Buntut Operasi KPK, Penjabat Sekda Koltim Ditunjuk Jadi Pelaksana Harian Bupati
Kursi kepemimpinan di Kolaka Timur kosong setelah Bupati Andi Merya Nur ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh KPK. Pemprov Sultra menunjuk Pj Sekda Koltim sebagai pelaksana harian sembari menunggu instruksi Kemendagri.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Setelah penangkapan Bupati Kolaka Timur atau Koltim Andi Merya Nur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kursi kepala daerah di wilayah ini kosong dan dikhawatirkan mengganggu pemerintahan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pun menunjuk Penjabat Sekretaris Daerah Koltim sebagai Pelaksana Harian Bupati.
”Kemarin, kami sudah membuat Surat Keputusan Pelaksana Harian Bupati Kolaka Timur dan sudah ditandatangani Gubernur Sultra Ali Mazi. Surat itu menunjuk Penjabat Sekda Koltim Iqbal Tonggoasa sebagai pelaksana harian bupati. Hari ini seharusnya sudah efektif bertugas,” kata Asisten I Pemprov Sultra Ilyas Abibu di Kendari, Kamis (23/9/2021).
Penunjukan pelaksana harian tersebut, kata Ilyas, harus dilakukan dengan cepat untuk mengisi kekosongan jabatan di Koltim. Pelaksana harian akan melakukan tugas-tugas rutin, serupa persuratan, dan kegiatan lain. Namun, yang berasangkutan tidak boleh mengambil kebijakan strategis terhadap daerah.
Penunjukan tersebut, lanjut Ilyas, mendesak agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan daerah. Dengan begitu, tugas dan kewajiban bupati masih bisa berjalan meski dengan terbatas.
Seiring penujukan tersebut, Pemprov Sultra menunggu instruksi lanjutan dari Kementerian Dalam Negeri terkait penjabat bupati untuk selanjutnya. Setelah kekosongan jabatan bupati dan tidak ada wakil yang bisa menggantikan, daerah harus dijabat oleh seorang penjabat untuk bisa melakukan tugas-tugas strategis.
”Kami masih menunggu seperti apa terkait Pj (penjabat) bupati ini. Biasanya Pemprov akan mengusulkan nama ke Kemendagri dan akan menjabat selama satu tahun. Peran Pj penting secepatnya karena saat ini sedang dilakukan pembahasan anggaran perubahan di daerah, termasuk di Koltim,” kata Ilyas.
Kepala Dinas Kominfo Koltim I Nyoman Abdi menyampaikan, setelah operasi tangkap tangan KPK, pelayanan dan pemerintahan di Koltim tetap berjalan normal. Pada pimpinan OPD tetap bertugas dan menjalankan kewajiban untuk pelayanan masyarakat.
Terkait penunjukan Pelaksana Tugas Sekda sebagai Pelaksana Harian Bupati, Nyoman mengaku telah mendapat informasi terkait hal itu. ”Namun, saya belum tahu apakah suratnya sudah diterima atau belum. Yang jelas hari ini sudah akan dijalankan oleh beliau saat keputusannya diterima,” kata Nyoman.
Hingga saat ini, ia menambahkan, beberapa tempat memang belum boleh difungsikan setelah operasi tangkap tangan KPK. Ruangan kerja Bupati Koltim dan ruangan Kepala BPBD juga masih disegel. Selain itu, ruang Unit Pelayanan Barang dan Jasa juga disegel.
Kursi Bupati Koltim saat ini kosong setelah Bupati Koltim Andi Merya Nur ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK pada Selasa (21/9/2021). Pada Rabu malam, Merya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap bersama Kepala BPBD Koltim Anzarulllah dengan barang bukti suap Rp 250 juta. Selain kedua orang ini, empat orang lainnya turut dibawa ke Jakarta, yaitu suami Merya, Mujeri Dachri, serta tiga ajudan Merya, yakni Andi Yustika, Novriandi, dan Muawiyah.
Merya adalah Bupati Koltim yang baru dilantik pada 14 Juni 2021 atau sekitar tiga bulan lalu. Ia sebelumnya adalah wakil bupati Koltim setelah terpilih bersama Samsul Bahri Madjid dalam Pilkada Serentak 2020.
Pada Jumat (19/3/2021), Samsul Bahri meninggal akibat serangan jantung saat bermain bola. Merya lalu dilantik sebagai pelaksana tugas hingga akhirnya dilantik sebagai bupati. Hingga saat ini, belum ada wakil bupati di wilayah ini.
Kasus kepala daerah yang terjerat operasi KPK di Sultra bukan kali ini saja terjadi. Sejauh ini, sudah ada lima kepala daerah, mulai dari bupati hingga gubernur, yang dijatuhi hukuman oleh KPK. Mereka adalah mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman, mantan Gubernur Sultra Nur Alam, mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, mantan Bupati Buton Umar Samiun, serta mantan Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat.
Pegiat antikorupsi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, menilai, kembali tertangkapnya kepala daerah di Sultra menjadi wajah buruk pemerintahan di wilayah ini. Sebab, meski telah berulang kali terjerat operasi KPK, para kepala daerah serupa tidak memiliki efek jera dan leluasa melakukan tindak korupsi.
Dengan baru menjabat selama tiga bulan, dan jika betul terbukti ada tindakan korupsi, saya duga motif ini terkait ongkos politik setelah pilkada yang perlu dikembalikan. (Hariman Satria)
”Semuanya ditangkap oleh KPK, di mana para kepala daerah lainnya telah divonis dan menjalani hukuman. Namun, kasus baru kembali terjadi seperti di Koltim saat ini. Dengan baru menjabat selama tiga bulan, dan jika betul terbukti ada tindakan korupsi, saya duga motif ini terkait ongkos politik setelah pilkada yang perlu dikembalikan,” kata Hariman.
Ia melanjutkan, pihak KPK juga perlu menjelaskan terkait kasus ini secara terang benderang. Sebab, wilayah Koltim bukan merupakan daeah yang kaya sumber daya alam seperti beberapa daerah lainnya di Sultra, yang turut menjerat beberapa kepala daerah.
Jika kasus ini adalah tindak korupsi yang melibatkan anggaran pusat, pihak-pihak terkait juga harus segera ditindak. ”Kalau ini pintu masuk untuk membuka kasus yang lebih besar, pihak lain juga perlu segera ditangkap. Namun, kalau korupsi APBD, KPK harus menjelaskan kasusnya, kerugian, dan lainnya. Jangan sampai kasus ini sebenarnya hanya perlu ditangani penegak hukum di daerah, tanpa KPK yang harus turun tangan,” katanya.