Selama pandemi Covid-19, banyak anak sekolah di NTT terpaksa meninggalkan bangku pendidikan dan banting setir jadi tulang punggung keluarga dengan menjadi pekerja kasar di Kota Kupang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Rio (13), siswa salah satu sekolah menengah pertama di Kabupaten Timor Tengah Utara, menjadi buruh bangunan di Kota Kupang, NTT, Kamis (16/9/2021). Ia mengenakan celana seragam pramuka.
Dengan sekuat tenaga, Rio mengangkat satu zak semen seberat 40 kilogram kemudian menumpahkan isinya ke atas tumpukan pasir dan kerikil. Material itu dicampur, diguyur air, kemudian diaduk lagi menggunakan sekop. Pekerjaan tersebut terlalu berat untuk anak berusia 13 tahun yang kini duduk di kelas 8 sekolah menengah pertama itu.
Kerja membalik campuran sungguh tak sepadan dengan ukuran fisik Rio yang masih terlalu mungil. Bobot tubuhnya tidak lebih dari 35 kilogram dengan tinggi sekitar 130 sentimeter. Ia memaksakan diri bekerja sebagai buruh bangunan di salah satu lokasi proyek di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, seperti ditemui pada Kamis (16/9/2021).
Rio ternyata lari dari kampungnya di Kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 155 kilometer dari Kota Kupang. Tanpa sepengetahuan orangtuanya, suatu subuh pada dua pekan sebelumnya, ia menumpang bus menuju Kupang dengan waktu tempuh sekitar 5 jam. Ia berbekal hanya dua pasang baju dan celana. Salah satunya celana seragam pramuka yang kini penuh noda campuran semen.
Ia mengikuti ajakan Klemens (17), juga dari kampung yang sama. Klemens kini duduk di bangku kelas 11 sekolah menengah atas. Sebelum berangkat dari kampung, mereka sudah tahu apa yang akan mereka kerjakan di Kupang, yakni jadi buruh bangunan membuat tembok salah satu rumah. Setiap hari mereka bertugas mencampur semen.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Rio (13), siswa salah satu SMP di Kabupaten Timor Tengah Utara, menjadi buruh bangunan di Kota Kupang, NTT, Kamis (16/9/2021). Ia mengenakan celana seragam pramuka.
Sesuai target pemborong, mereka akan menyelesaikan pekerjaan itu selama lebih kurang satu bulan. Praktis, mereka tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh dengan sistem dalam jaringan atau online. Tak ada telepon genggam dan tentu tak ada waktu sama sekali. Mereka bekerja mulai pukul 08.00 hingga 18.00.
Sesuai perjanjian, mereka akan dibayar Rp 1 juta per orang. Biaya makan ditanggung pemborong. ”Selesai kerja ini kami langsung pulang dan lanjut sekolah lagi. Tinggal di sana juga sama saja. Kegiatan belajar tidak jelas, jadi lebih baik kami ke kota untuk cari uang, bantu orangtua,” kata Rio. Ayah Rio saat ini menjadi pekerja migran di Malaysia.
Klemens menambahkan, dirinya kesal dengan pihak sekolah yang setiap bulan memungut iuran komite sebesar Rp 200.000. Padahal, dalam satu pekan, mereka mengikuti pembelajaran tatap muka hanya satu kali. Selebihnya, mereka diminta belajar dan mengerjakan tugas di rumah dalam pengawasan orangtua.
”Kalau dihitung, satu bulan hanya sekolah empat hari, tapi bayar uang komite penuh. Padahal, sekolah kami sekolah negeri dan sekolah tidak kasih keluar biaya banyak selama Covid-19. Mama saya mengeluh tidak bisa bayar uang sekolah, jadi saya cari uang,” tutur Klemens, yang ayahnya juga pekerja migran di Malaysia.
Selama dua pekan terakhir, keberadaan Rio dan Klemens sudah diketahui pihak sekolah masing-masing. Atas desakan sekolah, mereka dihubungi keluarga dan diminta segera pulang, tetapi mereka menolak. Mereka akan pulang setelah borongan pekerjaan selesai. Pulang dengan membawa uang Rp 1 juta.
Selama jadi buruh bangunan, banyak yang berubah dari keduanya. Wajah mereka terbakar matahari. Tubuh mereka semakin kurus. Mereka juga mulai belajar merokok. Setiap hari, paling sedikit satu orang menghabiskan empat batang. Mereka semakin sering terbatuk-batuk saat menyekop campuran.
