Jejak Peristiwa 30 September dan Pergulatan Warga Marjinal di Pelosok Cilacap
Kuburan massal peristiwa September 1965 di Cipari, Cilacap, Jawa Tengah, menyimpan kisah kelam. Di tempat yang sama ada pula perjuangan warga marjinal mendapatkan kembali pengakuan atas lahannya.
Setiap memasuki akhir September, ingatan masyarakat kembali pada salah satu episode kelam bangsa pada 30 September 1965. Di pelosok Cilacap, Jawa Tengah, jejak-jejak kengerian itu berserak di antara perjuangan warga marjinal mendapat kesejahteraan.
Hujan bulan September melingkupi sepanjang perjalanan menembus perbukitan di Kecamatan Cipari, Cilacap. Batuan tajam berhamburan, terlepas dari aspal. Jalanan curam berkelok di tengah perkebunan karet itu berujung ke Singaranting, salah satu lokasi yang diduga jadi kuburan massal korban geger politik 30 September 1965.
”Itu makamnya di sebelah kiri dan kanan kalenan (selokan). Mungkin ada ratusan orang karena katanya setiap malam ada satu sampai dua truk yang datang untuk mengangkutnya ke sini,” kata Misrun (66), warga Dusun Pitulasi, Desa Mekarsari, Cipari, Kabupaten Cilacap, Selasa (14/9/2021).
Misrun mengisahkan, ketika dia berusia sekitar 10 tahun, ayahnya yang sehari-hari bekerja di perkebunan karet sebagai penyadap diberi tugas merapikan timbunan untuk kuburan massal tersebut. Ayah Misrun diminta merapikan gundukan-gundukan tanah yang belum rapat. Kata Misrun, ayahnya kerap melihat tangan, kaki, atau bahkan kepala menyembul dari dalam gundukan.
Masih jelas dalam memori Misrun, setelah bulan September 1965, dia kerap mendengar suara letusan tembakan karena lokasi tempat tinggalnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari pemakaman massal tersebut. Ia mengenang, suara tembakan itu biasanya terdengar setelah truk pengangkut melintas. ”Kadang pukul sembilan malam, kadang ada yang terdengar pukul tiga pagi,” ucapnya.
Lokasi kuburan massal ini berada di sebelah kuburan umum warga setempat. Namun, kuburan massal ini tidak memiliki tanda khusus seperti batu nisan atau kayu apa pun. Hanya beberapa warga setempat yang memahami persisnya lokasi ini.
Sepintas, lokasi ini berada sekitar 300 meter dari sebuah pondok kecil di tepi jalan. Pondok milik perkebunan karet tersebut berukuran 2 meter x 1 meter, punya 4 tiang kayu, beratap seng berkarat, dan dilengkapi tulisan ”TPH Singaranting”. TPH singkatan dari tempat penumpukan hasil. ”Lokasinya di pereng-pereng (lereng) mungkin supaya suara letusan tembakan tidak terdengar luas,” tutur Parmono (57), warga lainnya.
Lihat juga: ”Kompas” dan Tragedi Mangkok Merah
Kawasan ini dikenal wingit atau angker oleh warga sekitar. Baik Misrun maupun Parmono menyebutkan, di jalan perkebunan dan sekitar kuburan massal ini saat malam hari sering terdengar suara rintihan atau tangisan orang.
”Seperti ada suara minta tolong, menangis. Suaranya campur, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan. Itu juga katanya ada anaknya, bayi ikut dikubur di situ,” tutur Parmono.
Karena menyeramkan, Parmono yang sejak kecil terbiasa ikut membantu kakaknya menyadap karet di sekitar kuburan massal ini mengaku tidak berani menyadap di lokasi tersebut jika matahari belum terbit. Demikian halnya para penyadap lain yang sehari-hari berangkat pukul 04.00 dan kembali ke rumah pukul 12.00.
”Saya dulu dengan kakak tidak pernah langsung menyadap di dekat kuburan ini. Memilih menyadap karet di tempat yang jauh dulu, baru setelah ada matahari, mendekat ke sini,” kenang Parmono.
Parmono yang sejak kecil terbiasa ikut membantu kakaknya menyadap karet di sekitar kuburan massal ini mengaku tidak berani menyadap di lokasi tersebut jika matahari belum terbit.
