yang masif mendorong peningkatan produksi nikel mentah dan aktivitas pertambangan tersebut.
Pertumbuhan ekonomi di Sulteng juga didominasi industri pengolahan. Kontribusinya 9,28 persen dari total pertumbuhan 15,39 persen. Pada triwulan II-2021, industri pengolahan tumbuh 35,79 persen secara tahunan.
Pergerakan industri pengolahan tersebut tak lepas dari sektor pertambangan dan penggalian. Bahkan, salah satu industri di Kabupaten Morowali merajai produksi nikel olahan Indonesia. Sulteng juga salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia. Izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki sudah sebanyak 85 IUP.
Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat semua orang sejahtera. Selama ini, nikmat sektor pertambangan dan penggalian rentan dirasakan segelintir orang. Di Malut, misalnya, terdapat 15.302 orang yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2020. Padahal, total tenaga kerja saat itu mencapai 552.502 orang. Artinya, hanya 2,77 persen tenaga kerja yang terserap di salah satu sektor unggulan itu.
Begitu pun Sulteng. Sektor pendongkrak perekonomian itu hanya menyerap 1,34 persen dari total tenaga kerja 1,5 juta orang. Padahal, total PDRB sektor tersebut mencapai Rp 22,04 triliun pada 2020.
Saya ingin rakyat di daerah penghasil energi ini (berpikir) ternyata bumi kita kaya dengan sumber daya energi, (sehingga) korelasinya dengan aspal jalan yang lebih panjang, lebih banyak, sekolah lebih baik. (Ridwan Kamil)
Kondisi serupa terjadi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Tingginya potensi nikel mencapai 46 miliar wet metric ton (Wmt) belum mampu membuat banyak warga bahagia.
Angka kemiskinan terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik Sultra menunjukkan, angka kemiskinan daerah ini pada 2017 sebesar 13,94 persen dengan 8.400 warga miskin. Pada 2018, angka kemiskinan kembali naik menjadi 8.800 orang atau 14,22 persen dari total jumlah penduduk.
Ridwan Kamil, yang juga Ketua Umum Asosisasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET), pernah menyampaikan kekhawatiran itu pada Maret 2021. Dia menyatakan, kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil migas dan energi perlu ditingkatkan. Angka pengangguran tinggi dan infrastruktur yang kurang memadai masih menjadi persoalan.
”Saya ingin rakyat di daerah penghasil energi ini (berpikir) ternyata bumi kita kaya dengan sumber daya energi, (sehingga) korelasinya dengan aspal jalan yang lebih panjang, lebih banyak, sekolah lebih baik,” katanya.
Emil pun menekankan pentingnya penguatan sumber daya manusia. Warga tidak boleh hadir sebagai penonton, melainkan harus tampil sebagai subyek yang berdaya secara optimal melalui peningkatan capacity building, pendidikan, seminar, dan transfer teknologi.
”Kami adalah subyek, kalau ada perusahaan besar dan global datang ke daerah, maka SDM-nya (harus) dari daerah itu juga,” tuturnya.
Keinginan Emil patut ditunggu bukti nyatanya. Pengelolaan yang baik menentukan masa depan daerah. Bila keliru, manusia dan lingkungannya pasti terancam.
Nugroho Adi Sasongko menambahkan, setidaknya ada empat dampak dari industrialisasi kendaraan listrik. Hal itu adalah bahan bahaya dan beracun (B3), konsumsi energi masif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang luar biasa besar, dan kerusakan ekosistem.
Selain emisi gas rumah kaca (GRK), juga ada sejumlah bahaya lain yang dampaknya juga relatif sangat besar terhadap manusia dan lingkungan. Di sisi lain, masih banyak yang belum diketahui dampak jangka panjang daur ulang limbah baterai.
Dampak itu sudah menyapa warga dan aktivis lingkungan di kawasan penambangan nikel. Dalam harian Kompas, 23 Februari 2016, disebutkan nelayan di Teluk Buli, Halamhera Utara, terancam eksploitasi perusahaan tambang nikel.
Teluk sulit menghindari aliran sedimen yang terbawa ketika banjir atau yang jatuh saat diangkut dengan kapal. Birunya perairan terkadang berubah menjadi kemerah-merahan setelah tercampur material itu.
Selain itu, dalam harian Kompas, 10 Januari 2020, disebutkan, Pulau Obi di Maluku Utara dan perairan Morowali di Sulawesi Tengah jadi sasaran tempat pembuangan tailing atau sisa tambang. Dua perairan itu akan ”dikorbankan” demi memenuhi investasi pertambangan bijih nikel, bahan baku baterai mobil listrik.
Moda transportasi listrik sebagai industri masa depan seharusnya bisa dinikmati merata semua daerah. Lebih dari sekadar nama besar mobil dan motor yang diproduksi, dari mana komponen-komponen pendukungnya berasal harus ikut membawa serta prinsip keadilan itu.
Baca juga: Transportasi Hijau yang Belum Hijau