Tulang punggung keluarga
Di sudut lain Kota Kupang, seperti di Jalan Polisi Militer, banyak anak berjualan kelapa muda. Dengan cekatan, mereka membelah kelapa. Aleks (13), siswa SMP dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, misalnya, menjual kelapa salah satu pedagang.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Anak sekolah jualan kelapa muda di Kota Kupang, NTT, Jumat (17/9/2021). Mereka memanfaatkan waktu kosong di sela-sela pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19.
Setiap akhir pekan, ia bisa meraup penghasilan hingga Rp 1 juta. Dengan harga satu buah kelapa Rp 6.000 itu, ia pernah membelah lebih kurang 167 buah kelapa per hari. Aleks mendapat bagian Rp 500 per buah.
”Uang saya pakai beli beras, gula pasir, dan minyak goreng, terus saya kirim ke mama saya di kampung,” ujar Aleks. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggalkan dirinya dan ibunya, pergi menikah lagi.
Sejak pemberlakuan pembelajaran jarak jauh selama pandemi, Aleks tidak aktif. Ia memilih pergi ke Kupang untuk mencari uang. Kini, ia tak mau kembali ke kampung untuk melanjutkan sekolah. Ia ingin tetap bekerja mencari uang untuk membantu ibunya.
Tory Ata dari Lembaga Perlindungan Anak NTT mengatakan, selama pandemi, banyak anak ikut bekerja mencari uang. Selain jadi buruh bangunan dan penjual kelapa, banyak juga yang menjadi penjual keliling dan penjaja koran di lampu merah. Tak ada angka pasti jumlah anak dimaksud.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Seorang siswa bermain di atas pohon di halaman SD Kristus Raja, Kampung Baun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT, Rabu (25/8/2021). Laju penularan Covid-19 mereda, semua sekolah di daerah itu sudah menerapkan pembelajaran tatap muka.
Menurut dia, anak yang sudah memiliki penghasilan akan merasa nyaman dengan kondisi itu. Mereka akan sulit diajak kembali lagi ke ruang kelas. Hal ini akan menambah deretan anak putus sekolah di NTT. Sebelum pandemi Covid-19 berkecamuk, hingga tahun 2019, jumlah anak yang putus sekolah sebanyak 111.000 orang.
Dari sisi kesehatan, pertumbuhan fisik anak-anak pekerja kasar itu akan mengalami gangguan. Mereka sulit tumbuh tinggi. Kebiasaan merokok dan suka minuman beralkohol juga membuat mereka akan terserang berbagai penyakit.
Belum lagi tekanan mental seperti diminta harus bekerja cepat dengan beban kerja yang berat. Juga karena dipaksa keluar dari zona nyaman anak-anak dan harus menghadapi serta mengatasi masalah yang seharusnya ditangani orang dewasa yang bertanggung jawab pada mereka.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengakui, pembelajaran jarak jauh di sejumlah daerah tidak berjalan efektif lantaran berbagai kendala, terutama media pembelajaran. Kini, Covid-19 mulai reda, ia meminta sekolah terutama di pedalaman segera memulai pembelajaran tatap muka. Untuk jenjang SMA sederajat, sudah dimulai satu bulan terakhir.
Namun, kebijakan ini belum tentu mujarab membantu anak-anak yang terjebak dalam kemiskinan dan terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Seorang siswi berjalan keluar dari ruang kelas SMA Negeri 4 Takari di Desa Oelnaineno, Kabupaten Kupang, NTT, Sabtu (22/7/2021). Bangunan sekolah itu didirikan secara swadaya oleh masyarakat.
Berdasarkan berita resmi statistik pada 15 Februari 2021, seperti dikutip dari kanal Badan Pusat Statistik NTT, di provinsi ini pada September 2020, ada tambahan 44.070 penduduk miskin dibandingkan September 2019. Total kini ada 1,17 juta penduduk miskin. Angka ini menempatkan NTT pada posisi ketiga provinsi termiskin di Indonesia.
Meningkatnya kemiskinan bagian dari dampak pandemi yang dirasakan di seluruh Nusantara. Khususnya di daerah miskin seperti NTT, anak-anak dari keluarga kurang mampu kian terpukul. Butuh kepedulian nyata pemerintah juga sesama warga untuk bisa mengentaskan Rio, Klemens, Aleks, dan anak-anak lain dari keterpurukan. Jika hak anak terpenuhi, termasuk hak pendidikan dan perlindungan, lingkaran kemiskinan akan lebih mudah diputus.