Warga setempat tidak mengetahui secara persis siapa saja yang dieksekusi dan dikuburkan di sana saat meletus peristiwa 1965. Proses eksekusi berlangsung sekitar dua bulan. Menurut cerita yang beredar di warga, orang-orang yang dieksekusi berasal dari Tegal, Boyolali, dan Ciamis (Jawa Barat).
Ketua Presidium Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap Petrus Sugeng menyebutkan, di kawasan Kecamatan Cipari ada sekitar 10 lokasi kuburan massal bagi korban politik pada 1965 itu. Total korban diperkirakan mencapai 200 orang. Dikutip dari Kompas.com (3/10/2019), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) menyebutkan, total ada 346 titik kuburan massal tersebar di sejumlah daerah baik di Jawa maupun Sumatera. Kondisi kuburan massal itu beragam, ada yang dijaga warga setempat, ada yang di tengah hutan, bahkan ada yang akan dijadikan mal.
Baca juga: Belajar dari Sejarah Kelam Masa Lalu
Hak tanah
Di sekitar kawasan kuburan massal ini terselip perjuangan warga setempat untuk mendapatkan keadilan terutama pengakuan atas tanahnya. ”Kalau diruntut dari awal rampasan-rampasan tanah di Jawa, terutama saya yang lebih tahu di sekitar Cilacap, itu berangkat dari peristiwa-peristiwa politik,” tutur Sugeng.
Hingga kini, kata Sugeng, setidaknya Serikat Tani Mandiri masih memperjuangkan sekitar 8.000 hektar tanah dari 17.000 warga yang telah dikuasai negara. Di bawah serikat tani ini ada pula Kelompok Tani Dewi Sri di Dusun Pitulasi yang sudah memperjuangkan 355 hektar lahan dan baru diserahkan untuk masyarakat sebanyak 267 hektar pada 2010.
”Kami berharap 88 hektar lainnya segera didistribusikan ke masyarakat yang sekarang menempati tapungan (tampungan) dan sekitarnya,” ungkap Ketua Kelompok Tani Dewi Sri Edy Sukamto.
Hingga kini masyarakat di Dusun Pitulasi tidak memiliki sertifikat tanah sama sekali. Selama ini, mereka pun tidak membayar pajak bumi bangunan. Misrun, misalnya, pada 1923, kakeknya datang dari Kebumen ke wilayah ini untuk membuka lahan seluas 1 hektar. Namun, karena rangkaian peristiwa politik, Misrun kini hanya mendapatkan warisan turun-temurun berupa tanah 20 ubin atau sekitar 280 meter persegi dan tidak bersertifikat.
Karena sebagian besar warga tidak punya tanah atau kebun sendiri, mereka banyak yang menjadi buruh sadap karet di perkebunan dan juga buruh tani. Dengan penghasilan terbatas, anak-anak mereka pun kebanyakan hanya mengenyam pendidikan SD atau SMP. ”Sekarang anak-anak banyak merantau ke Jakarta,” ucap Misrun.
Salah satu area yang dianggap warga masih masuk kawasan sengketa adalah tanah perkebunan PT Rumpun Sari Antan yang telah tutup pada 2018. Perkebunan ini menurut warga berada di bawah Kodam IV/Diponegoro. Di areal itu tampak sebuah plang bertuliskan ”Tanah Ini Milik Kodam IV Diponegoro. Siapa pun dilarang memasuki/mengelola lahan perkebunan/pekarangan ini tanpa seijin dari PIHAK KODAM dan bisa dikenakan Hukuman pidana Penjara sesuai dengan ketentuan Pasal 167 KUHP”.
Pelaksana Harian (PLH) Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) IV/Diponegoro Letkol Inf Muchlis Gasim saat dihubungi untuk dimintai konfirmasi atas kondisi itu belum bisa memberikan keterangan yang lengkap. ”Saya belum paham, tak tanya staf terkait dulu, ya. Terima kasih infonya, kita dalami dulu,” tutur Gasim.
Ketika dimintai tanggapan atas permasalahan tanah di Desa Mekarsari, Kecamatan Cipari, itu, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji hanya memberikan respons singkat. ”Gimana, nanti, ya, sedang rapat dengan Presiden," kata Tatto lewat panggilan telepon, Rabu (22/9/2021) siang.
Bupati pun mengarahkan Kompas meminta keterangan kepada Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kabupaten. Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kabupaten Cilacap Heroe Harjanto menyampaikan, wilayah tapungan atau tampungan yang kini dihuni masyarakat berada di wilayah hak guna usaha (HGU) PT Rumpun Sari Antan. Adapun pemerintah daerah telah memfasilitasi forum koordinasi antara masyarakat dan perusahaan ini.
”Itu ada tiga titik tapungan dan ada di tiga desa, yaitu Mekarsari, Karangreja, dan Caruy. Semua di Kecamatan Cipari. Kemudian di tiga titik itu luasannya kira-kira 33 hektar. Berdasarkan data di kami, kurang lebih ada 400 kepala keluarga. Tanah tersebut ada di areal HGU PT Rumpun Sari Antan,” tutur Heroe.
Heroe mengatakan, masyarakat telah lama menempati areal itu, tetapi sejak lama tidak punya kekuatan hukum sehingga mereka berkeinginan mendapatkan tanah tersebut. Lewat kepala desa, warga sudah berkomunikasi dengan perusahaan dan Bupati Cilacap lewat Disperkimtan membantu menjembatani forum koordinasi tersebut.
”Bola ada di PT Rumpun Sari Antan karena memegang HGU sampai 2033 sehingga itu nanti ada sosialisasi lebih lanjut. Di sisi lain, PT Rumpun Sari Antan ini mau melepaskan HGU itu juga,” papar Heroe.
Pemerintah daerah, lanjut Heroe, juga berharap wilayah itu bisa berkembang lebih baik. ”Bisa masuk program yang berbeda, (bisa) untuk perumahan atau usaha perkebunan dan lain sebagainya,” katanya.
Pemkab Cilacap juga memfasilitasi komunikasi lebih lanjut untuk jalan tengah. Dalam hal ini, masyarakat mendapat peningkatan kesejahteraan dari tanah yang ditempati, sedangkan PT Rumpun Sari Antan sebagai investor juga merasa tidak dirugikan dan kemudian menjadi potensi kabupaten Cilacap.
Sementara permintaan konfirmasi kepada Kepala Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Cilacap Karsono tidak mendapat respons.
Perjuangan
Adapun daya juang warga di Dusun Pitulasi ini diuji bertahun-tahun. Sehari-hari, untuk menuju balai desa, warga harus melewati jalan perkebunan yang naik, turun, serta berkelok sejauh 9 kilometer. Kondisi jalan pun buruk dan tanpa lampu penerangan sama sekali di malam hari. Jarak tempuh di jalan normal sekitar 15 menit dan jika lewat jalan itu bisa mencapai 30-45 menit. Jika harus ke kantor kecamatan di Cipari, jaraknya mencapai 11 kilometer dan bisa ditempuh hingga 1 jam perjalanan.
Pilihan lain, untuk memenuhi kebutuhan logistik atau belanja, warga bisa menuju ke Majenang. Jalan ini lebih layak karena relatif datar dan ramai permukiman. Namun, dari total sekitar 19 kilometer, kondisinya pun berlubang parah sekitar 70 persen.
Terkait kondisi jalan kabupaten yang rusak parah pada arah Pitulasi-Majenang, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Cilacap Ristiyanto tidak memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi Kompas.
Bre Redana, dalam tulisannya di Kompas (12/9/2021), menyebutkan bahwa bagi bangsa ini, bulan September waktunya ”reinventing the enemy” atau menemukan kembali musuh bersama. Setiap bangsa butuh musuh bersama. Musuh diperlukan untuk membentuk persatuan, merumuskan identitas, dan menentukan ukuran mengenai sistem nilai, serta seberapa layak secara moral kita pantas merasa diri berharga.
Bre juga menuliskan, bangsa ini lebih dari setengah abad punya musuh bersama yang bernama PKI/Komunisme. Monster ini diakrabi dari bocah sampai kakek-nenek, dari intelektual sampai pegawai negeri. Setiap bulan September, warga diingatkan, pekerjaan rumah kita hanyalah bagaimana merias monster yang kian uzur tersebut agar senantiasa tampak beringas, tetap meyakinkan sebagai musuh yang mengganggu tidur nyenyak kita. Agar kita tetap bisa merasa bermartabat, menjadi makhluk lebih unggul daripada komunis.
Lokasi yang terpencil dan terisolasi di Dusun Pitulasi, Cipari, Cilacap, itu jadi cermin perjuangan atas kehidupan yang layak serta pengakuan atas hak-hak warga marjinal. Setidaknya, di balik tragedi 1965, selain arwah-arwah yang butuh doa demi kedamaiannya, juga ada masyarakat yang butuh kesejahteraan serta pengakuan atas keberadaannya.